-->

KAPITALISME GAGAL ATASI PENGANGGURAN, SAATNYA ISLAM MENGAMBIL PERAN


Oleh : Siti Nur Halizah M. Pd., Gr. (Aliansi Penulis Rindu Islam)

International Monetary Fund (IMF) dalam laporan World Economic Outlook edisi April 2024 menyebutkan bahwa Indonesia memiliki tingkat pengangguran tertinggi di antara enam negara Asia Tenggara. Tingkat pengangguran ini dihitung berdasarkan persentase angkatan kerja atau penduduk berusia 15 tahun ke atas yang sedang mencari pekerjaan.

Yang lebih memprihatinkan, mayoritas dari penganggur ini berasal dari kalangan terdidik, yakni para lulusan sarjana dan diploma. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2014 terdapat 495.143 sarjana menganggur. Jumlah ini melonjak drastis menjadi 981.203 orang pada 2020, dan meskipun menurun di 2024 menjadi 842.378, angka tersebut tetap tergolong tinggi.
 
Tingginya tingkat pengangguran di Indonesia mencerminkan ketimpangan serius antara jumlah pencari kerja dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang ada. Ironisnya, banyak lulusan perguruan tinggi justru terpaksa bekerja di sektor informal seperti menjadi asisten rumah tangga, sopir, pengasuh anak, hingga petugas kebersihan demi menyambung hidup.

Kondisi ini tak lepas dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme di negeri ini. Kapitalisme menjadikan investasi, privatisasi, dan kapitalisasi sebagai landasan utama kebijakan ekonomi. Dalam sistem ini, negara hanya berperan sebagai pengatur kebijakan—bukan sebagai pelayan kebutuhan rakyat. Lapangan pekerjaan pun tercipta semata mengikuti kebutuhan industri yang berorientasi pada laba (profit oriented). Para pekerja dianggap sebagai biaya produksi yang harus ditekan, bukan sebagai pilar pembangunan bangsa.

Ketika gejolak ekonomi global terjadi, sektor industri melemah bahkan runtuh, yang kemudian diikuti gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan lonjakan pengangguran. Lebih menyedihkan lagi, sumber daya alam (SDA) yang sejatinya milik rakyat justru dikuasai oleh korporasi asing atas nama investasi. Sejatinya hal tersebut merupakan praktik nyata dari privatisasi yang melemahkan kemandirian ekonomi negara, sementara negara justru berpihak pada para kapitalis dan meninggalkan perannya dalam melayani rakyat.

Sebaliknya, Islam menawarkan solusi mendasar melalui sistem ekonomi yang komprehensif. Negara sebagai rā’in—benar-benar bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya” (HR. Bukhari). Dalam praktiknya, Rasulullah ﷺ pun menunjukkan langsung bagaimana negara membuka lapangan kerja, seperti dalam kisah beliau memberikan dua dirham kepada seorang Anshar untuk membeli kapak dan bekerja mencari kayu bakar (HR. Ibnu Majah No. 2189).

Sistem ekonomi Islam membuka pintu lapangan kerja di berbagai sektor produktif, seperti pertanian, industri, perdagangan, dan jasa. Dalam sistem islam, SDA dan energi merupakan milik umum yang wajib dikelola negara untuk kepentingan rakyat, bukan dimiliki swasta apalagi asing. Kebijakan ini memungkinkan negara memiliki sumber pendapatan besar tanpa harus bergantung pada utang luar negeri.

Dengan pengelolaan mandiri terhadap SDA, lapangan pekerjaan akan terbuka lebar karena proses eksplorasi dan pengelolaan memerlukan banyak tenaga ahli dan profesional. Inilah yang menjadi ciri khas negara rā’in—negara pengurus rakyat yang hanya dapat terwujud dalam Sistem Pemerintahan Islam.

Sistem Islam hadir bukan hanya untuk memenuhi aspek jasmani rakyat, tapi juga sebagai pelaksana hukum syariat secara menyeluruh. Sistem ini menjamin kesejahteraan rakyat dengan membuka akses pekerjaan yang halal dan layak, serta menjadikan aturan Allah sebagai dasar segala kebijakan.

Kondisi darurat pengangguran yang menimpa Indonesia saat ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. Sudah saatnya kita kembali kepada aturan Ilahi dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah (menyeluruh). Sistem ekonomi Islam bukan sekadar tambal sulam, tetapi solusi utuh yang menjawab persoalan mendasar masyarakat secara tuntas.