-->

Kampus Kelola Tambang, Orientasi Pendidikan Makin Salah Arah


Oleh : Ummu Naura

Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang memungkinkan perguruan tinggi untuk mengelola tambang masih terus menuai sorotan

Bagaimana tidak kilat, secara tiba-tiba, Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, resmi disahkan menjadi UU usulan inisiatif DPR. Keputusan itu disahkan dalam rapat paripurna DPR RI, Kamis (23/1/2025).

Perguruan tinggi adalah rumah bagi para cendekiawan mengembangkan ilmu pengetahuan, mengontrol pemerintah, memberdayakan masyarakat, dan mendidik calon-calon warga masyarakat yang baik. Pemberian izin penambangan untuk memberikan dana tambahan kampus adalah upaya pembungkaman sikap kritis kampus. Upaya tersebut juga untuk membungkam suara-suara kritis dosen dan mahasiswa dengan cara menyogok kampus dengan tambang, 

Ketika pemerintah mendorong kampus-kampus negeri tersebut menjadi PTN-BH yang diiringi oleh berkurangnya subsidi pemerintah menjadi hanya kisaran 30% bahkan 20%an per tahun, maka kampus memang harus putar otak untuk mencari pemasukan lain, cara paling mudah memang menaikkan uang SPP dan sumbangan pembangunan untuk kampus. 

Barangkali kondisi ini yang jadi salah satu alasan pemerintah untuk coba menutupi ketidakmampuannya membiayai pendidikan negeri yang sudah seharusnya menjadi tanggung jawabnya dengan memberikan IUP pengelolaan tambang, Kalau pun kampus menerima, kampus tidak akan mampu mengelolanya secara optimal. Sekali lagi karena kampus sebagai institusi dan dosen sebagai akademisi bukan didesain dan diberi mandat untuk itu.

Kalau argumennya untuk bantu kampus agar lebih stabil keuangannya, justru akan membiaskan dan mendistraksi tujuan perguruan tinggi itu sendiri dan menunjukkan pemerintah betul-betul lepas tangan dan menjadikan PTN sebagai PTS yang semua hal harus cari sendiri. 

Secara politis, begitu kampus terima, maka akan ada politik imbal balik, balas budi, yakni pihak yang menerima akan cenderung mengikuti dan mendukung hal-hal yang dikatakan dan lakukan oleh pihak yang memberi. 

Bukan Ranah Kampus

Merespons wacana tersebut, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof Fathul Wahid menegaskan bahwa bukan ranah perguruan tinggi mengelola bisnis pertambangan.

"Kalau saya ditanya, UII ditanya, jawabannya termasuk yang tidak setuju, karena kampus wilayahnya tidak di situ," ujarnya seperti dilansir Antara.

Menurutnya, akan jauh lebih baik apabila perguruan tinggi tidak terlibat dalam pengelolaan tambang.
Sebab, perguruan tinggi harus tetap fokus pada misi utamanya yang tertuang dalam Tri Dharma Peguruaan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, tanpa cawe-cawe masuk dalam bisnis tambang.

"Hilirisasi bisa ditangani oleh pihak yang lain terkait dengan pertambangan," tegasnya.
Keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang, menurut Fathul akan menggerus sensitivitas terhadap persoalan lingkungan dan peran kampus sebagai kekuatan moral.

Apalagi, banyak laporan lembaga independen yang menunjukkan kontribusi besar usaha pertambangan terhadap kerusakan lingkungan. "Saya khawatir juga bahwa ketika kampus masuk di sana, itu menjadi tidak sensitif karena logika bisnisnya menjadi dominan karena uang itu biasanya agak menghipnotis. Kalau itu sampai terjadi akan berbahaya," kata dia.

Pemberian konsensi, merupakan bentuk pelecehan terhadap institusi perguruan tinggi yang seharusnya berpihak kepada masyarakat yang menjadi korban aktivitas tambang. Pemerintah juga terkesan seolah berupaya melepas tanggung jawab meningkatkan kesejahteraan para akademikus dengan "menghadiahkan" izin kelola WIUP kepada kampus.
“Ketidakbecusan negara (pemerintah) dalam menjamin kesejahteraan para akademikus hendak diselesaikan dengan cara culas, yakni membiarkan kampus menghidupi dirinya sendiri dengan cara menambang

Bertentangan

Pro dan kontra izin pengelolan tambang oleh PT masih terus bergulir. “Namun, pengelolaan tambang oleh PT ini jelas bertentangan dengan syariat, khususnya konsep politik ekonomi Islam, yaitu negara berkewajiban memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat berupa pendidikan bagi seluruh rakyat secara adil.

Konsekuensinya, negara harus menyediakan dana untuk memastikan jaminan tersebut berjalan, bukan dengan memberikan pekerjaan pada lembaga pendidikan untuk mencari sumber pendapatan sendiri.

Di dalam sistem ekonomi Islam, ungkapnya, negara dapat menggunakan sumber dana dari pengelolaan kepemilikan umum untuk memastikan terpenuhinya jaminan kebutuhan dasar masyarakat berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

“Sebagamana sabda Rasulullah saw. bahwa kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yakni air (laut, danau, sungai dan seluruh kekayaan yang terkandung dalam sumber air tidak terbatas lainnya), padang (hutan dan segala kekayaan yang terkandung dalamnya), dan api (segala jenis tambang yang terhalang bagi individu menguasainya).

Artinya, seluruh kekayaan yang berasal dari sumber daya alam (SDA) yang menguasai hajat hidup orang banyak wajib dikelola oleh negara dan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat, berupa layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Ini termasuk menutup seluruh dana pendukungnya, seperti pembangunan sarana prasarana, gaji guru dan dosen, gaji staf lembaga pendidikan, dan biaya kebutuhan penelitian dan pengembangan wajib dipenuhi oleh negara dari hasil pengelolaan SDA yang merupakan kepemilikan umum

Hanya saja konsep jaminan pemenuhan kebutuhan masyarakat, berupa pendidikan dengan seluruh jenjangnya dan kewajiban negara menyediakan dana pendukungnya hanya dapat diterapkan oleh sistem yang tunduk pada syariat Islam.


Wallahualam Bissawab