-->

Kemiskinan yang Disembunyikan : Ilusi Statistik dan Solusi Islam yang Hakiki


Oleh : Umma Almyra

Ketika angka statistik menunjukkan penurunan kemiskinan, sebagian besar rakyat mungkin bersorak. Namun, apakah realitas di lapangan benar-benar menunjukkan perbaikan? Ataukah ini hanyalah ilusi yang dibentuk oleh angka? 
Perbedaan mencolok antara standar kemiskinan nasional dan internasional justru membuka mata kita akan satu fakta pahit: ada kemiskinan tersembunyi yang tidak tersentuh oleh kebijakan negara. Bahkan, mereka yang dianggap “tidak miskin” menurut Badan Pusat Statistik (BPS), ternyata masuk kategori “miskin ekstrem” menurut standar Bank Dunia.

Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah sekadar perbedaan ukuran, atau ada sistem yang memang menjadikan kemiskinan ini sebagai realitas yang terus diwariskan?

Angka yang Menipu, Standar yang Jomplang

Berdasarkan laporan Tirto.id dan Liputan6, BPS menetapkan garis kemiskinan pada kisaran pengeluaran Rp500 ribu per bulan atau sekitar Rp 17 Ribu per hari. Sementara, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan ekstrem sebesar USD 2,15 per hari, yang jika dikonversikan sekitar Rp 33 ribu per hari. Jelas, standar nasional hanya separuh dari standar global.

Lebih mengkhawatirkan lagi, laporan terbaru Bank Dunia menyebutkan bahwa sekitar 60% penduduk Indonesia berada pada kategori miskin dan rentan miskin. Sementara itu, Kepala BPS menolak anggapan ini dengan alasan perbedaan metodologi.

Namun, alih-alih fokus pada pembenahan realitas, perdebatan ini malah menunjukkan bahwa standar kemiskinan dapat direkayasa agar terlihat “sukses” secara statistik. Ini adalah manipulasi angka yang dapat menciptakan persepsi palsu bahwa pemerintah telah berhasil menurunkan angka kemiskinan.

Kapitalisme dan Kemiskinan Struktural

Mengapa bisa terjadi perbedaan yang begitu besar? Jawabannya terletak pada sistem yang digunakan untuk mengatur kehidupan ekonomi. Saat ini, hampir seluruh negara termasuk Indonesia menerapkan sistem ekonomi kapitalisme, di mana peran negara dalam mengurus kebutuhan rakyat kian kecil, dan pasar (korporasi) menjadi penentu utama distribusi kekayaan.

Salah satu ciri dari sistem ini adalah pengukuran kesejahteraan berdasarkan angka-angka makroekonomi dan indeks statistik, bukan pada terpenuhinya kebutuhan riil masyarakat. Maka, menurunkan standar kemiskinan menjadi strategi politis agar bisa diklaim sebagai keberhasilan, meskipun pada kenyataannya, rakyat tetap hidup dalam keterbatasan.

Lebih jauh lagi, kapitalisme tidak mengenal prinsip “tanggung jawab negara atas rakyat secara langsung.” Negara hanya berperan sebagai fasilitator ekonomi, bukan sebagai penanggung kebutuhan. Akibatnya, kemiskinan menjadi masalah struktural yang sulit diberantas, dan negara lebih sibuk memburu investor ketimbang memastikan tidak ada rakyat yang kelaparan.

Solusi Islam: Negara Sebagai Penanggung Jawab Kesejahteraan

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang pemenuhan kebutuhan dasar rakyat (sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan) sebagai tanggung jawab negara, bukan diserahkan kepada mekanisme pasar. Negara dalam sistem Islam (khilafah) wajib menjamin bahwa setiap individu mendapat kebutuhan pokoknya secara layak.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Imam (Khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini berarti, tidak boleh ada satu pun rakyat yang dibiarkan hidup dalam kemiskinan ekstrem, apalagi karena standar yang sengaja direndahkan. Dalam sistem Islam, negara memiliki baitul mal (kas negara) yang mengelola harta umat untuk mendanai kebutuhan publik, termasuk memberi bantuan langsung bagi fakir miskin, tanpa syarat administratif yang menyulitkan.

Lebih dari itu, Islam tidak hanya mengatur distribusi kekayaan, tetapi juga menetapkan hukum-hukum kepemilikan, yang mencegah segelintir orang menguasai sumber daya secara eksklusif. Rasulullah ﷺ bersabda: "Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud)

Artinya, sumber daya alam yang besar seperti tambang, air, dan energi, tidak boleh dimonopoli oleh individu atau swasta, tapi harus dikelola oleh negara untuk kesejahteraan seluruh rakyat.

Contoh Nyata: Khalifah Umar bin Khattab dan Kesejahteraan Nyata

Pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab, pernah terjadi musim paceklik. Negara langsung membuka gudang makanan dan mendistribusikannya secara merata ke rakyat yang membutuhkan, tanpa menghitung berapa pengeluaran per hari mereka.

Bahkan, dalam satu peristiwa, Khalifah Umar berkata: “Jika ada seekor keledai yang terperosok di Irak, aku takut Allah akan memintai pertanggungjawaban aku mengapa tidak aku ratakan jalan untuknya.”

Ini adalah contoh nyata bagaimana negara Islam sangat serius terhadap kesejahteraan, bahkan terhadap makhluk non-manusia.

Ubah Sistem, Bukan Sekadar Angka

Perbedaan antara standar kemiskinan nasional dan internasional bukan hanya soal metodologi. Itu adalah cermin dari rusaknya sistem kapitalisme, yang menjadikan kemiskinan sebagai objek manipulasi statistik. Rakyat dipaksa puas dengan angka, padahal perut mereka masih kosong.

Islam datang dengan sistem yang menjamin kesejahteraan hakiki, bukan ilusi. Islam menetapkan bahwa negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat, menggunakan sumber daya milik umum untuk kesejahteraan bersama, dan melarang penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang.

Firman Allah SWT: "Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (QS. Al-Hasyr: 7)

Oleh karena itu, solusi sesungguhnya atas kemiskinan bukanlah pada perbaikan data, tapi pada perubahan sistem. Sistem Islam kaffah adalah jawaban yang tidak hanya adil, tapi juga menyejahterakan.

Wallāhu a‘lam bish-shawāb