-->

Infrastruktur Tak Merata, Rakyat Sengsara

Oleh : Ummu Furqon

Seorang pemuda bernama M. Basori asal Dusun Kejuron Timur, Desa Tempuran, Kecamatan Pasrepan, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur menyampaikan keluhannya melalui sebuah video yang diunggah di jejaring sosial tiktok terkait kondisi jalan di desanya yang rusak parah dan tak pernah diperbaiki sejak tahun 2008. (wartabromo.com, 8/12/24) 

Ia juga mengungkapkan bahwa selama ini warga Dusun Kejuron Timur harus melakukan iuran swadaya untuk memperbaiki jalan secara mandiri, guna mencegah terjadinya kecelakan akibat jalan yang rusak. Basori berharap agar Kepala Desa Tempuran lebih memperhatikan kondisi jalan yang rusak di desanya. 
Sementara itu, Sekretaris Desa Tempuran, Andri, menegaskan bahwa sebagian besar jalan yang rusak adalah jalan kabupaten, sehingga perbaikannya dibawah kewenangan Pemerintah Kabupaten Pasuruan.

Ia juga menambahkan bahwa bukan hanya jalan di desa tersebut yang rusak parah, tetapi juga Dusun Kudu yang dinilai lebih parah. Andri menekankan bahwa dana desa tidak bisa digunakan untuk memperbaiki jalan kabupaten. (wartabromo.com, 9/12/24)
Tak hanya di Jawa, warga Kampung Bergang, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah, juga menghadapi kesulitan besar akibat kondisi jalan tanah yang menjadi akses utama menuju desa ini berubah menjadi berlumpur setiap kali diguyur hujan, sehingga sulit dilalui oleh kendaraan maupun pejalan kaki. (gayo.tribunnews.com, 18/11/24)

Masyarakat Kampung Bergang berharap pemerintah segera mengambil tindakan untuk memperbaiki infrastruktur jalan agar aktivitas warga berjalan lancar.
Adanya ketimpangan antara pembangunan di perkotaan dan pelosok terlihat begitu kentara. Ketika pembangunan di perkotaan terjadi begitu cepat, namun pembangunan infrastruktur transportasi itu belum merata di berbagai pelosok daerah, akibatnya aktivitas dan perekonomian warga pun terhambat. Padahal infrastruktur transportasi merupakan elemen penting penghubung antar wilayah yang mendukung pengembangan ekonomi dan pembangunan.

Namun, pemerintah seolah lamban dalam menanggapi berbagai keluhan. Inikah keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, padahal baik masyarakat desa maupun kota sama-sama membayar pajak?  

Untung Rugi Jadi Standarisasi

Karakteristik geografis dan topografi Indonesia yang beragam dan keterbatasan anggaran pembiayaan kerap kali disebut-sebut sebagai kendala utama. Sebagaimana disebutkan dalam kasus Dusun Tempuran, pemda tidak bisa menggunakan anggaran untuk biaya perbaikan di kabupaten. Hal ini juga menunjukkan birokrasi yang berbelit menjadi perjalanan panjang penanganan suatu permasalahan, terlebih di daerah pelosok yang jauh dari pemerintah pusat.

Namun, ada hal mendasar yang menjadi permasalahan sebenarnya yakni gagalnya negara atau kepemimpinan sekuler dalam mengurus dan menjaga umat/rakyat. Selama ini penguasa menempatkan diri sebagai regulator dan fasilitator kepentingan pemodal sekaligus sebagai pebisnis yang menghitung pemenuhan hak rakyat dengan hitungan untung rugi. Infrastruktur transportasi akan dibangun jika ada keuntungan ekonomi dengan skema investasi. 

Tak ditanggapinya usulan perbaikan jalan oleh rakyat yang berulang bahkan diajukan setiap tahun menjadi bukti abainya negara terhadap kebutuhan rakyat. Sementara rakyat setiap tahun membayar pajak bumi bangunan, pajak kendaraan dan pajak lainnya serta dikenakan biaya untuk memakai jalan tol, tentu rakyat mempertanyakan kemana uang-uang pajak itu diberdayakan. Wajar jika rakyat menuntut hak-haknya atas semua kewajiban yang telah dipenuhi. Ini menjadi gambaran nyata bahwa negara dengan sistem ekonomi kapitalis tidak menjadikan rakyat sebagai tanggung jawabnya tetapi kebijakannya lebih cenderung pada hal-hal yang menguntungkan para pemodal dan oligarki.

Islam Menuntaskan Kebutuhan Rakyat

Dalam Islam, infrastruktur jalan adalah salah satu hak rakyat yang wajib dipenuhi negara dengan kualitas dan kuantitas yang memadai dan mempermudah kehidupan rakyat. Sebagaimana pernah dicontohkan oleh Amirul Mukminin, Umar bin Khattab radiallahuanhu, beliau mengungkapkan “Seandainya seekor keledai terperosok karena jalanan yang rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah Swt., Mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya?”. Hal ini diungkapkan semata-mata karena beliau sadar betapa besar tanggung jawab pemimpin terhadap kebutuhan rakyatnya. 

Penerapan syariat Islam secara kaffah di semua aspek memampukan negara memenuhi hak tersebut tanpa memperhitungkan keuntungan dan tanpa bergantung kepada swasta. Mengapa? Sebab Negara dalam Islam memiliki banyak sumber pemasukan anggaran yang memungkinkan negara membangun sarana transportasi secara mandiri. 
Semua keuntungan hasil olahan SDA akan dikembalikan kepada rakyat, salah satunya adalah untuk pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur dipandang sebagai bentuk pelayanan negara kepada publik.

Rakyat berhak mendapatkan kenyamanan dalam berkendara, terjamin keselamatannya dan kemudahan untuk melakukan aktivitas.
Adapun jika terjadi kekosongan kas negara, negara diperbolehkan memungut pajak (dharibah) dari rakyat yang kaya raya saja dan tidak dilakukan secara berkelanjutan, hanya sampai kas negara pulih. Namun, kekosongan kas negara sangat kecil kemungkinan terjadi sebab negara memiliki banyak pemasukan. 

Apabila pemungutan dharibah membutuhkan waktu yang lama sementara perbaikan jalan harus disegerakan, maka negara boleh meminjam kepada pihak lain dengan catatan tidak adanya unsur riba dalam pinjaman tersebut atau yang menyebabkan negara bergantung pada pihak tersebut.
Dengan begitu, pembangunan infrastruktur transportasi akan merata di seluruh wilayah sehingga tidak ada lagi ketimpangan pembangunan infrastruktur antara wilayah perkotaan ataupun pedesaan.

Wallahu ‘alam bisshowab.