-->

Ingin Pintar Tapi Susah Belajar, Kok Bisa?


Oleh : Mela
10 Mei 2025 / 12 Dzulqoidah 1446

Setiap tanggal 2 Mei di Indonesia, ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), simbol dari lahirnya sosok pahlawan nasional Ki Hajar Dewantara pada tanggal 2 Mei 1889 yang memperjuangkan pendidikan di Indonesia. Sayangnya, pada peringatan Hardiknas tahun ini, masyarakat kembali dikejutkan dengan berita yang berisikan data dari Badan Pusat Statistika (BPS) tahun 2024. Data tersebut menunjukkan bahwa rata-rata lama pendidikan/sekolah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas hanya mencapai 9,22 tahun. Ini setara dengan lulusan kelas 9 atau Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, meskipun terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2023 yakni sebesar 9,13 tahun, capaian ini baru sedikit melampaui target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang ditetapkan sebesar 9,18 tahun. (beritasatu.com, 2/5/25).

Temuan data ini menjadi cerminan pendidikan di Indonesia yang masih didominasi oleh capaian jenjang menengah pertama dan masih banyak penduduk yang belum melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Penyebab dari hal ini bisa terjadi karena adanya ketimpangan dalam akses pendidikan hingga kondisi ekonomi keluarga yang rendah. Layanan pendidikan memang pada faktanya belum merata ke seluruh wilayah di Indonesia, khususnya wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Provinsi Papua Pegunungan misalnya, yang menduduki peringkat terendah untuk rata-rata lama sekolah yakni hanya 5,1 tahun. Berbeda drastis dengan Provinsi DKI Jakarta yang notabene merupakan ibukota negara, menduduki peringkat tertinggi dengan angka 11,5 tahun rata-rata lama sekolah. (nasional.kompas.com, 4/3/25)

Belum lagi faktor ekonomi keluarga membuat banyak anak yang memilih untuk putus sekolah atau terpaksa putus sekolah demi bertahan hidup dengan kondisi seadanya. Sebab, program dana bantuan operasional sekolah (BOS) pun belum cukup menjamin setiap anak bangsa untuk mengenyam pendidikan yang sama. Banyaknya pengeluaran di luar biaya operasional membuat segelintir orang tua memilih untuk merumahkan anak-anaknya, bahkan tak sedikit yang meminta mereka untuk membantu mencari nafkah. 

Apalagi di tingkat pendidikan tinggi, dimana banyak lulusan siswa menengah atas memilih untuk tidak melanjutkannya dan lebih memilih untuk langsung bekerja. Bagaimana tidak, saat ini mayoritas perguruan tinggi seakan berlomba menaikkan tarif masuk maupun besaran uang kuliah tunggal (UKT) per semesternya. Sebut saja biaya masuk untuk jurusan kedokteran yang angkanya semakin tahun semakin tak masuk di akal. Setelah masuk universitas pun, kebutuhan mahasiswa selama menjalani pendidikan hingga lulus terbilang tidak sedikit. Dengan demikian, pendidikan seolah tidak lagi menjadi kebutuhan dasar setiap anak bangsa, melainkan menjadi ajang tinggi-tinggian gengsi atau lebih seringnya hanya dijadikan sarana untuk mendapatkan gelar sebagai modal kerja kedepannya.

Tentu hal ini berbeda dengan sistem pendidikan dalam Islam, dimana pendidikan menjadi hak bagi setiap warga negara baik miskin maupun kaya. Layanan pendidikan pun hadir secara merata hingga sudut pedalaman demi tercapainya misi untuk membentuk insan yang berilmu dan bertakwa, serta memiliki keahlian atau pun keterampilan. Sekolah dan kampus diberikan fasilitas, sarana, prasarana, dan infrasruktur yang terbaik. Pengajarnya pun akan memperoleh gaji yang tinggi, sehingga mereka fokus untuk mengajar dan mendidik murid, tidak terbebani akan tuntutan ekonomi. Adapun sumber dana pendidikannya diambil dari baitulmal, khususnya pos fa’i, kharaj, dan kepemilikan umum. Negara yang menerapkan aturan ini pun, yakni Khilafah, tidak melibatkan pihak swasta dalam mengelola sistem pendidikannya. Wallahu’alam bi showab.