Khilafah Menjamin Tersedianya Rumah Layak Huni
Oleh : Ummu Naura
Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan sebanyak 26,9 juta rumah di Indonesia masuk katagori tidak layak huni akibat kemiskinan ekstrem. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pun mencatat masih ada 29,45 juta rumah di Indonesia yang tidak layak huni. Bahkan, data Susenas BPS Maret 2020, rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap hunian layak mencapai 59,54%. Banyaknya fenomena ini membuktikan ada perhatian yang terabaikan. Tidak adanya visi visi riayah telah membuat negara lalai.
Penerapan sistem kehidupan sekularisme kapitalisme dengan konsep good governance dengan tata kelola kekuasaan telah membuat pemerintah hanya berperan sebagai regulator dan hanya melayani kepentingan operator, namun minus riayah pada kebutuhan rakyat, termasuk kebutuhan pokok rakyat akan adanya rumah sebagai kebutuhan primer di mana rumah layak huni menjadi idaman bagi rakyat. Namun selama konsep kepemimpinan sekuler kapitalisme dijalankan, selama itu pula rakyat tetap sulit mengakses rumah yang layak huni. Demikianlah kenyataannya, kepemimpinan sekuler kapitalisme tidak akan pernah mampu menyolusi masalah perumahan rakyat.
Akibat Kebijakan yang Tidak Pro Rakyat
Problem perumahan layak huni adalah problem klasik yang belum ada solusi tuntasnya hingga hari ini. Problem ini terus terjadi karena orientasi pembangunan perumahan yang dilakukan negara bukan pada terpenuhinya kebutuhan asasi masyarakat, melainkan bisnis.
Lihatlah, suntikan dana bagi pengembang terus-terusan diberikan dengan alasan agar mereka bergairah untuk terus membangun perumahan bersubsidi. Sedangkan untuk rakyat, tidak ada sedikit pun bantuan dana yang diberikan. Sekalipun pemerintah telah menyiapkan berbagai skema subsidi KPR (kredit kepemilikan rumah), tetap saja rumah bersubsidi yang dikatakan “murah” tersebut tidak terjangkau oleh sebagian masyarakat.
Negara dalam sistem sekuler kapitalisme memang bukan didesain untuk melayani kepentingan rakyat, melainkan melayani kepentingan oligarki. Di dalam sistem ini, negara didesain hanya sebagai regulator yang mengatur agar terjadi keselarasan antara kepentingan rakyat dan pengusaha, serta mencegah konflik antara keduanya. Faktanya, yang dimaksud “mencegah konflik” itu adalah dengan cara negara untuk lebih mengedepankan kepentingan pengusaha daripada rakyatnya.
Ini terjadi karena telah terbentuk relasi antara pengusaha dan rezim pemegang kekuasaan, bahkan sebagian dari pengusaha itu yang kemudian menjadi penguasa. Mahalnya ongkos demokrasi membuat siapa pun yang ingin berkuasa harus memiliki modal besar. Kucuran modal para pengusaha adalah stimulus bagi calon pemegang kekuasaan. Rezim yang sudah berkuasa kemudian harus membalas budi kepada pemilik modal dengan mengeluarkan serangkaian peraturan perundang-undangan yang memuluskan bisnis-bisnis mereka.
Lihatlah UU tentang Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat), dibuat demi kepentingan rakyat ataukah kepentingan para pengusaha? Jelas kepentingan pengusaha. UU ini telah memuluskan bisnis para pengusaha properti karena rakyat akhirnya memiliki dana untuk membeli rumah secara kredit. Namun tetap saja, hanya mereka yang punya penghasilan cukup yang mampu mengakses Tapera. Rakyat miskin tetap saja gigit jari. Terlebih, Tapera mendorong umat untuk melakukan riba yang jelas-jelas haram dalam Islam. Tidak seharusnya muslim memanfaatkannya.
Ketimpangan Sosial
Sungguh sayang, pemerintah menyikapi problematik rumah layak huni ini masih sebatas pada klaim bahwa penyebabnya adalah kemiskinan ekstrem. Namun, pemerintah tidak pernah mengungkap latar belakang terjadinya kemiskinan ekstrem itu sendiri. Pada saat yang sama, pemerintah bahkan menelurkan berbagai kebijakan yang makin kapitalistik serta berpotensi melahirkan kemiskinan struktural dan sistemis.
Sebagai contohnya, pemerintah gagal mengendalikan inflasi sehingga daya beli masyarakat makin menurun. Berbagai produk impor justru berupa bahan pangan dan kebutuhan pokok yang membanjiri pasar dalam negeri. Di sisi lain, pemerintah abai dengan jaminan kelangsungan hidup sektor pertanian nasional. Subsidi pupuk makin dikurangi. Selebihnya, petani dibiarkan berjuang sendiri.
Juga angka PHK dan pengangguran yang tidak kunjung turun, dan sebaliknya makin buruk. Negeri ini tengah mengalami bonus demografi, tetapi pengangguran terbesar datang dari kalangan Gen Z. Demi kesejahteraan keluarga, sebagian dari masyarakat pun lebih memilih bekerja ke luar negeri, baik
itu melalui fenomena brain drain maupun pekerja migran. Tidak sedikit pula WNI yang lebih memilih pindah kewarganegaraan ke negeri jiran, seperti Singapura. Ini masih belum bicara kerusakan generasi, baik akibat tindak asusila, kasus narkoba dan miras, serta kriminalitas lainnya.
Itu semua hanya secuil ketimpangan hidup yang ada Indonesia. Namun, itu sudah menjadi bukti nyata bahwa penyebabnya adalah keberpihakan pemerintah yang lebih condong pada para konglomerat dan kapitalis.
Pada level pejabat pemerintahan, kita bisa melihat bahwa mereka adalah kroni penguasa. Jabatan menteri, wakil menteri, anggota dewan, maupun petinggi BUMN, diisi oleh orang-orang yang memiliki jejaring keluarga dan pertemanan dengan penguasa. Tentu saja mereka turut menguatkan gurita oligarki sehingga praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) makin sulit dihindari, alih-alih dihentikan.
Jika sudah begini, lantas apa lagi yang hendak kita pertanyakan tentang kemiskinan ekstrem? Bukankah mayoritas aset negara memang bukan berada di tangan rakyat?
Khilafah Menjamin Perumahan Aman, Nyaman dan Syar’i
Berbeda dengan kapitalisme yang menjadikan negara lebih memihak kepentingan pengusaha, sistem Islam mewajibkan negara untuk lebih memihak kepentingan rakyat. Negara dalam sistem Islam, yakni Khilafah, menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat akan perumahan yang aman, nyaman, dan syar’i. Hal tersebut dilakukan melalui beberapa mekanisme sebagai berikut.
Pertama, Khilafah akan menerapkan politik perumahan Islam, yakni sekumpulan syariat dan peraturan administrasi, termasuk pemanfaatan riset dan teknologi terkini. Ia merupakan bagian integral dari pelaksanaan seluruh sistem kehidupan Islam. Kehadiran penguasa sebagai pelaksana syariat kafah menjadikan khalifah berkarakter penuh kepedulian dan tanggung jawab. Khalifah bukan berposisi sebagai regulator, melainkan sebagai peri’ayah (raa’in) dan penanggung jawab atas urusan rakyatnya
Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah saw. telah mencontohkan, saat awal hijrah dari Makkah ke Madinah, dibantu dengan para mu’awin-nya, beliau saw. mengurus tempat tinggal kaum Muhajirin di Madinah karena mereka hijrah tanpa membawa harta. Demikian juga pada masa kekhalifahan Islam, para khalifah telah mengatur tata kota dengan sebaik baiknya, termasuk mengatur lahan perumahan.
Kedua, Khilafah memastikan bahwa rumah yang dibangun haruslah layak huni, nyaman, dan syar’i. Islam telah mengajarkan agar setiap orang tua memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan saat mereka balig.
Rasulullah saw. bersabda “Perintahkanlah anak-anak kalian salat tatkala mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila masih enggan salat tatkala mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka pada tempat-tempat tidurnya.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim).
Ketiga, Khilafah memastikan bahwa harga rumah yang dibangun bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Rumah sendiri merupakan kebutuhan pokok individu dengan skema jaminan pemenuhannya berdasarkan penanggung jawab nafkah. Fungsi negara dan sistem kehidupan Islam yang diterapkan mendukung penuh fungsi dan kewajiban individu tersebut.
Masyarakat dengan penghasilan rendah akan dibantu negara dengan skema subsidi, kredit tanpa bunga, dll. Bahkan, negara bisa memberikan rumah kepada fakir miskin yang memang tidak mampu membeli rumah. Alhasil, setiap individu rakyat akan benar-benar merasakan jaminan pemenuhan kebutuhan perumahan.
Keempat, Khilafah mengambil pembiayaan untuk tata kelola perumahan dari kas negara (baitulmal). Saat kas negara kosong, sedangkan masih banyak rakyat yang tidak memiliki rumah, negara bisa menarik pajak dari orang kaya. Namun, sifatnya temporer, yakni pungutan dihentikan setelah kebutuhan terpenuhi. Negara tidak akan mengambil pembiayaan dari utang luar negeri. Selain haram karena mengandung riba, yang demikian juga akan menyebabkan kemudaratan. Sebagaimana kita ketahui bahwa utang luar negeri adalah alat penjajahan ekonomi negara kaya terhadap negara miskin.
Khilafah juga akan memastikan semua sumber daya bagi pembangunan perumahan akan termanfaatkan secara maksimal bagi terwujudnya jaminan pemenuhan kebutuhan rumah setiap individu masyarakat. Tercatat dalam sejarah peradaban Islam, penyelenggaraan kemaslahatan publik Khilafah benar-benar berada di puncak kebaikan, tidak terkecuali pembangunan pemukiman penduduk dan perkotaan.
Demikianlah penerapan hukum Islam—dalam pengaturan perumahan dan pemukiman—yang dilakukan negara dalam sistem Islam, yakni Khilafah. Ini adalah satu satunya jawaban bagi permasalahan perumahan hari ini. Secara keyakinan, kesahihan konsep, dan bukti penerapannya dalam sejarah peradaban Islam, seluruhnya mengantarkan pada satu kesimpulan, yakni hanya Khilafahlah yang mampu mewujudkan lingkungan perumahan yang aman, nyaman, dan syar’i bagi generasi
Wallahualam bissawab
Posting Komentar