Sekularisme Lahirkan Kejahatan Berselimut Profesi
Oleh : Isna Anafiah
Aktivis Muslimah
Ibnu Qayyim ra berkata, "Rasulullah saw bersabda sabda bahwa "setiap penyakit ada obatnya" hadits tersebut mengandung motivasi bagi orang yang sakit dan dokter, serta terkandung anjuran untuk mencari obat, meneliti dan mengkajinya. Sayangnya Kepercayaan tersebut hancur ketika sosok yang seharusnya menjadi penyembuh justru menjadi pelaku kekerasan seksual. Pada hal, selama ini masyarakat memadang dokter sebagai pahlawan kemanusiaan yang mampu menjadi pelindung. Kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual yang dilakukan tenaga kesehatan di Bandung dan di Garut terhadap pasiennya merupakan sisi gelap dunia kedokteran. Di balik jas putih bisa tersembunyi niat buruk dan penyalahgunaan kuasa. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan etika profesi.
Kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rs. Hasan Sadikin Bandung dan Kelinik di Garut, pelakunya merupakan seorang dokter spesialis, sehingga kasus ini menarik perhatian publik, Gubernur Jawa Barat menyatakan bahwa tenaga kesehatan yang melakukan pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap ibu hamil akan dicabut surat izin praktik dan gelar dokternya (Tempo.co, 16/04/2025).
Menanggapi kasus tersebut, drg. Arianti Anaya selaku Ketua Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) menghimbau masyarakat untuk melaporkan tenaga kesehatan yang berani melakukan pelecehan seksual. Selain itu, tenaga kesehatan yang berprilaku amoral, Surat Tanda Resistrasi dan Surat Izin Praktiknya di cabut oleh Konsil Kesehatan Indonesia (KKI). Drg. Arianti menyatakan bahwa tugas KKI dan Kementerian Kesehatan adalah melakukan pengawasan berkelanjutan kepada tenaga kesehatan. Laporan yang diterima akan ditindaklanjuti oleh MDP dan aparat penegak hukum agar kasus serupa tidak terulang kembali (Sehatnegeriku.kemkes.go.id, 17/04/2025).
Sayangnya, respons dari dunia kedokteran terhadap kasus-kasus semacam ini kerap terasa dingin dan prosedural. Alih-alih menunjukkan kemarahan moral yang sepadan, lembaga profesi justru sibuk menjaga citra institusi. Pelaku disebut "oknum", seakan memisahkan individu dari sistem yang melindunginya selama ini. Di tengah jeritan korban dan amarah publik, pernyataan “menunggu proses hukum” terdengar seperti bentuk pembiaran yang dibungkus formalitas. Jika dunia kedokteran benar-benar geram, seharusnya ada gelombang perlawanan internal—dari dokter untuk pasien, dari sistem untuk korban. Sayangnya, suara-suara itu terlalu sedikit dan terlalu pelan untuk melawan kultur bungkam yang sudah terlalu lama dibiarkan.
Kasus pelecehan seksual seolah tak ada habisnya dan terus berulang layaknya film berseri. Selain ragam kasusnya, pelakunya juga berasal dari berbagai profesi: dokter, hakim, guru besar, polisi, dan lainnya. Sungguh ironis, mereka adalah orang-orang berilmu dan memiliki profesi mulia, namun terjerat tindakan amoral karena telah kehilangan kewarasan dan iman. Di sinilah pentingnya adab sebelum ilmu. Sebagaimana nasihat para ulama, "Ilmu tanpa adab seperti api tanpa kayu bakar, dan adab tanpa ilmu seperti jasad tanpa ruh" (Adabul Imla’ wal Istimla’).
Profesi-profesi seperti tenaga kesehatan, hakim, polisi, dan guru besar bisa lepas kendali dan berbuat amoral karena sistem sekuler—yang memisahkan agama dari kehidupan—serta sistem pendidikan sekuler yang gagal membentuk ketakwaan individu. Sistem ini melahirkan kebebasan berberilaku dan menumbuhkan pola pikir pragmatis, karena menjadikan materi serta fisik sebagai standar kebahagiaan. Sebab mereka tidak memiliki standar perbuatan yang hakiki sesuai SOP dari sang pencipta. Sehingga Ilmu yang mereka miliki pun kehilangan ruh karena tidak terikat dengan iman.
Terlebih lagi, era 4.0 ini telah menumbuh suburkan industri pornografi, sehingga situs-situs dan konten pornografi sangat mudah diakses diberbagai platfoam media. Aktivitas di dunia maya yang tanpa batas menyebabkan berbagai kalangan mudah terpapar pornografi. Situs dan konten tersebut tidak diblokir secara permanen oleh negara. Pada hal pornografi merupakan racun yang membuat candu dan memicu orang melakukan pelecehan seksual. Sayangnya, negara tidak serius menangani hal ini, sehingga moral generasi makin rusak.
Tenaga kesehatan merupakan posisi yang strategis terurama dokter, karena mampu memberikan edukasi dan informasi kesehatan. Tenaga kesehatan juga merupakan garda terdepan dalam situasi krisis, seperti saat pandemi Covid-19 atau ketika membantu korban genosida di Palestina. Namun, profesi yang mulia ini kehilangan kehormatan akibat ulah oknum yang mengedepankan nafsu. Ironisnya, dokter tersebut hanya di jerat dengan Undang-Undang No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS), Sanksi tersebut tidak memberikan efek jera, sehingga kasus serupa rentan terulang.
Potensi para profesional ini telah dibajak oleh sistem kapitalis sekuler. gagal menjadi intelektual seperti Ibnu Sina yang memberikan kontribusi besar dalam dunia kedokteran. Untuk mengatasi kasus tersebut dibutuhkan sistem yang ideal. Sebab pelecehan seksual adalah masalah sistemik, sehingga solusi yang diberikan pun harus sistemik.
Berbeda dengan sistem Islam, negara dalam Islam memiliki mekanisme untuk menghentikan pelecehan seksual secara total dan menjaga kehormatan profesi. Mekanisme tersebut meliputi:
• Negara akan menerepkan sistem pergaulan dalam Islam baik dalam kehidupan umum maupun khusus. Sebab di dalam Islam tidak boleh laki-laki dan perempuan berinteraksi kecuali perkara yang diperbolehkan oleh syariat yang berkaitan dengan pendidikan, jual beli, kesehatan. Namun, interaksi tanpa keperluan syar'i tidak diperbolehkan. Pola pikir dan pola mereka dikontrol oleh syari'at sehingga tidak ada celah untuk melakukan beragam maksiat.
• Sistem pendidikan Islami yang berlandaskan akidah Islam, akan menghasilkan generasi berilmu, beriman, dan amanah. Ilmunya menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan berkontribusi untuk umat.
• Kontrol masyarakat sangat penting, karena dapat menjaga keimanan dan ketakwaan.
• Sistem sanksi dalam Islam bersifat tegas dan memberikan efek jera, baik sebagai penebus dosa (jawabir) maupun pencegah kejahatan (zawajir).
Mekanisme tersebut merupakan solusi tuntas terhadap berbagai problematika kehidupan. Oleh karena itu, sudah sepatutnya sistem sekuler yang merusak kehidupan secara nyata ini ditinggalkan. Sebab, sistem sekuler yang diadopsi negeri ini telah menghilangkan kewarasan manusia.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Posting Komentar