Kemiskinan di Dunia, Termasuk Indonesia: Keniscayaan di Bawah Naungan Kapitalisme
Oleh : Umma Almyra
Setiap tahunnya, sejak tahun 1992, tanggal 17 Oktober melalui resolusi nomor 47/196, Majelis Umum PBB secara resmi menetapkan Hari Pengentasan Kemiskinan International. Berawal dari berkumpulnya seratus ribu orang yang berkumpul di Trocadero di Paris pada tanggal 17 Oktober 1987. Mereka melakukan hal ini untuk menghormati para korban ekstrem, kekerasan dan kelaparan. Menurutnya, kemiskinan merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
“Mengakhiri Penganiayaan Sosial dan Kelembagaan Bertindak bersama untuk Masyarakat yang adil, damai dan inklusif.” Tema peringatan yang ditetapkan oleh UNESCO tahun ini. Tema tahun ini akan fokus pada salah satu aspek tersembunyi dari kemiskinan, yaitu perlakuan diskriminatif secara sosial dan kelembagaan yang dialami oleh individu yang hidup dalam kondisi miskin. Selain itu, tema ini juga akan mengeksplorasi langkah-langkah kolaboratif untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 16 (SDG 16), yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil, damai, dan inklusif.
Peringatan ini bukan sekadar acara seremonial, tetapi merupakan panggilan untuk melakukan tindakan nyata di seluruh penjuru dunia. Lantas, bagaimana seharusnya kita merayakan hari penting ini, dan benarkah langkah-langkah yang sedang diambil memang untuk mengatasi kemiskinan global di zaman modern ini?
Kapitalisme dan Kemiskinan
Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang ditandai oleh kepemilikan pribadi atas alat produksi dan kebebasan pasar. Meskipun sistem ini mendorong pertumbuhan ekonomi dan inovasi, ia juga berimplikasi pada distribusi kekayaan yang tidak merata.
Kapitalisme cenderung menciptakan kesenjangan ekonomi yang signifikan melalui dua mekanisme utama: akses terhadap sumber daya seperti pendidikan dan modal, sering kali terbatas bagi individu dari latar belakang ekonomi rendah, menciptakan siklus kemiskinan dan ketidakmerataan distribusi kekayaan, Kekayaan terakumulasi di tangan segelintir orang, sementara mayoritas populasi tetap miskin, yang terlihat jelas di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kemiskinan di Indonesia tetap menjadi masalah signifikan, dengan sekitar 9,53% dari populasi, atau sekitar 25,4 juta orang, hidup di bawah garis kemiskinan per September 2023. Meskipun ada kemajuan dalam mengurangi angka kemiskinan, banyak rakyat, terutama di daerah pedesaan, masih menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar.
Kebijakan ekonomi nasional memainkan peran penting dalam pengentasan kemiskinan. Program seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan subsidi pangan telah diluncurkan, tetapi efektivitasnya sering kali terhambat oleh ketidakpastian ekonomi global dan kurangnya jangkauan terhadap yang paling membutuhkan.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh komunitas internasional melalui organisasi seperti PBB dan Bank Dunia untuk menciptakan kesejahteraan global. Namun, banyak inisiatif ini gagal mencapai hasil yang diharapkan karena fondasi kapitalisme yang lebih menguntungkan pemilik modal daripada rakyat kecil. Dalam sistem ini, rakyat sering diabaikan dan terpaksa berjuang sendirian menghadapi tantangan hidup yang semakin berat.
Masih ada banyak anggapan keliru terkait solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan. Beberapa orang percaya bahwa mengganti pemimpin atau meningkatkan pemberdayaan perempuan, termasuk menjadikan perempuan sebagai pemimpin di tingkat negara, jabatan kepala daerah, atau menteri, adalah langkah-langkah yang efektif untuk mengurangi kemiskinan. Meskipun peningkatan partisipasi perempuan dalam kepemimpinan dapat memberikan perspektif baru dan mendorong kebijakan yang lebih inklusif, anggapan bahwa hal ini secara otomatis akan mengentaskan kemiskinan adalah simplistis dan tidak cukup memadai.
Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa meskipun keberadaan pemimpin perempuan dapat berkontribusi pada kemajuan sosial dan ekonomi, keberhasilan dalam mengurangi kemiskinan memerlukan pendekatan yang lebih holistik. Misalnya, laporan dari World Economic Forum pada tahun 2021 menunjukkan bahwa negara-negara dengan representasi perempuan yang lebih tinggi di pemerintahan tidak selalu menunjukkan angka kemiskinan yang lebih rendah. Sebaliknya, faktor-faktor seperti kebijakan ekonomi yang berkelanjutan, pendidikan yang berkualitas, dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga sangat menentukan.
Selain itu, ada anggapan bahwa belajar di luar negeri adalah salah satu cara untuk mengatasi kemiskinan. Sebuah studi yang diterbitkan di *International Journal of Educational Research* (Volume 128, 2024) menemukan bahwa lulusan yang kembali ke negara asal setelah menempuh pendidikan di luar negeri dapat berkontribusi pada pengurangan kemiskinan, terutama di negara-negara dengan penghasilan rendah dan menengah.
Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua lulusan memiliki kesempatan yang sama untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang mereka peroleh, terutama jika tidak ada dukungan infrastruktur atau kebijakan yang memadai di negara asal mereka. Oleh karena itu, solusi untuk mengatasi kemiskinan harus melibatkan berbagai aspek dan tidak hanya berfokus pada satu atau dua elemen saja.
Kapitalisme adalah sistem yang cacat, tidak dapat menghasilkan kesejahteraan merata bagi semua lapisan masyarakat. Praktiknya membuat negara tidak hadir dalam mengurus rakyatnya, menciptakan jurang antara si kaya dan si miskin. Ukuran kesejahteraan yang ditetapkan melalui indikator seperti pendapatan per kapita sering kali semu dan tidak mencerminkan kondisi nyata. Banyak orang berjuang memenuhi kebutuhan dasar meskipun statistik menunjukkan pertumbuhan positif. Oleh karena itu, pendekatan kapitalisme dalam menangani kemiskinan dan kesejahteraan perlu dipertanyakan, dan kita harus mencari alternatif yang lebih adil dan merata.
Islam dan Solusi
Penyebab mendasar dari kemiskinan yang terus meluas di masyarakat saat ini adalah penerapan sistem kapitalisme, yang memperkuat oligarki dan membuat segelintir orang semakin kaya, sementara rakyat banyak menderita.
Dalam konteks ini, penerapan Islam Kaffah menjadi solusi yang tepat untuk mengentaskan kemiskinan, karena Islam adalah sistem yang ditetapkan oleh Allah untuk memberikan solusi menyeluruh terhadap berbagai persoalan manusia, termasuk kemiskinan.
Islam menjamin kesejahteraan individu dan kolektif dengan mengedepankan prinsip keadilan dan pemerataan sumber daya. Dalam Islam, pemimpin atau kepala negara diamanahkan sebagai raa’in, yang berarti mereka bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan penuh tanggung jawab.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW, "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya" (HR. Bukhari dan Muslim). Sistem ini menuntut pemimpin untuk berperan aktif dalam memastikan kesejahteraan masyarakat, serta memberikan perhatian yang cukup pada aspek ekonomi, sosial, dan pendidikan.
Berbeda dengan ukuran kesejahteraan yang sering kali hanya berbasis pada indikator ekonomi seperti pendapatan per kapita, Islam menetapkan ukuran kesejahteraan yang lebih riil dan individual. Dalam sistem ekonomi Islam, setiap individu dihargai dan diperhatikan kebutuhannya, sehingga negara memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan semua warganya.
Sebagaimana firman Allah "Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah yang baik-baik dari apa yang kamu peroleh dan dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu." (QS. Al-Baqarah : 267)
Melalui berbagai konsep dalam sistem ekonomi Islam, seperti zakat, wakaf, dan pengelolaan sumber daya yang berkeadilan, negara akan mampu mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Islam menetapkan bahwa negara harus berfungsi sebagai ra’in dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya, memastikan bahwa tidak ada satu pun individu yang terpinggirkan atau dibiarkan dalam kondisi kekurangan.
Semua ini hanya akan terwujud jika sistem islam ditegakan, sehingga Dengan kemiskinan dapat diatasi secara menyeluruh, menciptakan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan.
Wallahu a'lam bishawab
Posting Komentar