ZALIM, KETETAPAN STANDAR HIDUP DENGAN UKURAN TAK LAYAK
Oleh : A. Salsabila Sauma
Beberapa waktu lalu mesia sosial ramai dengan perdebatan terhadap pemaknaan standar hidup layak. Perdebatan ini berskala luas sebab ditulis dan dibagikan oleh beberapa media nasional. Dalam beritanya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa standar hidup layak tahun 2024 di Indonesia sebesar Rp1,02 juta per bulan. (CNBC Indonesia)
Dalam data BPS, standar hidup layak yang digambarkan dengan pengeluaran riil per kapita Indonesia terus mengalami peningkatan sejak 2020. Pada 2020, rata-rata pengeluaran per kapita tercatat sebesar Rp11,01 juta per tahun atau Rp917,5 ribu per bulan. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan tahunan pengeluaran riil rata-rata tercatat sebesar 2,91 persen. Kenaikan terbesar terjadi pada 2024 dengan lonjakan sebesar 3,71 persen. (CNN Indonesia)
Namun BPS juga menegaskan kalau ini bukan kriteria layak atau tidaknya kehidupan warga Indonesia. Standar hidup layak hanya bagian dalam pengukuran indeks pembangunan manusia (IPM). Nominal yang dikeluarkan ini mencerminkan banyaknya barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. BPS menyebut semakin tinggi angkanya berarti standar hidupnya lebih baik.
TANGGAPAN MASYARAKAT
Banyak masyarakat merasa nominal yang dilaporkan BPS tidak masuk akal sebab kenyataan yang orang-orang hadapai tidak sperti itu. Para buruh yang mendapat gaji di angka Rp3 juta bahkan harus menghemat agar tercukupi kebutuhannya selama sebulan penuh. Tidak terpenuhinya kebutuhan pokok kepada masyarakat juga menjadi alasan kenapa nominal-nominal yang dikeluarkan BPS tidak dapat diterima. Penggunaan kata “standar layak” dinilai rancu dan asal-asalan saja.
Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) mengkritik penggunaan istilah “standar hidup layak” dalam survei BPS. Menurut Presiden Aspirasi, Mirah Sumirat, BPS menggunakan kalimat standar hidup layak dengan gaji Rp1,02 juta per bulan membuat orang-orang kebingungan. Data responden yang dipakai dan poin apa yang dimasukkan ke dalam survei pun tidak jelas. Lebih tapat menggunakan kalimat rata-rata pengeluaran. (CNN Indonesia)
Mirah Sumirat juga menambahkan, terlepas dari perdebatan istilah milik BPS, kecilnya angka standar hidup layak itu mencerminkan upah murah yang diterima buruh Indonesia. Pendapatan pekerja yang diperoleh saat ini memang jauh dari kata layak. Para buruh yang bergaji 3 jutaan saja harus berhemat. Apalagi mereka yang harus menafkahi keluarga dan masih harus mengeluarkan uang untuk kebutuhan yang tidak bisa dikurangi, seperti listrik, biaya kontrakan, dan sejenisnya. Akhirnya para buruh harus mengurang konsumsi makanan demi berhemat sehingga berdampak pada ketidaklayakan hidup tempat tinggal. (CNN Indonesia)
DAMPAK SISTEM KAPITALISME
Standar hidup layak bagi rakyat tidak akan pernah tuntas selama pandangan kepemimpinan masih memakai sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, kesejahteraan diukur dari pendapatan perkapita. Artinya membuat ukuran kesejahteraan ini bersifat kolektif dan menyamarkan keberadaan individu miskin. Kelompok masyarakat dengan pendapatan per bulannya mencapai angka tiga digit disamakan dengan kelompok masyarakat yang pendapatannya bahkan tidak mencapai UMP daerahnya. Pandangan seperti itu mustahil menghasilkan angka kesejahteraan rakyat secara nyata sebab individu-individu miskin tidak akan kelihatan.
Negara seharusnya menilai kesejahteraan rakyatnya bukan dari gaji yang didapat melainkan dari terpenuhinya kebutuhan pokok tiap individu. Seperti sandang, pangan, dan papannya terpenuhi. Fasilitas pendidikan dan kesehatan terjamin bagi tiap individu dan lain sebagainya. Yang seperti itulah baru disebut standar kelayakan hidup.
Lagi-lagi dari kejadian ini kita dapat menilai bahwa sistem kepemimpinan yang dipakai di negara ini tidak akan pernah bisa memberi kesejahteraan nyata kepada rakyatnya dan memang harus diganti
JIKA SISTEM ISLAM BEKERJA
Dalam Islam, standar kelayakan hidup rakyatnya dinilai berdasarkan kesejahteraan tiap individunya. Apakah kebutuhan pokok tiap individu sudah terpebuhi? Apakah sarana dan prasarana yang diakses sudah menjamin semua kalangan? dan sebagainya. Termasuk penetapan gaji tiap orangnya.
Konsep ini tidak lepas dari prinsip dasar kegiatan ekonomi atau muamalah Islam secara umum, yakni asas keadilan dan kesejahteraan. Islam menjamin individu rakyat dapat memenuhi kebutuhan pokok mereka yaitu dengan syariat mewajibkan bekerja bagi laki-laki. Dengan bekerja, para laki-laki bisa mendapatkan gaji. Kemudian dari gaji tersebut bisa memberi nafkah keluarga mereka.
Agar syariat ini berjalan secara optimal, Islam juga memiliki syariat terkait penetapan gaji agar para laki-laki bisa menafkahi keluarganya secara makruf. Dalam Islam, dijelaskan bahwa penetapan untuk memperkirakan gaji adalah jasa. Akad ijarah atau kontrak kerja menyatakan adanya jasa tertentu, karena itu gaji pekerja tidak diperkirakan berdasarkan produksi seorang pekerja dan tidak pula diperkirakan berdasarkan batas taraf hidup yang paling rendah.
Pengupahan seperti inilah yang membuat pekerja bisa mendapatkan upah yang bisa menaikkan taraf hidup mereka. Pekerja yang memiliki pekerjaan lebih berat dan lebih rajin bisa mendapatkan gaji yang lebih layak sementara kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan dijamin secara langsung oleh negara. Jika tidak ditanggung oleh negara maka akan terjadi diskriminasi dalam pemenuhannya. Sementara kebutuhan dasar publik dibiayai oleh baitul mal sehingga setiap warga negara bisa mendapatkannya secara gratis dan berkualitas.
Seperti inilah Islam mengatur standar kelayakan hidup manusia. Semua ini sangat bisa diterapkan asalkan negara yang mengurus umat dipimpin oleh sistem Islam dalam sebuah institusi Khilafah. Sebab hanya Khilafah satu-satunya negara yang bersifat pengurus bagi rakyatnya.
Wallahu’alam bishowab
Posting Komentar