Indonesia Akan Baik-Baik Saja dengan Islam
Oleh : Isma Sawitri
Pamoyanan - Bogor Selatan
Dinamika sosial dan politik belakangan ini kian memanas. Usai perhelatan Pilpres, kini Pilkada digelar. Menarik, bukan?
Eskalasi yang meningkat ditambah dengan bumbu-bumbu drama di menit-menit terakhir pendaftaran ke KPU. Gelombang demonstrasi pun ikut hadir di antara riuh rendah perjalanannya. Setelah demo mahasiswa mengawal Putusan Mahkamah Konstitusi No. 60, Aksi Kamisan dilanjutkan oleh para pengemudi ojek online (ojol) dengan tuntutannya di depan Gedung DPR. Adu tagar #indonesiatidakbaikbaiksaja vs #indonesiabaikbaiksaja mengudara di jagat maya. Warganet yang selalu menghiasi media sosial pun beradu argumen mana tagar yang benar dan sesuai dengan fakta. Tak pelak, bagi mereka yang mendukung tagar #indonesiabaikbaiksaja dianggap warganet sebagai buzzer. Sebab, banyak kalangan menilai bahwa tagar tersebut jelas bertolak belakang dengan kondisi saat ini.
Mirisnya, masyarakat secara umum tidak memahami persoalan yang ada. Para buzzer ini berhasil mengacak-acak pemikiran dan mengaduk-aduk emosi warganet, sehingga mereka terkecoh dan lupa dengan apa yang sedang terjadi. Bak jauh panggang dari api. Negara yang diharapkan mengedukasi warganya malah "memelihara" buzzer demi pencitraan semata. Bahkan dinarasikan ada "ancaman" jika masyarakat bersuara kontra dengan rezim. Ngeri! Ada Raja Jawa yang akan sangat berkuasa, yang bisa melakukan segalanya. Sudah macam Firaun saja, kata salah seorang pengamat politik. Kalau begini, "Is everything okay, Yura?"
Rendahnya kesadaran dan analisis politik masyarakat tak dipungkiri karena peran negara yang minim. Memang sekolah-sekolah bagus, bahkan berstandar internasional, banyak. Namun, semua tahu itu hanya diperuntukkan bagi kaum borjuis alias menengah ke atas. Sedangkan wong cilik? Hanya bisa gigit jari. Himpitan ekonomi yang semakin besar mengakibatkan pengangguran. Judi online, pinjaman online, prostitusi online, dan sebagainya. Angka putus sekolah pun meningkat.
Fakta di lapangan, penulis menemukan seorang anak lulusan SD yang menjadi badut Doraemon. Ia tidak melanjutkan sekolah karena yatim. Pasca ayahnya meninggal, ibunya harus bekerja di sebuah pabrik demi menafkahi dia dan ketiga adiknya. Entah ke mana perhatian aparatur yang berwenang. Katanya, ia belum pernah mendapatkan bantuan sosial (Bansos), Program Keluarga Harapan (PKH), atau apapun itu. Entah mungkin karena dia juga enggan bersekolah, sebab penghasilannya sehari bisa mencapai 200 ribu rupiah. Bahkan, rambutnya pun dicat sedikit pirang. Ironis. Ini mengingatkan penulis pada seseorang yang katanya content creator, yang menolak tawaran untuk melanjutkan sekolah dan memilih untuk terus menjadi YouTuber. "Memangnya jadi YouTuber tidak harus sekolah ya, Yura?" Geleng-geleng kepala, bukan? Padahal yang sudah sekolah dan kuliah pun belum tentu memiliki kemampuan analisis yang baik terhadap berbagai persoalan yang mendera.
Tak heran, karena aturan yang berlaku kini bukanlah berasal dari Islam. Aturan sekuleristik yang diterapkan dalam pendidikan, misalnya, mayoritas berupa teori, rumus, dan doktrin yang tidak selalu aplikatif serta minim sentuhan agama dan akhlak. Gempuran budaya asing menambah keruwetan, bahkan mengeliminasi peran agama.
Berbeda dengan Islam. Pada masa kejayaannya selama 14 abad, Islam mendidik dan membina masyarakat agar berpikir cemerlang dan mendalam, kuat agamanya, serta cakap dalam berbicara.
Kurikulum pendidikan disusun untuk menciptakan semangat taat syariah di tengah umat, membangun kesadaran politik, dan mendorong beramar ma'ruf nahi munkar. Berani mengatakan yang benar sekalipun di hadapan penguasa. Negara mengizinkan. Tak anti kritik apalagi menggunakan tangan besi. Mengevaluasi pemimpin menjadi lazim ketika kebijakannya menyalahi syariat. Tak perlu buzzer untuk memperbaiki citra. Karena jika ingin rakyat bersimpati, maka pemimpinnya rela dikoreksi demi bersama meraih ridho Ilahi. Bismillah, Indonesia akan baik-baik saja dengan diterapkannya aturan Islam yang sempurna dan paripurna.
Posting Komentar