Menjadikan Kelaparan Sebagai Alat Genosida, Bukti Zionis Lemah dan Pengecut
Oleh : Ummu Naura
Komite Khusus PBB untuk Menyelidiki Praktik-praktik Israel di Wilayah Pendudukan Palestina dan Arab memperingatkan bahwa dunia saat ini sedang menyaksikan kemungkinan terjadinya "Nakba kedua", akibat eskalasi kekerasan, blokade kemanusiaan, dan kebijakan pendudukan yang dijalankan Israel.
Istilah "Nakba" berasal dari bahasa Arab yang berarti "malapetaka", merujuk pada peristiwa pengusiran sekitar 750.000 warga Palestina dari tanah mereka pada 1948 dalam rangka pembentukan Negara Israel.
Peristiwa ini disertai penghancuran lebih dari 500 desa Arab, pembantaian, serta pembersihan etnis dan hingga kini menjadi simbol luka kolektif dan perlawanan dalam identitas nasional Palestina.
"Israel terus menyebabkan penderitaan yang tak terbayangkan bagi rakyat yang hidup di bawah pendudukannya, sambil memperluas perampasan tanah sebagai bagian dari aspirasi kolonial yang lebih luas. Apa yang kita saksikan bisa jadi adalah Nakba lainnya. Komite tersebut mendokumentasikan penggunaan penyiksaan, kekerasan seksual sistematis, serta pemaksaan kelaparan sebagai metode perang oleh militer dan otoritas Israel.
"Metode-metodenya seperti buku panduan untuk merendahkan, mempermalukan, dan menanamkan rasa takut: dari pelecehan seksual, sentuhan tidak pantas, pemerkosaan, hingga penggunaan benda asing seperti tongkat dan pentungan—dilakukan terhadap pria, wanita, bahkan anak-anak.
PBB menyebut praktik-praktik tersebut selaras dengan tindakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, serta memperingatkan bahwa impunitas Israel harus segera diakhiri.
Komite juga menyoroti penggunaan blokade total terhadap Gaza sebagai bentuk "senjata kelaparan" yang digunakan untuk menundukkan seluruh populasi. Sulit membayangkan ada pemerintah yang dengan sengaja membuat rakyatnya mati kelaparan, sementara truk makanan hanya berjarak beberapa kilometer. Namun inilah kenyataan mengerikan yang dihadapi warga Gaza.
Ketika Kelaparan Dijadikan Senjata Perang
Upaya Zionis Israel dalam memblokade Gaza dan menghalangi bantuan kemanusiaan untuk rakyat Palestina adalah tindakan yang mencerminkan permusuhan dan kebencian mereka kepada umat Islam khususnya, dan umat manusia pada umumnya. Mengapa dimikian? Karena hal itu merupakan upaya yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Semua manusia yang memiliki hati nurani pasti menentang hal itu.
Kelaparan yang sengaja diciptakan untuk membuat penderitaan luar biasa, memaksa individu atau masyarakat mengorbankan prinsip-prinsip agama mereka demi bertahan hidup. Hal itu merupakan bentuk “fitnah” yang lebih merusak daripada sekadar kekerasan fisik.
Gaza kembali menjadi saksi tragedi kemanusiaan yang memilukan. Sebuah wilayah kecil yang telah terkepung selama lebih dari satu dekade kini mengalami penderitaan yang semakin mencekam. Anak-anak, wanita, dan orang tua menghadapi ancaman kematian, bukan hanya dari serangan udara dan artileri Israel, tetapi juga dari senjata yang tak terlihat, yakni kelaparan dan kehausan.
Blokade total yang diberlakukan oleh Israel membuat Gaza menjadi penjara terbuka, tanpa akses ke kebutuhan dasar kehidupan. Tragedi di Gaza jelas merupakan sebuah aksi genosida. Bagi rakyat Gaza, ini adalah kenyataan pahit yang mereka hadapi setiap hari.
Hingga akhir April 2025, lebih dari 65.000 anak di Gaza mengalami malnutrisi akut. Organisasi Kesehatan Dunia, WHO mencatat bahwa 8.000 anak telah didiagnosis mengalami malnutrisi, dengan 28 di antaranya telah meninggal dunia.
Sementara Kementerian Kesehatan Gaza mencatat, sejak awal hingga pertengahan Mei 2025 ini, 30 warga Palestina, termasuk anak-anak, meninggal dunia karena kekurangan gizi dan dehidrasi.
Zionis Israel, di bawah kepemimpinan Benjamin Netanyahu terus memperketat blokade terhadap Gaza dengan alasan memerangi kelompok militan Hamas. Namun, tindakan ini melampaui batas, melanggar HAM, mengabaikan hukum humaniter dan melakukan kejahatan perang.
Zionis Israel justru menyasar rakyat sipil tak berdosa. Bantuan kemanusiaan yang berisi makanan, air, dan obat-obatan dilarang masuk, sementara serangan udara dan darat terus menghujani kawasan yang sudah porak-poranda itu.
Puluhan ribu nyawa sudah melayang. Sementara mereka yang masih hidup kini terancam oleh kekurangan gizi dan dehidrasi akut akibat blokade total, tanpa kepastian kapan akan berakhir.
Korban akibat kelaparan tidak hanya berasal dari kalangan warga Gaza, tetapi juga para sandera yang ditahan oleh pihak Hamas. Namun, Netanyahu secara terang-terangan menyatakan bahwa baginya, memusnahkan pejuang Hamas lebih diutamakan daripada menyelamatkan sandera.
Pernyataan Netanyahu menunjukkan bagaimana kelaparan dijadikan senjata perang untuk memaksakan kehendak politik tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan dan seruan dunia internasional.
Khilafah Sebagai Solusi
Sejarah telah mencatat bahwa genosida dan kelaparan sering dijadikan alat oleh penjajah untuk memusnahkan pribumi dan merebut wilayah mereka. Di benua Amerika, penjajah Eropa membantai penduduk asli dan memusnahkan peradaban mereka. Di Afrika, penjajahan Belgia di Kongo menewaskan jutaan rakyat dengan cara yang tak kalah biadab. Di Asia, kolonialisme Belanda, Inggris, dan Perancis mengiringi ekspansi mereka dengan kelaparan, kerja paksa, dan pembunuhan massal.
Kini di Palestina, fakta siapa penjajah dan siapa yang dijajah sangat terang benderang.
Rakyat Palestina adalah penduduk asli yang telah mendiami tanah itu selama ribuan tahun. Sedangkan Zionis Israel adalah entitas penjajah yang memaksakan eksistensinya lewat invasi, pemukiman ilegal, dan genosida (Republika, 19/5/2025). Dengan demikian, siapa sebenarnya teroris dan pelaku kejahatan kemanusiaan sangat jelas.
Sayangnya, dunia Barat yang konon menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia justru menunjukkan wajah hipokritnya.
Ketika Ukraina diserang, dunia bergemuruh. Tapi ketika Gaza dibakar hidup-hidup, Barat bungkam atau bahkan mendukungnya dengan senjata. Amerika, Inggris, dan Jerman terang-terangan membela Israel dengan narasi “self-defense”, sementara anak-anak Gaza mati kelaparan. Ini adalah wajah dualisme Barat terhadap Islam. HAM menjadi senjata politik, bukan nilai universal. Kemanusiaan hanya berlaku jika pelakunya bukan Israel dan korbannya bukan Muslim.
Lebih memilukan lagi, para pemimpin negeri-negeri Islam justru diam membisu. Liga Arab tak mampu berbuat lebih dari pertemuan dan kecaman. OIC hanya mengeluarkan pernyataan lemah tak bertaji. Bahkan penguasa Mesir dan Yordania secara aktif ikut membatasi bantuan kemanusiaan ke Gaza (Republika, 14/5/2024). Sementara pasukan militer negara-negara Islam tetap diam di barak. Mereka tidak bergerak, karena takut kehilangan kekuasaan.
Mereka adalah korban penyakit hubbud dunya wa karohiyatul maut—cinta dunia dan takut mati.
Padahal, jika umat Islam memiliki institusi pelindung seperti Khilafah, situasi ini tak akan dibiarkan berlangsung. Khalifah bukan sekadar pemimpin politik, tapi pelindung umat (junnah) sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
“Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim)
Dan janji tegaknya kembali Khilafah adalah janji agung dari Allah dan kabar gembira dari Rasulullah ﷺ:
“Kemudian akan kembali muncul Khilafah ‘ala minhaj nubuwwah.” (HR. Ahmad)
Khilafah bukan utopia. Ia adalah sistem yang dijanjikan akan kembali, dan merupakan solusi sejati atas penderitaan Palestina. Sebab Khilafah tak hanya menyatukan umat di bawah satu kepemimpinan, tetapi juga menjadikan jihad sebagai metode pembebasan negeri-negeri kaum Muslimin dari penjajahan.
Tugas kita hari ini menjadi bagian dari perjuangan mulia ini. Karena hanya Khilafah yang akan menghentikan darah yang tumpah, kelaparan yang disengaja, dan genosida yang tak berkesudahan.
Wallahualam bissawab.
Posting Komentar