-->

SEKOLAH TAK ADA RASA AMAN, DIRUNDUNG HINGGA BERKABUNG

Oleh: Adilah Risya Rahmi (Aliansi Penulis Rindu Islam)

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat laporan 2.355 kasus pelanggaran perlindungan anak sampai bulan Agustus 2023. Tentu jumlah ini akan terus bertambah mengingat saat ini sudah memasuki trisemester awal di tahun 2024. Kasus bullying kembali menjadi perhatian publik di kalangan remaja setelah pemutaran film Vina, Sebelum Tujuh Hari yang sampai saat ini masih belum ditangkap pelakunya. 

Perundungan yang semakin terjadi pada generasi muda saat ini membuat para orang tua semakin resah. Harapan orangtua ketika anaknya sekolah adalah untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan mampu menjadi generasi yang terbaik dan berprestasi, namun nyatanya kebanyakan dari anak – anak justru menjadi korban perundungan yang dilakukan oleh kakak kelas maupun teman sebayanya. Menurut studi PISA (Program Penilaian Pelajar Internasional) pada tahun 2018 dalam risetnya menyatakan sebanyak 41% pelajar berusia 15 tahun setidaknya beberapa kali dalam sebulan mendapatkan perundungan. Perundungan yang diterima oleh anak-anak berupa kekerasan verbal (ucapan ejekan), fisik (pukulan, dorongan), psikologis (dikucilkan, difitnah), maupun cyberbullying (perundungan online). Kasus perundungan di sekolah sulit terdeteksi oleh orang dewasa karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi, diantaranya mengancam korban agar tidak melaporkan atas apa yang dilakukan terhadap dirinya.

Maraknya kasus perundungan menjadi tolak ukur pola pikir dan pola sikap generasi muda saat ini. Bagaimana kualitas pola pikir dan tingkah laku yang dimiliki oleh generasi muda berhubungan erat dengan pencapaian pendidikan generasi suatu negara. Keberhasilan pendidikan dalam mendidik generasi tidak lepas dari peran pendidikan di lingkungan keluarga, sistem pengajaran di sekolah serta peran aktif pemerintah dalam pembentukan pola sikap dan sikap generasi muda. Pendidikan di sekolah hanya difungsikan sebagai tempat transfer ilmu tapi minim pemahaman moral maupun akidah. Orangtua hanya mengandalkan dan merasa cukup dengan pembelajaran di sekolah tanpa adanya penguatan akidah dan pembiasaan moral yang perlu diterapkan dalam keseharian. Anak anak pada usia sekolah memiliki keingintahuan yang besar akan segala sesuatu, membutuhkan pengakuan orang lain atas eksistensi dirinya, maupun penyaluran naluri yang mulai berkembang. Sekolah yang diharapkan juga mampu memberikan ilmu yang luas kepada siswa dan mampu dikembangkan, nyatanya sekolah harus mengikuti arahan tentang kurikulum yang berubah menyesuaikan dengan perjalanan politik yang terjadi. Fokus para pengajar untuk mencapai target kurikulum yang ditentukan oleh pemerintah seringkali hanya sekedar melepas tanggungjawab untuk mendapat nilai dari siswa, terlepas siswa memahami atau tidak. Terlebih, sekolah diharapkan mampu memberikan output siswa yang siap untuk masuk ke perguruan tinggi dan siap untuk terjun ke dunia kerja.

Kondisi saat ini menunjukkan antara ketiga komponen yang saling berkaitan dalam pembentukan pola pikir dan sikap bagi generasi muda, terutama dalam pendidikan yang menciptakan karakter unggul bagi generasi muda. Peran Negara dalam menentukan kurikulum terbaik yang tidak terfokus pencapaian nilai dan hanya untuk siap kerja bagi siswanya, memberikan pemahaman yang utuh sesuai dengan norma dan moral serta memberikan pengaturan dalam memberikan keamanan dan kenyamaan setiap siswa di lingkungan sekolah.

Sekolah memberikan edukasi yang mendasar terutama tentang pola pikir tentang menundukkan rasa ego, menumbuhkan rasa empati, rasa kasih sayang kepada yang lebih muda dan menghormati kepada yang lebih tua. Memastikan pola sikap setiap siswanya tidak keluar dari norma ataupun ajaran agama. Sekolah pun tidak memberikan ruang bagi aktivitas-aktivitas yang dapat mengancam seorang siswa, seperti tradisi perpeloncoan yang menjadi awal mula penindasan di lingkungan sekolah.

Keluarga pun memiliki peran yang sangat besar dalam memahamkan setiap pola pikir dan tingkah laku anak sedari kecil. Keluarga yang harmonis, saling menyayangi dan memiliki penanaman akidah yang baik tidak akan pernah terbesit dalam dirinya untuk melukai sesama manusia. Di lingkungan keluarga yang mengutamakan penanaman akidah akan menghasilkan individu yang memilki pola pikir dan sikap yang baik. Secara keseluruhan, ketiga komponen ini tidak akan pernah saling berkaitan dengan baik jika diterapkan pada sistem Kapitalisme. Orientasi yang diterapkan hanyalah untuk mencetak generasi yang siap untuk hidup dalam tekanan dunia luar, tanpa memperhatikan pola pikir yang tertanam pada benak individunya. Lebih jauh, pada sistem Kapitalisme inilah yang menyuburkan pola pikir dan sikap yang bebas sampai pada tataran perundungan di lingkungan sekolah pada tingkat jenjang yang merata. 

Mengamati sistem yang dulu pernah diterapkan, menghubungkan antara ketiga komponen sehingga mampu menghasilkan generasi yang memiliki pola pikir dan pola sikap yang baik, nyatanya hanya ada pada sistem Islam. Sejarah mencatat generasi muda yang diterapkan di tengah-tengah mereka pengaturan Islam menghasilkan pola pikir dan pola sikap yang islami. Pendidikan Islam memadukan antara keimanan dengan ilmu pengetahuan sehingga sangat berperan besar dalam pola sikap kesehariannya. Pola pikir dan pola sikap islami inilah yang menumbuhkan rasa aman, nyaman dan fokus pada diri siswa. Tak heran, prestasi yang di hasilkan pun gemilang dan sangat dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan. Sebut saja Al Khawarizmi, Ibnu sina ataupun Jabir Ibnu hayyan. Menyelamatkan para generasi yang telah jauh dari pola pikir dan sikap yang tidak benar adalah dengan menerapkan sistem yang lebih mampu mengkondisikan dan menyelaraskan ketiga komponen tersebut, yakni sistem Islam.