-->

Menyoal Tingginya Kekerasan Pada Anak

Oleh : Supriyani, S.T.P. (Muslimah Bekasi) 

Dalam sebulan ini, terjadi banyak kasus kejahatan dan kekerasan terhadap anak. Seperti di daerah Aceh, Polres Aceh Utara menangkap tiga pelaku pemerkosan dan pelecehan seksual terhadap A (14) warga Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, Senin (11/11/2024). Kasus itu terungkap setelah ibu korban melaporkan ketiga pelaku ke Mapolres Aceh Utara. 
Selain itu di daerah Banyuwangi, aparat kepolisian masih terus menyelidiki kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang menimpa DCN (7), siswi kelas 1 madrasah ibtidaiyah (MI), dibunuh dan diperkosa sepulang sekolah pada Rabu (13/11/2024). (Kompas.com,17/11/2024).

Dua kasus tersebut menambah daftar panjang kekerasan yang terjadi pada anak. Terhitung sejak Januari hingga pertengahan Agustus 2024, jumlah korban kekerasan anak di Indonesia mencapai 15.267 anak. Catatan SIMFONI-PPA ini sendiri mencakup berbagai jenis kekerasan yang dialami anak, termasuk kekerasan fisik, psikis, seksual, eksploitasi, trafficking, hingga penelantaran. (goodstats.id, 15/08/2024)
Tentu saja membuat miris, sekaligus menyimpan tanya, mengapa semua itu bisa terjadi? Apakah masyarakat bangsa ini sudah kehilangan akalnya atau telah rusak naluri kasih sayangnya? Di manakah fitrah kasih sayang antar anggota keluarga maupun sesama manusia yang semestinya terjalin kuat yang membuat mereka saling mengasihi dan melindungi? Kekerasan terhadap anak saat ini sudah sedemikian maraknya, bahkan makin sadis dan tidak pandang bulu. Terlebih lagi, pelaku kekerasan dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan korban. Sehingga hubungan darah maupun kerabat tidak dapat menjadi jaminan bahwa anak dapat terlindungi.

Banyak faktor yang menyebabkan kekerasan terhadap anak menjadi semakin marak, diantaranya faktor spiritual, media informasi, keluarga, lingkungan maupun keamanan. 

Faktor spiritual sejatinya menjadi benteng diri yang diandalkan. Namun, saat ini aspek spiritual semakin lemah sehingga tidak dapat menjadi senjata yang dapat menahan hawa nafsu dan tindakan negatif yang dilakukan. Saat ini, aspek spiritual hanya dijadikan topeng untuk menutupi kesalahan-kesalahan yang pelaku lakukan, ditambah dengan pemikiran bahwa ibadah dan perbuatan tidak dapat disatukan atau dua hal yang harus dipisahkan dan tidak berkaitan (sekuler). Sehingga tidak heran jika ada oknum-oknum pemuka agama yang melakukan tindakan asusila terhadap murid maupun santrinya.

Faktor yang kedua yakni media informasi yang semakin beragam dan dapat dijangkau dimanapun dan kapanpun hanya dengan genggaman tangan. Artinya alat komunikasi yang semakin canggih membuat informasi yang baik maupun buruk masuk ke dalam pemikiran masyarakat, baik melalui tontonan, artikel, novel maupun iklan-iklan yang merangsang otak untuk dapat memicu perbuatan atau tindakan sesuai apa yang didapatnya dari media tersebut. 
Sayangnya filter informasi maupun media yang dapat memicu kearah negatif sangat kecil dan hampir tidak ada sehingga wajar jika banyak perilaku-perilaku yang menyimpang yang diakibatkan dari media tersebut.

Selain dua faktor tersebut, faktor keluarga dan lingkungan juga memiliki andil dalam menghasilkan tindakan yang baik maupun buruk. Pendidikan dalam keluarga menjadi penting dalam mendidik anak-anak agar memiliki pola pikir dan mental yang tangguh, rasa malu yang tinggi sehingga anak dapat mengenali lingkungan dan memperlakukan seseorang sesuai porsinya. Sehingga hal tersebut meminimalisir seorang anak dapat mudah dirayu atau diimingi-imingi sesuatu. Peran keluarga sayangnya sudah semakin tipis bahkan kabur, karena orangtua sibuk dengan memenuhi kebutuhan ekonomi termasuk ibu di dalamnya yang mau tidak mau harus ikut dalam membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Sehingga peran ibu sebagai sekolah pertama bagi anak mulai punah dan berkurang.

Ditambah dengan masyarakat yang acuh terhadap orang-orang hidup disekitarnya, sehingga kontrol masyarakat hilang. Tak heran jika kekerasan yang terjadi pada daerah tempat tinggalnya, mereka tidak mengetahui. Masyarakat yang saat ini cenderung individualis membuat kekerasan maupun kejahatan bisa terjadi kapanpun dan dimanapun.

Dari semua faktor diatas, faktor keamanan yang seharusnya menjadi tugas negara sangat lemah. Jaminan keamanan tidak didapatkan oleh semua masyarakat. Hanya sebagian masyarakat yang dapat mendapat kemanan, itupun dengan membayar jasa keamanan. Negara yang seharusnya menjadi tempat mengadu dan menghukum para pelaku tidak bisa didapatkan secara gratis oleh masyarakat.
Kekerasan terhadap anak merupakan masalah cabang yang sejatinya berasal dari masalah pokok. Begitu pula faktor-faktor penyebab di atas juga merupakan hasil masalah yang disebabkan oleh masalah utama yakni penerapan sistem kapitalisme yang didasarkan pada sekulerisme (memisahkan agama dari kehidupan). Ketika pemahaman agama tidak menjadi standar, hawa nafsulah yang menjadi penentu. Begitulah ketika liberalisme sebagai turunan dari kapitalisme telah menghilangkan ketakwaan individu. Ketika kapitalisme menjadi landasan dalam kehidupan, setiap orang merasa bebas berbuat semaunya. Agama tidak lagi dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan. Masyarakat pun abai melakukan amar makruf nahi mungkar karena kapitalisme cenderung melahirkan orang-orang individualis.
 
Terlebih lagi, negara dalam sistem rusak ini sangat lemah dalam memperhatikan urusan rakyatnya. Keamanan rakyatnya pun tidak mampu mereka berikan. Mau tidak mau, rakyat harus melindungi dirinya sendiri dan keluarganya. Tidak dipungkiri, memang ada berbagai upaya solusi yang dilakukan, tetapi tidak berhasil, bahkan angka kejahatannya terus meningkat dan makin sadis. Ini karena solusi selama ini tidak menyentuh akar masalah.

Oleh sebab itu, perlu adanya solusi sistemik yang mampu menyelesaikan persoalan ini secara tuntas. Islam sebagai agama dan juga sistem kehidupan yang datang dari Sang Pencipta (Allah SWT), mampu mengetahui segala hal yang tepat dan menyelesaikan semua persoalan untuk makhluk ciptaan-Nya. Dalam Islam, anak merupakan harta peradaban sehingga wajib dilindungi, dibina dan diperhatikan dengan sebaik-baiknya. Islam juga memandang bahwa anak sebagai aset akhirat bagi orang tuanya sebagaimana dalam hadist,
Rasulullah saw. bersabda, “Jika seseorang meninggal dunia, terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh.” (HR Muslim).

Islam memiliki solusi menyeluruh untuk mengatasi kekerasan seksual. Meliputi tiga pilar penting yaitu individu yang memiliki rasa takut terhadap Allah, masyarakat yang mempunyai kontrol terhadap lingkungannya karena memiliki pola pikir dan perasaan Islam sehingga perbuatan saling menasihati dalam Islam dan mencegah kejahatan menjadi bagian keseharian yang tidak terpisahkan.

Terakhir, negara yang dapat menjalankan aturan dan sanksi yang tegas berdasarkan hukum Islam sehingga tercipta hukum yang adil.
Individu yang taat lahir dari keluarga yang terpaut dengan Islam sebagai landasan kehidupan. Keluarga yang dapat melahirkan orang-orang saleh tentunya keluarga yang taat pada syariat Islam dan menjauhi maksiat dalam hidupnya. Kriteria keluarga seperti inilah yang dapat menjaga anak-anak dari kejahatan dan kekerasan seksual. Hanya saja, keluarga juga membutuhkan pada lingkungan mendukung dan kondusif. Masyarakat di dalamnya harus mempunyai pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama, dan itu bersumber dari syariat Islam. Sehingga masyarakat tidak akan acuh terhadap kemaksiatan.

Hanya saja, semua itu membutuhkan peran negara, baik dalam membina individu, keluarga dan masyarakat. Sehingga penerapan sistem kehidupan Islam dapat terealisasikan. Lebih dari itu, negara yang menerapkan aturan Islam secara total dapat mewujudkan sanksi yang tegas dan memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan. Sistem sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah dan penebus, yang artinya agar orang lain yang bukan pelaku dapat tercegah untuk melakukan tindakan kejahatan yang sama dan jika sanksi itu diberikan kepada pelaku, maka sanksi tersebut dapat menebus dosanya.
Selain itu, Islam akan melakukan pengawasan secara ketat terhadap seluruh media yang ada dan mengoptimalkan sebagai syiar dakwah. Acara atau konten yang dapat mengantarkan pada kemaksiatan jelas akan dilarang. Demikianlah sistem Islam yang mampu mewujudkan keamanan dan perlindungan hakiki kepada anak sebagai penerus generasi. Wallahualam bissawab.