INDONESIA, NEGERI DARURAT SEKSUAL
Oleh : Siti Nur Halizah M. Pd., Gr. (Aliansi Penulis Rindu Islam)
Sepanjang Januari hingga 8 Mei 2025, SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) telah mencatat 3.737 kasus kekerasan seksual—angka yang mencerminkan kedaruratan yang tidak bisa dianggap remeh. Belum lama ini, publik dikejutkan oleh kasus seorang ayah yang memperkosa anak kandungnya yang masih duduk di bangku kelas 6 SD (detikJabar). Rentetan peristiwa ini menunjukkan bahwa negeri ini sedang menghadapi krisis akhlak yang sangat serius, dan solusi instan tidak akan cukup. Diperlukan pendekatan menyeluruh yang mampu menyentuh akar persoalan.
Ustadz Ismail Yusanto dalam channel youtubenya memberikan diskursus yang patut untuk kita jadikan renungan dan diadopsi, sebagai upaya membendung kasus kekerasan seksual. Beliau menegaskan bahwa maraknya kekerasan seksual yang terjadi di berbagai tempat dan melibatkan berbagai kalangan, baik sebagai pelaku maupun korban. Tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki kini menjadi korban dari tindakan bejat tersebut. terdapat beberapa faktor utama yang mendorong meningkatnya kasus kekerasan seksual di masyarakat.
Pertama, derasnya arus rangsangan seksual yang masuk secara personal melalui perangkat digital seperti smartphone. Jika dahulu kita masih bicara soal pengaruh televisi atau bioskop, kini pengaruh tersebut jauh lebih personal, privat, dan nyaris tak terbendung. Setiap individu bisa mengakses konten-konten yang berbau seksual dan menstimulus seksualitas kapan pun dan di mana pun, tanpa pengawasan atau kontrol dari pihak luar. Akibatnya, muncul dorongan untuk menyalurkan stimulus itu dalam berbagai bentuk, termasuk yang menyimpang.
Kedua, muncul budaya normalisasi terhadap penyimpangan seksual. Ketika kekerasan seksual diberitakan secara masif tanpa diiringi dengan penegakan moral dan hukum yang jelas, masyarakat mulai menganggapnya lumrah. Tanpa disadari, ini membentuk budaya permisif yang melemahkan kesadaran moral kolektif.
Ketiga, gagalnya hukum dalam memberikan efek jera terhadap perilaku seksual yang haram dan menyimpang. Kasus LGBT, misalnya, tidak lagi disebut sebagai penyimpangan apalagi kejahatan, dan pelaku pemerkosaan sering menerima hukuman ringan, bahkan mendapat remisi. Ketidaktegasan hukum menjadikan pelanggaran seksual tidak lagi menimbulkan rasa takut atau konsekuensi yang berarti.
Faktor keempat adalah lemahnya ketakwaan sebagai kontrol diri. Meskipun banyak masyarakat menjalani ibadah seperti puasa, kasus kekerasan seksual masih terjadi bahkan dilakukan oleh tokoh agama. Ini menunjukkan bahwa spiritualitas belum sepenuhnya diterjemahkan sebagai kontrol moral dan perilaku. Nyatanya ketaqwaan individu akan mudah tumbang jika dihadapkan dengan faktor-faktor eksternal yang justru kontraproduktif terhadap upaya ketaqwaan itu sendiri. Artinya individu bertaqwa membutuhkan masyarakat yang saling mengingatkan, media yang mendukung ketaatan, serta hukum yang benar dan tegas.
Syariat Islam sebenarnya telah memiliki panduan yang jelas dalam menjaga kehormatan diri dan menghindari kerusakan moral. Teknologi memang seperti pisau bermata dua—bisa membawa manfaat, tapi juga mudarat. Dalam kaidah fiqih disebutkan dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih, artinya mencegah kerusakan harus lebih diutamakan daripada menarik manfaat. Maka, jika internet menjadi sumber kerusakan moral, harus ada upaya membatasi akses tersebut, meski itu berarti mengorbankan sebagian manfaat.
Sayangnya, dunia hari ini begitu terbuka. Akses internet dan media sosial menjadi bagian dari gaya hidup, bahkan menjadi standar dalam kehidupan modern. Banyak tempat publik seperti kafe justru berlomba memberikan akses Wi-Fi gratis tanpa mempertimbangkan dampaknya. Maka dibutuhkan regulasi yang tegas dari pemerintah untuk mengatur penggunaan teknologi demi menjaga moral masyarakat, terutama generasi muda.
Budaya saat ini ketika membahas konten-konten seksual di media sosial dianggap biasa saja, padahal jika media sosial diatur berdasarkan prinsip Islam, maka hal-hal seperti itu tentu tidak akan dibiarkan. Dunia saat ini sudah seperti satu wilayah tanpa batas (borderless), di mana nilai-nilai liberal mendominasi. Oleh karena itu, kita membutuhkan kekuatan global yang mampu menata etika dan moral secara menyeluruh. Dahulu, saat Islam memimpin peradaban, nilai-nilai etis dan syariah mampu menyebar dan mempengaruhi dunia dengan kebaikan. Kini, kekuatan global didominasi oleh sekularisme dan liberalisme, yang menyebarkan nilai-nilai bebas tanpa batas.
Kini korban kekerasan seksual bukan hanya perempuan, tetapi juga laki-laki. Sehingga jika membahas kekerasan seksual, bukanlah sekedar butuh mengkoreksi pandangan gender terkait adanya dominasi laki-laki terhadap perempuan, namun maraknya kekerasan seksual justru erat kaitannya dengan cara seseorang mengekspresikan hasrat seksualnya, agar sesuai dengan aturan yang benar.
Benar disini tentu bukan sebatas adanya penghormatan terhadap tubuh. Apalagi kalau ukurannya sekedar adanya consent atau tidak, kerelaan atau tidak. Standar ini sangat berbahaya, seolah-olah kalau sudah ada persetujuan itu menjadi benar. Maka hal ini justru akan menjadi awal mula normalisasi terhadap aktivitas seksual sebelum pernikahan. Sangat disayangkan jika standar demikian saat ini dipromosikan di dunia pendidikan.
Sejatinya pendidikan hadir untuk melindungi dan memberikan batasan yang jelas tentang halal dan haram. Sekalipun diperlukan pendidikan seksual, maka harus mencakup ajaran tentang batasan-batasan yang ditetapkan oleh agama. Pendidikan seksual dalam Islam tidak hanya soal konsen atau persetujuan, tetapi tentang kebenaran moral: mana yang halal dan mana yang haram. Hubungan sesama jenis, misalnya, tidak pernah dibenarkan dalam Islam, sementara hubungan lawan jenis hanya dianggap benar jika dilakukan dalam pernikahan yang sah.
Oleh karena itu ukuran benar dan salah sangat penting diformulasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Di situlah agama berperan. Islam hadir membawa pedoman yang jelas, yang bisa menjadi rambu-rambu bagi manusia untuk menjaga dirinya, masyarakatnya, dan peradabannya.
Posting Komentar