Gaza, Deritamu Tiada Henti
Oleh : Dewi Rachmawati
Sampai saat ini pasukan Israel masih terus membombardir Gaza. Serangan itu menyebabkan banyak korban jiwa, terutama perempuan, lansia dan anak-anak. Dan serangan itu terus terjadi tiada henti.
Pembebasan Palestina: Panggilan Keimanan
Palestina, sejak puluhan tahun lampau hingga hari ini, masih dijajah oleh entitas zionis Yahudi. Bagi umat Islam, upaya membebaskan Palestina dari penjajahan, bukan sekadar masalah kemanusiaan, melainkan panggilan keimanan.
Ada beberapa alasan yang mendasari pernyataan ini.
Pertama: Di Palestina ada Masjid al-Aqsha, tempat suci umat Islam, kiblat pertama umat Islam sebelum Allah memindahkan arah kiblat ke Ka’bah di Makkah. (QS al-Baqarah ayat 144).
Kedua: Allah SWT menyebut Masjid al-Aqsha dan sekelilingnya, di antaranya Palestina, merupakan tanah yang diberkahi (QS al-Isra‘ ayat 1). Ini artinya, perjuangan pembebasan Palestina sama dengan membela wilayah yang telah dimuliakan dan diberkahi oleh Allah SWT.
Ketiga: Palestina adalah tanah milik kaum Muslim. Pembukaan (futuuhaat) wilayah Palestina oleh Khilafah Islamiyah dimulai pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Wilayah Palestina sebelumnya berada di bawah penguasaan Kekaisaran Byzantium (Romawi Timur) Wilayah ini berhasil dibebaskan oleh umat Islam pada tahun 637 Masehi ( 15 H). Pada saat itu, kunci Baitul Maqdis diserahkan secara damai oleh Patriark Sophronius, seorang pemimpin agama Kristen Ortodoks di Yerusalem, kepada Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Karena itu perjuangan pembebasan Palestina merupakan upaya mempertahankan tanah kaum Muslim yang direbut penjajah.
Keempat: Mengusir penjajah dari tanah kaum Muslim merupakan jihad yang diwajibkan oleh syariah Islam. Syariah Islam mewajibkan kaum Muslim untuk berjihad di jalan Allah SWT ketika negeri mereka dijajah dan dikuasai oleh kaum kafir (QS al-Baqarah: 190). Karena itu perjuangan membebaskan Palestina adalah kewajiban umat Islam untuk membela agama, kehormatan dan hak umat Islam serta dalam rangka melawan kezaliman. Kondisi Palestina Hingga Kini
Hingga saat ini, sekitar 78% dari wilayah Palestina telah dikuasai oleh Zionis Yahudi. Wilayah yang tersisa, yakni sekitar 22%, terdiri dari Tepi Barat dan Gaza, secara administratif dibagi menjadi wilayah yang dikendalikan oleh Otoritas Palestina (Tepi Barat) dan Hamas (Gaza).
Korban jiwa yang dibantai secara keji oleh entitas zionis Yahudi tidak terbilang banyaknya. Di antaranya “Perang (baca: pembantaian) 1948”, diperkirakan sekitar 13.000 warga Palestina syahid, termasuk banyak wanita dan anak-anak. Pada Perang Enam Hari 1967, ada sekitar 20.000 warga Palestina syahid, banyak di antaranya adalah warga sipil. Berikutnya, tahun 2000 hingga 2023, lebih dari 100.000 warga Palestina menjadi korban genosida. Terakhir, sejak 7 Oktober 2023 hingga kini, jumlah korban kejahatan genosida Yahudi di Gaza mencapai lebih dari 45.000 jiwa. Ini belum termasuk lebih dari 100.000 warga Palestina mengalami luka serius. Laporan UNICEF pada bulan Agustus 2024 menyebutkan bahwa sekitar 1,7 juta orang di Gaza dipindahkan ke wilayah seluas 48 kilometer persegi. Hal ini telah menciptakan kepadatan penduduk lebih dari 35 ribu orang di setiap kilometer persegi.
Bangunan rumah tempat tinggal, sekolah, rumah sakit, dan fasilitas umum lainnya, sebagian besar roboh terkena bombardir. Hingga tahun 2024, sekitar 66% bangunan di Jalur Gaza telah mengalami kerusakan atau hancur akibat serangan militer entitas Yahudi. Dari total 163.778 bangunan yang rusak, sebanyak 52.564 bangunan hancur total, 18.913 mengalami kerusakan parah, 35.591 kemungkinan rusak, dan 56.710 terkena dampak sedang. Kota Gaza menjadi area dengan kerusakan terparah. Sebanyak 36.611 bangunan hancur.
Kerusakan ini menghasilkan sekitar 42 juta ton puing, yang menimbulkan risiko kesehatan signifikan bagi penduduk setempat. Kerusakan infrastruktur yang masif ini telah menyebabkan krisis kemanusiaan yang mendalam. Ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal dan akses terbatas terhadap layanan dasar seperti air bersih, listrik, dan perawatan kesehatan.
Mengapa Palestina Belum Bisa Dibebaskan?
Permasalahan Palestina sesungguhnya merupakan persoalan hidup dan mati. Semakin lama Palestina dibiarkan tanpa ada yang membela, maka umat Islam Palestina akan semakin menderita. Pertanyaannya, mengapa setelah puluhan tahun dijajah, Palestina belum juga bisa dibebaskan?
Secara umum ada permasalahan internal dan eksternal yang dihadapi umat Islam. Pertama: Secara internal, umat Islam mengalami permasalahan yang sangat serius. Mereka terpecah-belah menjadi sekitar 57 negara-bangsa (nation state) yang lemah.
Apalagi negeri-negeri Islam mengalami fragmentasi politik dan kepentingan. Akibatnya, kesatuan visi dan langkah dalam membela Palestina sulit diwujudkan. Bagaimana bisa membebaskan Palestina jika antar negeri Muslim terlibat konflik satu sama lain?
Bahkan salah dalam membebaskan Palestina dengan mengusulkan solusi dua negara (two state solution). Konsep ini bukan hanya batil, melainkan juga menyakiti dan mengkhianati umat Islam seluruh dunia.
Di antara hal lain yang menghambat pembebasan Palestina adalah pengkhianatan para penguasa negeri Muslim. Beberapa negara yang mayoritas beragama Islam justru menjalin hubungan diplomatik dengan entitas Yahudi. Mesir, misalnya, menjalin hubungan diplomatik dengan entitas Yahudi sejak Perjanjian Damai Camp David pada tahun 1978. Yordania menormalisasi hubungan dengan entitas Yahudi (1994), Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain pada (2020), Sudan (2020), Maroko ( 2020). Turki (1949), Bosnia-Herzegovina (31 Agustus 1997), Kosovo (4 September 2020).
Pertanyaannya, bagaimana bisa umat Islam mengusir entitas zionis Yahudi dari tanah Palestina, sementara pada saat yang bersamaan mereka bermesraan dengan negara penjajah?
Kedua: permasalahan ekternal. Di antara faktor penyebab negara entitas Yahudi tetap bertahan menjajah Palestina adalah karena didukung oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa, baik dalam bentuk bantuan militer, ekonomi maupun diplomasi. Ini memperkuat posisi negara entitas zionis Yahudi itu dalam mempertahankan penjajahannya.
PBB juga pada posisi mendukung entitas Yahudi. Pada 29 November 1947, Majelis Umum PBB, misalnya, mengesahkan Resolusi 181 yang berisi usulan pembagian wilayah Palestina menjadi dua negara: satu negara Yahudi dan satu negara Arab, dengan Yerusalem menjadi wilayah internasional di bawah pengawasan PBB, dengan 56% wilayah Palestina diberikan kepada negara Yahudi meskipun pada saat itu populasi Yahudi hanya sekitar sepertiga dari total penduduk Palestina. Diikuti dengan keputusan-keputusan PBB selanjutnya yang berisi dukungan kepada Israel.
Membutuhkan Khilafah
Dari berbagai fakta dan permasalahan yang ada, keberadaan institusi pemerintahan Islam, yakni Khilafah bukan sekadar wajib, melainkan sangat dibutuhkan. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim di seluruh dunia, yang menerapkan syariah Islam secara kaaffah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Sebagai kepemimpinan umum bagi kaum Muslim sedunia, Khilafah bertanggung jawab melindungi umat dari penindasan dan melindungi wilayah kaum Muslim di manapun dari penjajahan.
Dalam sejarah, Khilafah memainkan peran penting dalam upaya melindungi umat Islam, termasuk melindungi tanah kaum Muslim dari upaya pencaplokan oleh Zionis Yahudi. Bahkan ketika Khilafah Islam sudah mulai lemah, yakni pada tahun 1896, pimpinan Zionis, Theodor Herzl mengirimkan perwakilannya untuk bertemu dengan Sultan Abdul Hamid II. Dia menawarkan imbalan besar jika Yahudi diizinkan membeli tanah di Palestina untuk mendirikan negara Yahudi. Pada saat itu, Khalifah Abdul Hamid II dengan tegas menolak permintaan Zionis tersebut. Ia menyatakan bahwa tanah Palestina adalah tanah milik umat Islam yang tidak boleh dijual kepada siapa pun. Dalam lintasan sejarah, Palestina sebagai bagian dari wilayah kaum Muslim, dilindungi oleh kekuatan Khilafah, seperti Khilafah Umayah, Abbasiyah dan Utsmaniyah. Ketika Khilafah runtuh pada 1924, umat Islam kehilangan institusi politik yang mampu melindungi dan memperjuangkan hak-hak mereka di Palestina.
Keberadaan Khilafah sebagai institusi politik akan dapat menyatukan kekuatan negeri Muslim yang kini terpecah-belah untuk mengusir penjajahan Zionis Yahudi. Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., tahun 637 M (15 H), wilayah Palestina dapat dibebaskan dari cengkeraman Kekaisaran Byzantium Romawi. Ketika Baitul Maqdis dijajah tentara salib Kristen selama sekitar 88 tahun, pada tahun 1187 M, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi juga dapat kembali membebaskan Baitul Maqdis dari penjajahan.
Oleh karena itu, pembebasan Palestina saat ini pun hanya mungkin dilakukan dengan persatuan kaum Muslim seluruh dunia, juga dengan kekuatan politik dan militer yang kokoh. Hal itu akan terwujud jika ada khilafah di tengah-tengah kaum Muslim.
Walaupun para pejuang Islam senantiasa mengalami ujian yang mengguncangkan keimanan, tetapi mereka tetap kokoh menggenggam keimanannya dalam memperjuangkan tegaknya Khilafah Islam yang akan membebaskan negeri kaum Muslim, termasuk Palestina dari penjajahan. Dan mereka termasuk orang-orang yang disebut dalam firman Alloh : "Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai, yaitu pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin" (TQS. Ash-Shaff (6): 13 ). Wa Allohu Al Musta'an.
Posting Komentar