-->

P0rnografi Menyasar Anak-anak Dampak dari Sistem Kapitalisme

Oleh: Khantynetta

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Hadi Tjahjanto menyatakan, pihaknya akan membentuk satuan tugas (satgas) untuk menangani permasalahan pornografi secara online yang membuat anak-anak di bawah umur menjadi korban. Anak-anak tersebut rata-rata berusia mulai dari 12-14 tahun, bahkan ada juga anak-anak yang masih duduk di jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) dan kelompok disabilitas yang juga menjadi korban tindakan asusila tersebut (Republika.co.id, 19/04/2024).

Berdasarkan data Nasional Center for Missing and Exploited Children (NCMEC), ada sebanyak 5.566.015 konten pornografi yang melibatkan anak-anak Indonesia. Jumlah tersebut membuat Indonesia masuk ke peringkat empat secara Internasional dan peringkat dua dalam region ASEAN (sindonews.com, 18/04/2024).

Peringkat tersebut tentu menjadi sebuah aib bagi negeri ini. Bagaimana tidak, anak-anak yang seharusnya mendapatkan kehidupan yang baik,  justru menjadi korban kebejatan seksualitas. Kondisi seperti ini bisa terjadi karena sistem kehidupan manusia saat ini juga tidak baik. Pemahaman masyarakat saat ini mencari kesenangan materi sepuas-puasnya. Perbuatan seperti ini dijadikan tolak ukur kebahagiaan, karena itu tidak heran jika masyarakat saat ini tidak takut dengan dosa dan tidak peduli dengan pahala. Alhasil, perilaku liberal seperti pornografi menjadi sesuatu yang legal, bahkan anak-anak pun ikut menjadi korban.

Seperti inilah hasil dari penerapan sistem Demokrasi Sekulerisme. Di sisi lain, sistem Kapitalisme justru menjadikan produksi pornografi termasuk shadow economy.Hasil penjualan film porno cukup menggiurkan. Rumah produksi film porno bisa memperoleh keuntungan hingga Rp 500 juta, selama setahun beroperasi. Jadi selama ada permintaan pornografi pasti akan dibiarkan, bahkan dipelihara. Penerapan sistem Kapitalisme, terbukti tidak mampu membawa keamanan terhadap anak. Pemerintah juga tidak menyentuh akar persoalannya dan tidak juga membuat jera pelakunya.

Sebetulnya tidak mengherankan jika pornografi atau kemaksiatan lain tumbuh subur di negeri ini. Sekalipun negara mayoritas muslim tetapi sistem yang diterapkan negara bukanlah sistem yang berasal dari Islam. Melainkan sistem kapitalisme sekuler yang merupakan sistem buatan manusia dengan keterbatasan akal. Sistem tersebut berasaskan kebebasan dan menjauhkan nilai-nilai agama dari segala aspek kehidupan. Selain itu, kapitalisme juga hanya berorientasi pada manfaat dan materi. Selama terdapat permintaan yang menghasilkan keuntungan besar, penerapan kapitalisme akan melegalkan kemaksiatan seperti pornografi walaupun dapat merusak generasi.

Apalagi dalam kapitalisme, produksi pornografi termasuk dalam shadow economy yakni kegiatan ekonomi yang perolehan hasilnya tidak tercatat dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Tentu hal ini semakin menguntungkan pihak-pihak tertentu baik dalam lingkaran penguasa maupun pengusaha. Padahal adanya PDB menjadi tolok ukur pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sehingga memang benar jika kapitalisme hanya menguntungkan kelompok tertentu sekalipun cara yang ditempuh dengan menjual kemaksiatan. Hal ini akan tetap ada dan dibiarkan begitu saja bahkan ditumbuh suburkan selama kapitalisme bercokol di negeri ini. Sementara rakyat selalu menjadi korban terlebih masa depan generasi pun terancam.

Berbeda dengan sistem Islam, Islam memandang pornografi adalah kemaksiatan karena memperlihatkan aurat, perilaku tidak senonoh, bahkan tindakan tercela seperti perzinahan. Konten seperti ini jelas berbahaya bagi kemurnian dan kesucian akal manusia. Di sisi lain, konten pornografi juga menyebabkan munculnya gharizah nau’ (naluri melestarikan keturunan). Akhirnya, pemikiran masyarakat menjadi rendah karena hanya memikirkan hal yang bersifat seksualitas. Oleh karena itu, tindakan ini harus dihentikan.

Dalam Islam, negara tidak akan membiarkan pornografi menjadi sebuah industri atau menjadi shadow economy seperti yang terjadi saat ini. Bahkan Islam mampu mengatasi masalah ini sampai ke akar-akarnya, karena industri maksiat jelas haram dan dilarang dalam Islam.

Islam mempunyai mekanisme pemberantasan maksiat dan sistem sanksi yang tegas yang memberikan efek jera, sehingga mampu memberantas secara tuntas. Dengan demikian, hanya dengan penerapan Islam secara menyeluruh akan menjadi rahmat bagi semesta alam. Anak-anak pun tumbuh dan berkembang dalam keamanan dan kenyamanan di lingkungan masyarakat yang bersih akalnya, jiwanya serta kebiasaannya. Wallahu’alam bishawab