Ilusi Kesejahteraan Buruh Dalam Sistem Kapitalisme
Oleh : Anastasia, S.Pd.
Permasalah kenaikan upah buruh memang klasik, hampir di setiap tahun para buruh turun ke jalan menuntut kenaikan upah buruh. Begitu pun, dengan pembahasan kenaikan upah minimum tahun 2025 masih berlangsung. Hingga kini, pengusaha maupun buruh belum mencapai kesepakatan terkait aturan yang akan digunakan untuk menentukan kenaikan upah minimum untuk tahun 2025 nanti.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal meminta upah minimum naik sebesar 8% hingga 10% pada 2025 lantaran selama 2 tahun terakhir kenaikan upah di bawah inflasi. (Ekonomibisnis.com,19 September 2024).
“2025 upah minimum di depan mata, kita proklamirkan upah minimum 2025 naik minimal 8% -10%,” kata Said Iqbal dalam Peringatan 3 Tahun Kebangkitan Klas Buruh, (Ekonomibisnis.com, Kamis (19/9/2024).
Kita Memahami, mengapa buruh menuntut kenaikan upah, hal ini berdasarkan biaya kebutuhan layak hidup di ibu kota atau di kota-kota besar yang sangat besar. Biaya tersebut mencapai Rp6,9 juta per bulan. Untuk biaya pengeluaran terbesar buruh masuk pada kebutuhan makanan hingga biaya sewa rumah. Selain itu buruh pun, dihadapkan dengan berbagai beban pengeluaran yang terus bertambah, seperti kenaikan PPN hingga 12%, kenaikan biaya BPJS Ketenagakerjaan, kewajiban iuran Tapera dan BPJS Kesehatan. Dengan besarnya biaya hidup dan berbagai beban pengeluaran, buruh berharap tuntutannya bisa dipenuhi.
Ilusi Kesejahteraan Buruh
Memang, sangat sulit bagi buruh untuk bisa hidup sejahtera, dengan upah yang di bawah standar kelayakan hidup, ditambah biaya hidup yang semakin tinggi tentulah nasib buruh sangat memprihatinkan. Akan tetapi, tuntutan tersebut mendapatkan tentangan dari kalangan pengusaha, yang menilai, tuntutan tersebut akan dianggap sebagai tambahan beban yang berisiko bagi bisnis atau perusahaan mereka.
Karena, setiap perusahaan selalu melakukan efisiensi biaya untuk keuntungan yang lebih besar. Di antaranya, tidak menaikkan upah atau naik dalam skala kecil atau mengurangi tenaga kerja dengan melakukan PHK.
Pandangan demikian wajar, karena saat ini Indonesia menerapkan sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, buruh dianggap sebagai faktor produksi, sehingga sistem kapitalisme, akan menjadikan upah buruh seminimal mungkin demi mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Konsep upah dalam kapitalisme, membuat buruh hidup dalam keadaan pas-pasan, karena gaji mereka disesuaikan dengan standar hidup minimum tempat mereka bekerja.
Kondisi ini sesuai dengan regulasi yang ada dalam kapitalisme, yang meniscayakan berpihak pada pengusaha dan merugikan buruh. Akibatnya, tenaga buruh hanya akan dihargai berdasarkan, kebutuhan hidupnya sekecil-kecilnya.
Sejatinya, persoalan buruh akan terus ada selama masih menerapkan kapitalisme yang menganggap buruh hanya sebagai faktor produksi. Kapitalisme mempunyai sistem kerja dengan meminimalkan biaya produksi, termasuk biaya tenaga kerja. Di saat saat yang sama, negara tidak mampu memberikan perlindungan kepada buruh, karena negara hanya berperan sebagai regulator. Faktanya, selama penerapan sistem kapitalisme, negara pun hanya akan perpihak kepada pemodal.
Nasib kesejahteraan buruh hanya tergantung pada perusahaan. Dengan prinsip meminimalkan biaya, perusahaan pun tidak pernah memberikan kesejahteraan pada buruh. Sehingga, buruh tidak akan pernah mencapai sejahtera di bawah sistem kapitalisme.
Kembali Pada Islam
Kita memahami, permasalahan buruh muncul ketika adanya kesalahan dalam sistem kapitalisme dalam memandang upah. Upah dalam sistem kapitalisme berdasarkan kebutuhan hidup minimum, yang sejatinya tidak akan pernah mencapai sejahtera.
Dalam sistem Islam kita mengenal ijarah, adalah akad (transaksi) terhadap jasa tertentu dengan suatu kompensasi. Syarat tercapainya keabsahan akad (transaksi) ijarah, adalah kekayaan orang saat melakukan akad. Masing-masing telah mumayyiz (usia pra-balig), adanya keridhaan kedua belah pihak yang melakukan akad (transaksi), dan upahnya harus jelas. Sebab, Nabi Saw. pernah bersabda:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَن اسْتِئْجَارِ الْأَجِيرِ، يَعْنِي حَتَّى يُبَيِّنَ لَه أَجْرَه
Nabi saw. melarang mempekerjakan seorang pekerja sampai dia menjelaskan kepada dia upahnya (HR Ahmad, Abu Dawud di dalam al-Marâsil dan al-Baihaqi di Sunan al-Kubrâ).
Dalam menentukan upah pekerja, Islam ditentukan oleh perkiraan jasa dan manfaat, baik berupa jasa kerja ataupun jasa pekerja. Pasalnya akad ijarah menyatakan adanya jasa tertentu. Karena itu, yang menjadi pijakan untuk memperkirakan upah adalah jasa. Upah tidak diperkirakan berdasarkan produksi seorang pekerja, dan tidak pola diperkirakan berdasarkan batas taraf hidup yang paling rendah dalam komunitas tertentu. Artinya, menentukan upah tidak dipengaruhi oleh produksi seorang pekerja maupun ketinggian taraf hidup tertentu. Namun penentuannya semata-mata dikembalikan pada jasa. Dalam mengontrak seorang pekerja, harus ditentukan jenis pekerjaan, waktu, upah, dan tenaganya. Jenis pekerjaan harus dideskripsikan, sehingga dapat tergambar jelas, untuk menghindari adanya konflik antara pekerja dan majikan.
Negara berperan sebagai pengawas, akan menjadi pengawal, memastikan ijarah tersebut berjalan sebagaimana Islam mengaturnya.
Islam pun, memberikan tanggung jawabnya dalam memenuhi segala kebutuhan pokok masyarakat. Sehingga, kesejahteraan bukan hanya milik dari komunitas tertentu saja, Melainkan hak semua orang.
Wallahu 'alam.
Posting Komentar