-->

Polemik Kenaikan UKT : Pendidikan Jadi Ajang Komersialisasi

Oleh : Esty Zakaria (Aktivis Dakwah) 

Malang betul nasib mahasiswa, harapan dan mimpi mereka untuk meraih cita-cita kandas, tersandung UKT yang terus naik. Biaya kuliah makin membebani orang tua dan memberatkan mahasiswa. Terutama mahasiswa yang jauh di rantau, untuk biaya hidup dan kos saja sudah berat apalagi ditambah dengan biaya kuliah yang terus membengkak. Padahal pendapatan orang tua tetap sehingga tidak mampu membayar uang kuliah anaknya. Tentu hal ini menambah peliknya problem mahasiswa.

Mahasiswa baru dari Unsoed mengajukan keberatan atas kenaikan UKT hingga 100%. Nilai tersebut dianggap tidak masuk akal, apalagi baru disampaikan beberapa saat sebelum daftar ulang. Setelah kabar ini viral, pihak Unsoed akhirnya menerbitkan peraturan terkait UKT terbaru yang tertuang dalam Peraturan Rektor No. 9/2024. Isi aturan tersebut menerangkan bahwa pihak Unsoed tetap akan menyediakan UKT Level 1 dan 2, yaitu Rp500.000 dan Rp1.000.000 untuk 20% mahasiswa. (kompas.com, 3/5/2024)

Istilah UKT mulai diberlakukan sejak 2013. Mahalnya biaya UKT ini adalah dampak dari berlakunya PTN berbadan hukum (PTN BH) yang mengakibatkan terjadinya komersialisasi perguruan tinggi. PTN BH ini memang mendapatkan otonomi untuk meraih keuntungan. Beginilah ketika tata kelola pendidikan didasarkan pada prinsip liberalisme kapitalisme yang sarat dengan aroma bisnis.

Biaya Pendidikan Selangit

Biaya pendidikan tinggi hari ini makin tinggi selangit hingga menjangkaunya pun jadi makin sulit. Memang ada sebagian mahasiswa kurang mampu yang mendapatkan uang kuliah level bawah, tetapi jumlahnya terbatas, padahal masih banyak mahasiswa yang kesulitan untuk membayar uang kuliah. Mereka mencari uang untuk membayar biaya kuliah dengan segala cara, mulai dari mencari beasiswa, bekerja paruh waktu, berjualan, atau menjadi pengemudi ojek online.

Kompas membuat sebuah analisis terkait makin melambungnya biaya pendidikan tinggi yang tidak diiringi dengan kenaikan upah masyarakat. Kondisi ini membuat orang tua makin sulit membiayai kuliah anaknya, meskipun sudah menyiapkan dana sejak jauh-jauh hari.

Analisis dilakukan terhadap data upah lulusan SMA dan sarjana dari 1995—2022 dan biaya kuliah dari 30 perguruan tinggi negeri maupun swasta rentang 2013—2022. Kenaikan upah lulusan SMA sekitar 3,8% per tahun, sedangkan sarjana 2,7% per tahun.

Adapun biaya kuliah, berdasarkan data yang diambil selama 10 tahun terakhir, kenaikannya diperkirakan sebesar 6,03% per tahun. Alhasil terdapat jurang yang lebar antara kenaikan biaya kuliah dan kenaikan upah.

Apabila orang tua lulusan SMA menyisihkan 20% penghasilannya sejak anaknya lahir sampai tamat SMA, yakni selama 18 tahun, hasil tabungannya tetap tidak cukup untuk menutup biaya kuliah selama delapan semester (masa studi S1 empat tahun). (Kompas, 29-7-2022).

Akibat mahalnya biaya pendidikan, sangat sedikit penduduk Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), pada Juni 2022, hanya 6,41% yang sudah mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Rendahnya jumlah penduduk yang berpendidikan tinggi menunjukkan bahwa akses terhadap pendidikan tinggi sangat sulit.

Akibat Kapitalisasi Pendidikan

Sulitnya akses terhadap pendidikan tinggi disebabkan oleh kapitalisasi pendidikan yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas ekonomi sehingga menjadi mahal. Penyelenggaraan pendidikan tinggi diposisikan sebagai bisnis yang bertujuan untuk meraih keuntungan, bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan.

Mirisnya, kapitalisasi pendidikan tidak hanya terjadi di kampus swasta, melainkan juga di kampus negeri. Apalagi pada jurusan-jurusan tertentu yang terkategori elite, seperti kedokteran, biaya yang harus dikeluarkan makin besar lagi.

Sebagai contoh, survei yang dilakukan terhadap 1.024 responden menunjukkan bahwa 97% mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) keberatan dengan angka UKT saat ini. (CNN Indonesia, 14-1-2023).

Pemerintah juga bukan tidak tahu dengan kondisi ini, bahkan sudah membuat kebijakan sebagai solusi. Namun, alih-alih menyolusi, kebijakan pemerintah justru melanggengkan praktik pendidikan mahal ini. Aturan UKT yang memberatkan, tidak dihapuskan, tetapi hanya ditambal sulam, yaitu dengan opsi banding dan mencicil. Nyatanya, meski mencicil, tetap saja UKT harus dibayar utuh. Proses pengajuan kelonggaran UKT pun tidak mudah dan tidak banyak yang dikabulkan sehingga UKT tetap saja mahal.

Solusi Islam

Kapitalisasi pendidikan tinggi merupakan hal lumrah di dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Di dalam sistem ini, pendidikan adalah komoditas yang bisa dibisniskan sebagaimana komoditas ekonomi lainnya. Hal ini berbeda dengan sistem Islam (Khilafah) yang memosisikan pendidikan sebagai kebutuhan dasar manusia.

Khilafah menyediakan pendidikan secara gratis bagi rakyat, termasuk pendidikan tinggi. Hal ini tertuang dalam Muqaddimah Dustur pasal 173 (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani), “Negara wajib menyelenggarakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia di dalam kancah kehidupan bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan dalam dua jenjang pendidikan, yakni pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara cuma-cuma. Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma.”

Negara akan menyediakan gedung kampus berikut perpustakaan, laboratorium, aula, klinik, serta sarana dan prasarana pendidikan lainnya. Negara juga akan merekrut dan menggaji dosen dan tenaga administrasi.

Para mahasiswa, selain mendapatkan pengajaran secara gratis, juga berhak menempati asrama, mendapatkan buku pelajaran, alat tulis, baju ganti, makanan, dan minuman. Di luar jam kuliah, mahasiswa bisa mengikuti halakah-halakah di masjid yang diisi oleh para ulama. Negaralah yang menggaji para ulama tersebut, sedangkan mahasiswa mengikutinya secara gratis. 

Negara juga membiayai berbagai penelitian yang dilakukan oleh kampus, hasil penelitian tersebut bisa ditindaklanjuti untuk kemaslahatan rakyat. Untuk mewujudkan jaminan pendidikan tinggi yang gratis ini, Khilafah membiayainya dari baitulmal, yaitu dengan mengoptimalkan pos-pos pemasukannya, terutama dari pengelolaan sumber daya alam.

Inilah jaminan pendidikan tinggi dalam Khilafah. Dengan kebijakan ini, wajar Khilafah dahulu pernah menjadi negara adidaya. Kini, agenda utama umat Islam adalah mewujudkan kembali negara yang menjamin pendidikan rakyatnya. 

Wallahu'alam bishowab