Nasib Peternak Susu Sapi di Tengah Meningkatnya Impor Susu
Oleh : Ummu Naura
Ratusan peternak sapi perah, peloper, hingga pengepul susu sapi di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, menggelar aksi membuang susu buat mandi di Tugu Patung Susu Tumpah Kota Boyolali, Sabtu (9/11).
Aksi tersebut sebagai bentuk protes mereka lantaran banyaknya susu yang ditolak masuk industri pengolahan susu (IPS) dengan dalih adanya pembatasan masuk susu mentah ke pabrik. Total ada 50 ribu liter susu yang dibuang untuk mandi dalam aksi solidaritas untuk para peternak ini. Tak hanya membuangnya, susu juga dibagikan gratis kepada warga pengguna jalan. Total ada 50 ribu liter susu yang dibuang dalam aksi solidaritas ini. Jika di rupiahkan, uang yang dibuang dalam aksi ini mencapai Rp 400 juta. Ini sebagai wujud protes terhadap kondisi susu lokal saat ini. Setiap hari ada 30 ribu liter susu dari Boyolali yang tak bisa diserap oleh pabrik karena alasan pembatasan. Kebijakan pabrik membatasi kuota susu masuk ke IPS membuat peternak sapi susu perah di Boyolali menjerit. Dampaknya dari 140 ribu liter susu peternak, masih ada 30 ribu liter susu yang tak terserap setiap harinya.
Dewan Persusuan Nasional (DPN) mengaku prihatin atas nasib para peternak susu sapi perah rakyat di sejumlah daerah, yang terpaksa melakukan aksi membuang susu segar. Menurut catatan DPN, ada lebih dari 200 ton susu segar per hari yang terpaksa harus dibuang oleh para peternak.
Kasus pembuangan susu segar yang dihasilkan para peternak susu dilakukan karena tidak diserap dan atau dibeli oleh industri pengolah susu (IPS). Kondisi itu dinilai sangat disayangkan dan memprihatinkan. Setidaknya ada tiga poin yang dianggap DPN sebagai kondisi yang memprihatikan dar kasus tersebut.
Pertama, tindakan IPS yang tidak bersedia menyerap susu segar yang dihasilkan para peternak adalah sebagai suatu tindakan yang sangat tidak manusiawi dan merupakan pengingkaran kepada komitmen yang pernah disampaikan oleh IPS untuk menyerap dan membeli susu segar yang diproduksi oleh peternak sapi perah rakyat.
Kedua, tindakan menolak membeli susu segar peternak sapi perah rakyat merupakan tindakan yang menambah penderitaan peternak sapi perah rakyat yang saat ini sudah termarjinalisasi, serta tidak pernah memperoleh nilai tambah dari susu segar yang dihasilkan.
Ketiga, tindakan tidak menyerap susu segar dari peternak sapi perah adalah sebagai akibat tidak adanya peraturan perundang-undangan yang melindungi usaha peternak sapi perah rakyat dan menjamin kepastian pasar dari susu segar yang di hasilkan,
Kebijakan Kapitalistik
Solusi pragmatis yang ditetapkan pemerintah untuk menyelesaikan polemik susu ini tidak terlepas dari penerapan sistem demokrasi kapitalisme. Sebaliknya, pemerintah semestinya mengambil langkah yang revolusioner dengan memberikan perlindungan penuh bagi para peternak lokal.
Hilirisasi adalah tahap pengolahan produk dari bahan mentah menjadi barang yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dan siap dijual kepada konsumen akhir. Proses ini melibatkan pemrosesan, pengemasan, distribusi, dan penjualan produk. Hilirisasi adalah target yang sejalan dengan Cetak Biru Pertanian 2029, yakni Indonesia mampu mencapai swasembada susu secara penuh. Namun, hilirisasi justru merupakan wujud liberalisasi susu karena perusahaan asing bisa langsung mendirikan pabrik atau memiliki lahan produksi di negeri kita. Lihat saja, investor susu asal Vietnam dikabarkan tertarik membangun pabrik susu di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Selain itu, untuk investor dari Qatar, total ada 11 ribu hektare lokasi yang diklaim telah disediakan untuk mereka.
Jika produk kedua investor asing tersebut bertujuan mendukung swasembada susu nasional karena menggunakan bahan baku lokal, sungguh hal ini justru akan membuat persaingan dengan peternak lokal makin ketat. Pada akhirnya, yang akan memenangkan persaingan tentu saja para pemodal besar, yakni investor asing.
Selanjutnya, perihal pemberian insentif kepada peternak yang terdampak, ini jelas solusi parsial. Ini terkait dengan langkah pemerintah untuk mengkaji kembali tarif bea masuk 0% untuk impor susu demi melindungi kepentingan industri susu nasional. Hanya saja, jika bea tarif impor susu tidak 0%, penerapannya tentu tidak mudah. Hal ini justru akan berdampak pada berkurangnya nominal renten yang selalu diburu oleh perusahaan-perusahaan importir. Atas landasan bisnis, mereka tentu tidak akan bersedia.
Permasalahan lainnya adalah stabilitas harga susu yang akan sangat terpengaruh ketika ada susu impor. Keberadaan susu impor membuat stok susu melimpah sehingga sudah pasti menekan harga susu lokal, padahal peternak sudah banyak mengeluarkan biaya operasional. Sebagai informasi, harga susu sapi di Boyolali terus anjlok hingga menjadi Rp7 ribu per liter. Jika dalam sehari susu yang dibuang mencapai 30 ribu liter susu, mereka rugi hingga ratusan juta per hari. Ini jelas membuat peternak rugi besar.
Sungguh, jika benar pemerintah tulus hati untuk mengurus urusan rakyatnya, pemerintah akan lebih fokus merevitalisasi dan menguatkan produksi susu nasional dari peternak dan sumber daya lokal, tanpa harus mengundang investor, apalagi asing. Aksi buang susu menegaskan bahwa ketersediaan susu dari peternak lokal melimpah. Klaim bahwa 80% kebutuhan susu nasional harus dipenuhi dari impor sejatinya menarasikan bahwa pemerintah enggan mengakomodasi sektor peternakan sapi perah maupun produksi susu lokal dengan sebaik-baiknya.
Realitasnya, para pemburu rentenlah yang ada di balik impor susu ke Indonesia yang begitu jorjoran. Keberadaan mereka makin subur dengan kebijakan bea masuk 0% untuk impor susu. Ini membuktikan bahwa pemerintah selama ini hanya melulu memihak para kapitalis karena kebijakan-kebijakan yang lahir akan memudahkan aktivitas usaha. Jelas, semua ini akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme.
Saatnya Kita Bangkit
Indonesia memiliki nilai impor susu yang lebih besar daripada nilai ekspornya. Kita masih bergantung pada susu impor karena kebutuhan konsumsi susu terus meningkat pesat setiap tahunnya dan sistem produksi susu di Indonesia masih belum bisa mencukupi permintaan konsumen. Terbukti dari Produksi Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) hanya dapat memenuhi sekitar 22% kebutuhan susu segar dalam negeri, sedangkan 78% sisanya berasal dari impor (BPS 2020)
Masalah ini disebabkan laju pertumbuhan produksi susu segar di dalam negeri, yaitu sebesar rata-rata 1 persen dalam enam tahun terakhir. Sehingga tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan kebutuhan bahan baku industri pengolahan susu yang tumbuh rata-rata 5,3 persen.
Kelangkaan susu segar ini seharusnya memberikan peluang besar bagi produsen susu dalam negeri untuk membangun agribisnis persusuan mereka. Namun peternak banyak harus harus mengatasi kendala seperti kualitas benih yang buruk dan kurangnya kapasitas budidaya, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan hewan. Kelangkaan ini menghambat pertumbuhan produksi susu di Indonesia, yang berdampak pada kualitas susu. Proses menghasilkan rumput hijau untuk pakan ternak juga dipengaruhi oleh kesulitan lahan. Seperti yang disebutkan sebelumnya, ukuran usaha yang kecil dan biaya transportasi menghalangi kemajuan produksi susu dalam negeri.
Harusnya kondisi ini bisa sangat menguntungkan pertumbuhan atau pengembangan agribisnis persusuan di Indonesia, dilihat pula dari kondisi geografis, ekologi dan lingkungan di Indonesia yang juga harusnya sudah mendukung, tinggal dimanfaatkan lebih baik saja. Yang Dimana kita bisa memiliki pasokan susu yang cukup, namun karena kurangnya pemanfaatan sumber daya untuk pengembangan agribisnis persusuan. Tentu ini sangat merugikan kita, diantaranya terkurasnya devisa nasional, menganggurnya sumber daya, dan kehilangan pendapatan pajak yang seharusnya diterima pemerintah jika sektor ini berkembang dengan baik. Ironisnya sebagian besar susu yang dibutuhkan Indonesia masih harus dari impor, karena kita tidak dapat melakukannya.
Jaminan Politik Ekonomi Islam
Susu adalah bahan pangan yang memiliki nilai gizi tinggi karena mengandung berbagai macam zat gizi. Susu mudah dicerna dan diserap sehingga sangat baik dikonsumsi untuk semua umur. Melihat manfaat besar susu ini, tidak layak jika dikelola secara kapitalistik. Sungguh, Islam memiliki sistem dan politik ekonomi Islam yang akan memberikan jaminan dan perlindungan bagi para peternak sapi perah agar jerih payah mereka bisa dinikmati oleh masyarakat luas.
Sistem ekonomi Islam ini akan efektif jika diterapkan oleh negara Islam (Khilafah). Inilah satu-satunya sistem yang tepat untuk mengelola sektor produksi susu. Atas dasar ini, visi pengelolaan peternakan, sumber daya, produktivitas, dan ketersediaan pangan melalui sektor peternakan adalah bagian dari tanggung jawab penguasa. Untuk itu, Khilafah akan berdiri tegak membela kemaslahatan umat, dalam hal ini para peternak sapi perah.
Untuk menjamin nasib mereka, Khilafah akan menerapkan politik dalam negeri dalam wujud penjagaan stabilitas harga susu. Jika ada susu impor di pasar dalam negeri, Khilafah harus memastikan keberadaannya tidak berdampak pada harga susu lokal. Jika ternyata berdampak pada harga susu lokal, Khilafah berwenang untuk membatasi kuota atau menghentikan impor susu tersebut.
Khilafah juga berperan menjamin pemberdayaan penuh sektor peternakan sapi perah di dalam negeri. Kawasan-kawasan yang potensial untuk membangun peternakan sapi perah akan diakomodasi dan difasilitasi dengan sebaik-baiknya, baik itu dari sisi lokasi geografis, modal usaha, ketersediaan pakan dan kesehatan ternak, beserta fasilitas pengolahan, penyimpanan, penyaluran, dan transportasinya.
Untuk mengelola stok susu, Khilafah akan membangun pusat-pusat industri pengolahan yang akan menyerap susu dari peternak, berikut jaminan infrastruktur untuk distribusinya, seperti pemenuhan standar rantai dingin. Jika stok susu berlebih (surplus), Khilafah bisa mengekspornya ke negeri lain. Kebijakan ekspor susu ini baru diambil saat kebutuhan rakyat di dalam negeri sudah tercukupi. Jika produksi susu di dalam negeri sedang defisit, Khilafah bisa melakukan impor, tetapi sifatnya sementara.
Pada saat yang sama, Khilafah akan lebih fokus untuk merevitalisasi sektor peternakan di dalam negeri sehingga mencegah ketergantungan pada impor. Sektor peternakan sapi perah di dalam negeri pun akan berkembang dan berdaya sehingga ketersediaan susu dapat diwujudkan dan kelangkaannya dapat dihindari. Para peternak sapi perah bisa sejahtera dan menikmati hasil jerih payahnya tanpa harus khawatir rugi akibat susu impor.
Khilafah juga bertanggung jawab meningkatkan kesejahteraan rakyat secara individu per individu sehingga mereka memiliki daya beli yang baik untuk memperoleh komoditas susu menurut standar kecukupan gizi bagi seluruh anggota keluarganya. Dengan ini, rakyat bisa dijauhkan dari kerawanan pangan dan kelaparan. Demikianlah gambaran langkah serius Khilafah yang sangat peduli akan terpenuhinya kebutuhan rakyat, bahkan selalu berpikir untuk menyejahterakan mereka.
Wallahu a'lam bissawab
Posting Komentar