PENGHAJARAN NENEK LANSIA DIDUGA MENCURI BAWANG DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh : Fathur Rahman Al-Faruq, Mubaligh Ideologis
Rabu, 7 Mei 2025 jagat dunia maya dikejutkan dengan tragedi penghajaran nenek lansia 67 tahun yang diduga mencuri bawang putih di Pasar mangunrejo, Boyolali. Penghajaran ini dilakukan oleh petugas keamanaan di pos kemanan pasar, setelah nenek tertangkap oleh pemilik toko dan pengunjung pasar (Kompas.com, 5 Mei 2025). Dilansir dari sebuah video youtub, bahwa nenek tersebut bersimbah darah di bagian wajah, dengan 2 gigi patah dan linglung menuruni tangga kantor pos keamanan pasar (Detik.com, 9 Mei 2025). Nenek ini dalam kesehariannya bekerja sebagai pedagang sayuran dan gorengan keliling.
Kondisi perekonomian nenek dengan keluarga anaknya tergolong tidak berkecukupan dalam memenuhi kebutuhan keseharian. Kondisi perekonomian ini menjadi penyebab nenek sekeluarga terlilit hutang. Menurut Kapolres Boyolali, AKBP Rosyid Hartanto bahwa nenek nekat mencuri karena motif ekonomi. Dimana nenek ini hidup bersama anaknya yang bekerja sebagai montir dengan kondisi hidup pas-pasan dan terlilit utang. Sehingga motivasi pencurian dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan membayar hutang. Akan tetapi, menurut Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DISSOSP3AKB) Kabupaten Klaten, Puspo Enggar Hastuti, menyatakan bahwa nenek ini beberapa kali viral dengan kasus yang sama dan Dinas Sosial setempat mendapat laporan terkait aksi nenek sebelumnya di beberapa tempat lain, di Pasar Jatinom (klaten) dan solo (Kompas.com, 14 Mei 2025). Tulisan singkat ini mengulas tentang bagaimana permasalahan penghajaran nenek lansia yang diduga mencuri bawang putih dalam perspektif Islam?
Seorang muslim wajib meyakini bahwa Islam itu agama yang diridlai Allah SWT dan diperuntukkan untuk kemaslahatan semua manusia, bukan hanya untuk orang islam saja. Islam merupakan agama sempurna yang membahas semua aspek kehidupan. Islam selain sebaga agama, juga sebagai ideologi yang dapat menjadi pedoman dalam menyelesaikan semua persoalan kehidupan umat manusia. Islam sebagai solusi atas semua persoalan yang dihadapi dan menimpa manusia, termasuk persoalan penghajaran nenek lansia yang diduga mencuri bawang putih ini.
Hukum Mencuri dalam Perspektif Islam
Mencuri merupakan perbuatan mengambil barang milik orang lain (bukan miliknya) yang tersimpan dengan cara sembunyi (sunyi). Para ulama dan ummat sepakat terkait keharaman perbuatan mencuri, karena mencuri termasuk perbuatan mengambil harta milik orang lain secara bathil, Allah SWT berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Artinya: Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 188)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas sesama kalian darah kalian (untuk ditumpakan) dan harta kalian (untuk dirampais) dan kehormatan (untuk dirusak). Sebagaimana haramnya hari ini, haramnya bulan ini dan haramnya negeri ini” (HR. Bukhari no. 1742).
Keharaman mencuri dipertegas dengan adanya had atau hukuman Allah SWT bagi orang yang mencuri, sebagaimana firan Allah SWT ;
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Artinya: Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (QS. Al-Maidah: 38).
Hanya saja, manakala pencuri itu mencuri barang orang lain karena kelaparan, maka itu sesuatu hal yang dikecualikan. Hal ini dapat merujuk pada kisah khalifah umar bin Khattab. Khalifah Umar juga mengampuni pencuri yang mencuri unta karena kelaparan. Kisahnya, suatu hari beberapa pembantu Hatib bin Abi Balta’ah ketahuan mencuri seekor unta milik orang dari Muzainah. Kusayyir bin As-Salt kemudian meminta Khalifah Umar untuk menjatuhkan hukuman potong tangan pada pencuri tersebut.
Khalifah Umar melepaskan beberapa pembantu Hatib tersebut dari tuduhan pencurian setelah mengetahui kalau mereka melakukan itu untuk sekadar mencari hidup. Amirul Mukminin bahkan meminta Abdurrahman, anak Hatib, untuk membayar dua kali lipat harga unta orang Muzainah yang dicuri beberapa pembantu Hatib tersebut. “Pergilah Abdurrahman dan berikan kepadanya (orang Muzainah pemilik unta) delapan ratus, dan bebaskan anak-anak muda itu pencuri itu dari tuduhan pencurian, sebab Hatib yang telah memaksa mereka mencuri: mereka dalam kelaparan dan dan sekadar mencari hidup,” kata Khalifah Umar.
Hukum Main Hakim Sendiri dalam Perspektif Islam
Islam merupakan ajaran yang mengajarkan dan menjunjung tinggi keadilan bagi setiap orang. Allah berfirman dalam An-Nahl ayat 190:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Memang, bila dilihat sifat kemanusiaan, maka sifat kejengkelan pemilik toko dan petugas keamanan di pasar yang rawan sering pencurian atau pengutilan itu hal manusiawi. Hanya saja, tetap tidak diperbolehkan untuk berbuat dhalim dan mendhalimi orang lain. Tindakan penghajaran dan main hakim sendiri terhadap yang diduga mencuri merupakan perbuatan jauh dari tindakan keadilan dan bahkan cenderung melakukan tindakan kedhaliman. Penghajaran dan main hakim sendiri itu merupakan tindakan kedhaliman, karena pertama, nenek yang diduga mencuri itu belum diputuskan oleh pengadilan yang resmi. Kedua, petugas keamanan atau masyarakat itu bukan orang yang berhak menghukuminya. Justru yang berhak melaksanakan hukum adalah pemimpin atau orang yang diamanahi untuk menghukumi. Jadi, Nenek tersebut harus dilimpahkan pada pemimpin dan yang diamanahi untuk melaksanakan hukum.
Sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi juga menjelaskan bahwa yang berhak untuk mentakdzir adalah seorang Imam atau penggantinya.
ويعزر) أي الامام أو نائبه (لمعصية لا حد لها ولا كفارة) سواء كانت حقا لله تعالى أم لآدمي كمباشرة أجنبية في غير فرج و سَبَّ ليس بقذف وضرب لغير حق (غالبا
Seorang imam atau penggantinya berhak menta’zir perbuatan maksiat yang pada biasanya tidak ada ketentuan hukum had atau kafarat, baik berkaitan dengan hak Allah atau hak manusia, seperti menggauli perempuan yang bukan mahram pada selain farji dan mencela yang bukan menuduh zina dan memukul tanpa hak.
Hal ini berkaitan masalah ta’zir yang merupakan hukuman perbuatan pelanggaran hukum syara’ yang belum ditentukan had (hukuman) dan kafaratnya dalam nash itu pelaksanaan hukuman diserahkan ke pemimpin. Apalagi persoalan hudud, termasuk tindakan mencuri yang secara nash hukuman sudah ditentukan oleh Allah dan RasulNya, maka tambah lebih wajib dilaksanakan oleh Imam (penguasa). Oleh karena itu, tindakan penghajaran dan main hakim sendiri merupakan tindakan yang melanggar syari’at dan tercela, serta jauh dari keadilan.
Perbuatan Pelanggaran yang Berulang-Ulang dalam Perspektif Islam
Manusia merupakan makhluk tempat salah dan lupa. Sebaik-baik manusia itu menyadari kesalahan dan segera bertaubat, menghentikan perbuatan salah dan tidak akan mengulang lagi perbuatan salah kembali. Seorang mukmin tidak jatuh pada lubang salah kembali. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ
“Tidak selayaknya seorang mukmin dipatuk ular dari lubang yang sama sebanyak dua kali.” (HR. Bukhari no. 6133 dan Muslim no. 2998).
Imam Nawawi menukil pendapat Al-Qadhi Iyadh berkata, cara baca “yuldagu” ada dua cara; pertama, Yuldagu dengan ghainnya didhammah. Kalimatnya menjadi kalimat berita. Maksudnya, seorang mukmin itu terpuji ketika ia cerdas, mantap dalam pekerjaannya, tidak lalai dalam urusannya, juga tidak terjatuh di lain waktu di lubang yang sama. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa ia tergelincir dalam urusan agama (akhirat). Kedua, Yuldagi dengan ghainnya dikasrah. Kalimatnya menjadi kalimat larangan. Maksudnya, janganlah sampai lalai dalam suatu perkara. (Syarh Shahih Muslim, 12: 104). Ibnu Hajar berkata, “Seorang muslim harus terus waspada, jangan sampai lalai, baik dalam urusan agama maupun urusan dunianya.” (Fath Al-Bari, 10: 530).
Pengulangan terus menerus perbuatan pelanggaran terhadap hukum syari’at oleh pelanggar hukum itu bisa disebabkan beberapa hal; pertama, lemahnya proses edukasi terhadap masyarakat akan ketakwaan individu ummat. Kedua, lemahnya hukum yang diterapkannya, sehingga tidak dapat mencegah dan menghilangkan perbuatan pelanggaran syari’at. Ketiga, sikap abai masyarakat terhadap tindakan pelanggaran hukum syari’at atau kontrol masyarakat tidak berjalan. Keempat, abainya penguasa dalam mengurusi rakyat, sehingga rakyat kekurangan atau miskin tidak terselesaikan, sehingga berdampak pada pengulangan pelanggaran terhadap hukum syari’at.
Tidak bisa dipungkiri secara realitas bahwa pendidikan masyarakat di Indonesia ini cenderung sekuleristik, yakni mendidik masyarakat dengan pemisahan peran agama dalam kehidupan dan negara. Agama dianggap ranah terbatas privasi dan bukan ranah publik. Pendidikan ini menghasilkan sosok individu yang menjauhkan pemahaman agama sebatas invidualis dan tidak terimplementasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Sementara aspek hukum yang diterapkan di negeri ini, merupakan produk buatan manusia yang cenderung jauh dari prinsip keadilan. Apalagi dalam pelaksanaan hukum di Indonesia cenderung tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Artinya hukum tinggal legalitas formal saja dan dapat dipermainkan bagi para pemilik modal. Oleh karena itu, penerapan hukum selain Islam tidak dapat mencegah dari perbuatan pelanggaran dan menebus dosa bagi pelakunya. Kondisi ini, diperparah lagi dari hasil pendidikan ala kapitalis yang membuahkan sikap individualis bagi masyarakat. Sikap ini menjadikan masyarakat itu hanya mementingkan diri sendiri dan sikap EGP (Emang Gue Pikirin) atau abai terhadap kondisi anggota masyarakat yang lainnya.
Negara Abai, Rakyat Sengsara, Islam Solusinya
Penyebab nenek tua renta, hidup dari keluarga miskin, terlilit utang, dan nekat mencuri disebabkan oleh kegagalan negara dalam mengurusi rakyatnya, dan menjamin kesejahteraan kehidupan rakyat. Bagaimana tidak? Apabila negara berhasil mensejahterahkan rakyatnya, maka kebutuhan dasar pribadi rakyat, sandang, pangan, dan papan akan tercukupi. Manakala kebutuhan asasi ini tercukupi, maka nenek lansia yang kesulitan hidup ini tidak akan mencuri. Bila negara abai terhadap rakyatnya, maka terjadi ketimpangan di tengah-tengah masyarakat. Kebutuhan asasi masyarakat, pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, hanya dinikmati oleh segelintir orang kaya.
Negara penganut ideologi kapitalisme, lebih memihak pada pemilik kapital (pemodal), sehingga menyebabkan masyarakat miskin semakin miskin, masyarakat kaya semakin kaya. Kesenjangan antara kaya dan miskin bagikan gunung dengan jurang. Hal ini dapat mendorong sebagian anggota masyarakat berbuat semaunya dan cenderung melakukan pelanggaran terhadap hukum. Kondisi ini berbeda jauh dalam negara yang menerapkan syari’at Islam dengan prinsip keadilan. Maka negera yang menerapkan syari’at islam akan menjamin kebutuhan asasi pribadi masyarakat dan kebutuhan asasi masyarakat. Kebijakan negara tidak memperbolehkan harta kekayaan hanya berputar pada orang saja, sementara orang miskin kelaparan. Jadi solusi terhadap permasalahan ini, hanya dapat diatasi dengan negara melaksanakan hukum syari’at islam secara kaffah.
Wa Allah A’lam bi Ash-Shawab.
Posting Komentar