-->

Normalisasi Dosa, Komunitas Inses dan Krisis Peradaban


Oleh : Selvi Sri Wahyuni, M.Pd

Belum usai publik dibuat risau oleh konten-konten asusila di media sosial, kini muncul fenomena baru yang jauh lebih mengerikan: "komunitas inses". Mereka bukan hanya eksis, tapi juga aktif mengkampanyekan hubungan sedarah sebagai hal yang wajar dan bahkan romantis. Beroperasi di platform seperti Facebook, komunitas ini tumbuh layaknya jamur di musim hujan. Mereka berdiskusi, berbagi pengalaman, dan menormalisasi penyimpangan yang jelas-jelas bertentangan dengan fitrah manusia dan agama.

Lebih ironis lagi, kelompok seperti ini bisa berkembang karena tidak adanya benteng nilai yang kokoh dalam masyarakat dan negara. Komunitas ini adalah gejala dari peradaban yang sedang runtuh, bukan sekadar perilaku menyimpang individu. Ketika hubungan inses bukan lagi tabu, melainkan dianggap pilihan gaya hidup, maka ini bukan hanya krisis moral ini adalah krisis peradaban.

Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2022 mencatat bahwa 57% kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi di dalam keluarga, dan pelakunya sebagian besar adalah orang terdekat: ayah, kakak, atau paman. Inses bukan hanya terjadi, tapi terus meningkat. Bahkan penegakan hukum terhadap pelaku pun sering kali lemah, sehingga mereka berani mengulanginya.

Penelitian dari nternational Journal of Forensic Research and Criminology (2021) juga mengungkap bahwa inses adalah salah satu bentuk kekerasan seksual paling kompleks, karena terjadi dalam relasi kuasa yang timpang dan cenderung ditutup-tutupi oleh keluarga dan lingkungan.

Kini, dengan adanya komunitas di media sosial yang mempromosikan inses, kita tidak hanya menghadapi kasus kekerasan, tetapi juga upaya sistematis untuk menormalkan dosa.

Sekularisme, Akar Masalah

Fenomena komunitas inses bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Ia adalah hasil dari sistem hidup sekuler sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam sistem ini, standar benar-salah bukan ditentukan oleh wahyu, melainkan oleh selera dan kebebasan individu. Maka tak heran jika zina dianggap hak, pornografi dianggap hiburan, bahkan LGBTQ dijadikan identitas yang harus dihormati. Inses tinggal menunggu giliran untuk dilegalkan atas nama "kebebasan cinta".

Sistem ini telah melahirkan generasi yang tidak mengenal batas halal dan haram, karena agama telah dikurung dalam ruang privat. Negara pun bersikap permisif: lebih cepat menghapus akun yang mengkritik penguasa daripada akun yang menyebarkan maksiat.

Islam, Satu-satunya Solusi Peradaban

Islam datang bukan sekadar sebagai agama yang mengatur ibadah ritual, tapi sebagai sistem hidup yang menyelamatkan manusia dari kehancuran moral. Islam secara tegas:
1. Mengharamkan hubungan inses (QS An-Nisa: 23),
2. Menutup semua celah menuju zina (QS Al-Isra: 32),
3. Memerintahkan negara untuk menjaga akhlak umat, bukan hanya sekadar urusan administratif.

Dalam sistem Islam, negara (Khilafah) bukan sekadar penonton. Ia aktif mendidik masyarakat dengan tsaqafah Islam, menghapus pornografi dari akar, serta menegakkan sanksi tegas terhadap pelaku maksiat, termasuk inses.

Islam tidak mengenal kompromi dalam urusan moral. Karena kerusakan satu keluarga adalah awal dari kerusakan satu umat. Dan kerusakan umat berarti kehancuran peradaban.

Kita tidak sedang menghadapi sekadar konten nyeleneh di media sosial. Kita sedang menyaksikan normalisasi dosa secara terbuka dan sistematis. Ini adalah peringatan bahwa peradaban hari ini tidak lagi memiliki kekuatan moral untuk menolak keburukan.

Umat Islam harus sadar bahwa diam berarti menyetujui.Membiarkan dosa jadi normal berarti menggali kubur untuk generasi kita. Maka solusi bukan pada blokir grup semata, tapi pada perubahan sistemik: kembali kepada Islam secara kaffah.

Hanya peradaban Islam yang mampu membangun masyarakat bermartabat yang melindungi keluarga, menjaga kesucian, dan menegakkan keadilan.

Wallahu a'lam bishowab