Malapetaka Besar - Indonesia Pasar Terbesar Narkoba
Oleh : Umma Almyra
Di tengah gemuruh pembangunan bangsa, jeritan duka justru bergema dari sudut-sudut tergelap negeri ini: Indonesia kini disebut-sebut sebagai pasar narkoba terbesar di Asia Tenggara. Bukan sekadar tudingan, fakta-fakta yang terungkap dalam beberapa bulan terakhir cukup untuk membuat siapa pun merinding.
Pada 13 Mei 2025, publik dikejutkan dengan pengungkapan besar oleh TNI Angkatan Laut. Mereka berhasil menggagalkan upaya penyelundupan 705 kilogram sabu dan 1,2 ton kokain yang hendak masuk melalui Selat Durian, Kepulauan Riau. Jumlah hampir dua ton barang haram itu tidak hanya mencoreng nama bangsa, tapi juga seolah meledek semua upaya yang selama ini digembar-gemborkan sebagai “pemberantasan narkoba”.
Tak lama berselang, tepatnya 19 April 2025, Polda Metro Jaya menyita 10,4 kilogram sabu dari sebuah apartemen mewah di lantai 38, kawasan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Kasus ini menyiratkan bahwa para bandar tidak lagi bersembunyi di tempat gelap, mereka justru berani beroperasi di pusat kota, di ruang-ruang yang terkesan elit dan aman.
Yang lebih memilukan, pada 16 Mei 2025, Polda Riau mengungkap bahwa seorang narapidana berinisial MN adalah otak dari peredaran 17,37 kilogram sabu yang diimpor dari luar negeri. Fakta ini menegaskan bahwa penjara bukan lagi tempat hukuman dan perbaikan, melainkan berubah menjadi gudang operasi sindikat narkoba yang makin tak tersentuh.
Data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) pun membuat dada makin sesak. Nilai transaksi narkoba di Indonesia ditaksir mencapai Rp 524 triliun per tahun. Ini bukan sekadar angka; ini adalah perputaran uang yang sanggup membeli diamnya aparat, menjerat para pejabat, dan merampas masa depan generasi muda. Angka sebesar itu bahkan menyaingi anggaran negara untuk program makan bergizi anak-anak Indonesia.
Semua ini menyiratkan satu hal: perang melawan narkoba belum menyentuh akar persoalan. Penindakan hukum yang dilakukan sejauh ini masih bersifat seremonial dan reaktif. Gembong narkoba jarang tersentuh. Kalaupun ditangkap, tak jarang mereka tetap bisa mengendalikan jaringan dari balik sel. Lalu apa yang salah?
Sekularisme dan Sistem Kapitalisme yang Menyesatkan
Maraknya peredaran narkoba tidak bisa dilepaskan dari sistem kehidupan yang dijalankan saat ini—yakni sistem sekuler kapitalis. Dalam sistem ini, agama dipisahkan dari urusan publik, termasuk dalam hal pendidikan, hukum, dan sosial masyarakat. Akibatnya, standar halal dan haram tidak lagi menjadi acuan dalam kehidupan. Ukuran baik dan buruk bergeser menjadi soal untung dan rugi. Tak heran jika bisnis narkoba—meski jelas merusak—masih dianggap menggiurkan karena mendatangkan keuntungan besar.
Kapitalisme mencetak manusia-manusia yang individualis, materialistik, dan bebas nilai. Dalam masyarakat seperti ini, gaya hidup hedonis tak hanya ditoleransi, tapi justru dipromosikan. Anak muda dijauhkan dari ketakwaan dan lebih akrab dengan budaya pesta, seks bebas, serta narkoba sebagai “pelarian” dari tekanan hidup. Sementara itu, keluarga dan masyarakat kehilangan peran mendidik karena sistem pendidikan dan media telah didominasi oleh nilai-nilai sekuler yang mengikis keimanan.
Lebih jauh, kebijakan hukum yang lemah dan setengah hati hanya memperparah keadaan. Rehabilitasi tanpa sanksi tegas hanyalah solusi tambal sulam. Ibarat memotong rumput liar, namun membiarkan akarnya tetap tumbuh subur. Bahkan penjara pun tidak mampu memberikan efek jera. Ini karena akar masalah sebenarnya tidak pernah disentuh—yaitu sistem kehidupan yang rusak secara fundamental.
Islam Kaffah sebagai Jawaban Menyeluruh
Islam tidak hanya mengharamkan narkoba, tetapi juga memberikan solusi menyeluruh—dari pencegahan hingga penindakan. Dalam pandangan Islam, negara memiliki tanggung jawab penuh dalam menjaga masyarakat dari segala bentuk kerusakan, termasuk narkoba.
Pertama, Islam mewajibkan negara untuk mendidik masyarakat dengan pendidikan Islam sejak dini. Pendidikan ini tidak hanya berfokus pada aspek akademik, tetapi juga menanamkan akidah, akhlak, dan kesadaran akan halal-haram dalam kehidupan. Anak-anak dibesarkan dalam lingkungan yang bertakwa, dengan keluarga dan masyarakat yang mendukung pembentukan kepribadian Islam.
Kedua, negara dalam sistem Islam juga memiliki wewenang untuk menerapkan sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan. Bagi pengguna narkoba, sanksi ta’zir dapat diberikan sesuai kadar kerusakan yang ditimbulkan. Sementara bagi pengedar dan produsen, sanksi bisa sangat berat—termasuk hukuman mati jika dianggap membahayakan masyarakat luas. Penegakan hukum dalam Islam bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga untuk mencegah kejahatan agar tidak terulang.
Ketiga, Islam mewajibkan negara untuk menutup semua celah peredaran narkoba, termasuk dengan pengawasan perbatasan yang ketat, serta penindakan tegas terhadap siapa pun yang terlibat, tanpa pandang bulu. Negara juga wajib memutus mata rantai jaringan narkoba internasional, tidak hanya di permukaan, tapi hingga ke akar-akarnya.
Dengan sistem Islam yang kaffah—yang mengatur seluruh aspek kehidupan berdasarkan wahyu Allah—masyarakat akan dibentuk menjadi individu yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah. Hanya dengan penerapan sistem ini, pemberantasan narkoba bisa dilakukan secara efektif dan menyeluruh, bukan sebatas retorika atau proyek tahunan semata.
Penutup
Sudah cukup banyak nyawa melayang, generasi hancur, dan masa depan yang musnah akibat narkoba. Jika kita terus berharap pada solusi tambal sulam dalam sistem yang rusak, maka kehancuran akan terus berulang. Hanya dengan kembali kepada Islam sebagai sistem hidup secara total, kita bisa memutus siklus kejahatan ini.
Saatnya Indonesia keluar dari belenggu sistem sekuler yang telah gagal menjaga generasinya. Sudah saatnya kita kembali pada sistem Islam kaffah—sebagai satu-satunya jalan keselamatan dan keberkahan.
Wallāhu a’lam bish-shawāb.
Posting Komentar