Meneladani Kepemimpinan Nabi saw..
Oleh: Hamnah B. Lin
Kaum muslim senantiasa memperingati momentum maulid Nabi Muhammad ﷺ, kelahiran sosok agung pembawa risalah Islam yang diutus Allah Taala untuk seluruh umat manusia (kâffata li al-nâs, lihat QS Saba’ [34]: 28) dan sebagai rahmat bagi semesta alam (lihat QS Al-Anbiyâ’ [21]: 107).
Mengingat kelahiran Nabi ﷺ bukanlah merayakan ulang tahun beliau. Mengenang momentum kelahiran beliau ﷺ adalah upaya memfokuskan kembali mata batin kita pada sosok manusia yang paling berjasa dalam hidup dan peradaban. Tidak lain agar kita menjadikan beliau ﷺ sebagai satu-satunya contoh ‘the model’ dan uswah terbaik dalam menapaki ragam sisi kehidupan.
Sungguh dalam diri Rasulullah ﷺ terdapat suri teladan dalam berkeluarga, dalam memimpin masyarakat dan negara, juga dalam ragam aspek kehidupan lainnya. Beliau ﷺ ibarat batu permata yang indah. Dilihat dari sisi mana saja beliau ﷺ memunculkan cahaya berkilau yang indah.
Allah Swt. berfirman,
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١
“Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Akhir dan ia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab [33]: 21).
Perhatian kaum muslim terhadap momentum peringatan maulid diakui sebagai salah satu bentuk ekspresi kecintaan (mahabah) terhadap beliau ﷺ. Bahwa mahabah tersebut memang wajib ditumbuhkan dan dipupuk.
Abu Abdillah al-Qurasyi dalam Risâlah Qusyayriyyah (hlm. 479) menyatakan,
حَقِيْقَة الْمَحَبَّةِ أَنْ تَهَبَ كُلَّكَ لِمَنْ أَحْبَبْتَ فَلا يَبْقَى لَك مِنْكَ شَيْئٌ
“Hakikat cinta adalah engkau memberikan semua yang ada pada dirimu kepada orang yang engkau cintai sehingga tidak tersisa sedikit pun untukmu.”
Inilah hakikat cinta kepada Allah Swt. dan Rasulullah ﷺ. Ia adalah cinta mutlak yang tidak layak dibagi. Cinta selain keduanya adalah cinta karena keduanya. Cinta kepada orang tua, anak, istri, usaha, tempat tinggal, dll. harus karena Allah Swt. dan Rasul-Nya. Mencintai keduanya hukumnya wajib; berdosa jika dilalaikan, apalagi diabaikan.
Allah Swt. berfirman,
قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ وَإِخۡوَٰنُكُمۡ وَأَزۡوَٰجُكُمۡ وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٰلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٞ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ إِلَيۡكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٖ فِي سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِيَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَٰسِقِينَ ٢٤
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri dan kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, serta rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (daripada) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS At-Taubah [9]: 24).
Ada dua qarînah pada ayat ini yang menegaskan kewajiban mencintai Allah Swt. dan Rasulullah ﷺ di atas yang lainnya. Pertama, frasa “fatarabbashû hatta ya’tiyalLâhu bi amrihi”, maknanya adalah
فَانْتَظِرُوْا مَاذَا يَحِلُّ بِكُمْ مِنْ عِقَابِهِ وَ نِكَالِهِ بِكُمْ
[tunggulah hingga Allah halalkan sanksi dan hukuman atas kalian]. (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 2/841).
Kedua, Allah menyifati orang yang lebih mencintai selain Allah Swt. dan Rasulullah ﷺ dengan sifat fasik dan tidak Allah beri hidayah. Wal ‘iyâdzubilLâh.
Cinta adalah fi’l al-qalb (amal hati), tidak bisa dilihat secara langsung. Namun, cinta bisa dilihat dengan ‘alamat (tanda) dan atsar (jejak)-nya. Sebagaimana seseorang yang tidak melihat ada unta, tetapi ada jejaknya, menunjukkan ada unta yang baru lewat di tempat itu. Qadhi ‘Iyadh menyatakan,
اِعْلَمْ أَنَّ مَنْ اَحَبَّ شَيْئًا اَثَرَهُ وَاَثَرَهُ مُوَافَقَتُهُ وَإِلاَّ لَمْ يَكُنْ صَادِقًا فِيْ حُبِّهِ
“Ketahuilah bahwa siapa saja yang (mengeklaim) mencintai sesuatu (termasuk seseorang), maka ada tandanya. Tanda tersebut bersesuaian dengan kadar cintanya. Jika tidak ada buktinya, tidak benar klaim cintanya.” (Ats-Tsa’alabi, Al-Jawâhir al-Hasan fî Tafsîr al-Qur’ân, 1/200).
Masih menurut Qadhi ‘Iyadh, bukti paling nyata dan paling awal atas pengakuan cinta kepada Rasulullah ﷺ adalah
الإِقْتِدَاءُ بِهِ وَاِسْتِعْمَالُ سُنَّتِهِ وَاِتِّبَاع أَقْوَالِ هوَ أَفْعَالِهِ وَامْتِثَالُ أَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابُ نَوَاهِيْهِ وَالتَّأدَّبُ بِاَدَابِهِ
[meneladani beliau, mengamalkan sunah beliau, mengikuti ucapan dan perbuatan beliau, menjalankan perintah beliau, menjauhi larangan beliau, dan berusaha memiliki adab (akhlak) seperti adab (akhlak) beliau]. (Qadhi ‘Iyadh, Asy-Syifâ bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ, 2/16).
Salah satu sunah qauliyyah Rasulullah ﷺ adalah wasiat monumentalnya pada Haji Wadak (Haji Perpisahan), yang mewasiatkan umatnya untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunah, menjadikannya sebagai pedoman hidup.
«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ»
“Wahai umat manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian apa-apa yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya, maka tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR Al-Hakim, Al-Baihaqi dan lainnya).
Hadis ini mengandung pesan umum bagi manusia, mencakup kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara, sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya secara praktis. Wasiat Nabi ﷺ ini merupakan wasiat agung yang ditujukan kepada umat manusia secara umum, termasuk pemimpin kaum muslim dan kaum muslim pada umumnya.
Wasiat Rasulullah ﷺ ini mengandung perintah fardu untuk berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan Sunah, mencakup kewajiban menjadikan keduanya sebagai dasar negara dan hukum perundang-undangan, mencakup aspek politik dalam negeri maupun luar negeri, fardu dengan petunjuk (qarînah) adanya janji keselamatan dari kesesatan, diperkuat dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunah lainnya.
Hal itu sebagaimana ditunjukkan oleh sunah Rasulullah ﷺ yang menegakkan institusi politik Islam berpusat di Madinah al-Munawwarah, diteruskan oleh para sahabat al-khulafâ’ al-râsyidûn pada periode yang disebut Rasulullah ﷺ dalam hadis hasan riwayat Imam Ahmad sebagai periode al-khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah.
Semua itu memahamkan kita secara terang benderang bahwa penerapan Islam dalam kehidupan membutuhkan kekuasaan politik, yang ditafsirkan oleh Rasulullah ﷺ dalam bentuk praktis, yakni dengan tegaknya institusi politik, negara Islam (al-daulah al-islâmiyyah).
Inilah makna mencintai Nabi, yakni mencintai syariatnya. Mencintai syariatnya terwujud dengan menghidupkan sunahnya dengan mengupayakan tegaknya Islam secara totalitas dalam kehidupan. Kecintaan itulah yang mengantarkan seorang muslim berada di barisan pejuang yang memperjuangkan din Islam. Tentu kaum muslim tidak ingin seperti kaum yang duduk-duduk berdiam diri, berpangku tangan menunggu pertolongan turun dari langit untuk membangkitkan kaum muslim dalam tidurnya yang panjang, padahal Rasulullah ﷺ telah beramal dan memberikan keteladanan sebaik-baiknya keteladanan.
Wallahu a'lam.
Posting Komentar