Boleh Nge-Game, Tapi Jangan Lupa Kita juga Bisa End-Game!
Oleh: Dewi Wulansari (Aktivis Dakwah)
Era digitalisasi merupakan era atau zaman yang sudah mengalami kondisi perkembangan kemajuan dalam ranah kehidupan ke arah yang serba digital. Mulai dari meningkatnya platform online seperti media sosial WhatsApp, Instagram, X, bahkan sampai ranah hutang piutang pun sudah ter-digitalisasi. Hal tersebut dibuktikan dengan meningkatnya platform pinjaman online (pinjol), sampai pada ranah kemaksiatan seperti judi online pun tengah merajalela.
Era ini tidak hanya dapat dinikmati oleh kalangan dewasa saja, anak-anak usia dini dan remaja pun dapat dengan mudah mengaksesnya. Sebagai contoh, permainan online atau sering disebut sebagai game online seperti Free Fire, Mobile Legends dan lain sebagainya. Dilansir dari laman suara.com (12/01/2021) seorang anak berusia 14 tahun di Siprus Utara, Turki tega membunuh orangtuanya yang sedang tertidur. Bocah tersebut diduga terinspirasi dari challenge game online yang dimainkannya dengan sebutan ”Blue Whale Challenge”. Permainan tersebut dilaporkan memikat anak muda dengan berbagai tantangan, namun pada akhirnya membuat mereka stres dan akhirnya bunuh diri. Tidak hanya di luar negeri, di dalam negeri terdapat bocah berusia 13 tahun tega membunuh teman sekolahnya karena berselisih dengan game online (wartakota.tribunnews.com, 16/03/2024).
Menanggapi kejadian tersebut, Pemerintah tengah menyusun rancangan Peraturan Presiden tentang peta jalan perlindungan anak di ranah daring. Hal itu merupakan sebuah upaya untuk melindungi anak dari konten maupun game online yang dapat berpengaruh pada tumbuh kembang anak (mediaindonesia.com, 14/04/2024).
KESALAHAN SIAPA?
Kasus-kasus seperti yang telah disebutkan diatas menunjukkan kepada kita betapa besar bahaya akibat kecanduan game online untuk tumbuh kembang anak-anak. Sedangkan orangtua tidak sepenuhnya melakukan pengawasan terhadap anak, terlebih anak disekolahkan di sekolah yang tidak membatasi penggunaan gadget saat jam sekolah. Anak ‘dipaksa’ membawa gadget ke sekolah, karena keperluan pelajaran yang saat ini hampir semua serba daring (dalam jaringan). Mau tidak mau, sekolah dengan keterbatasan fasilitas, ‘memaksa’ anak murid membawa gadget, sedangkan guru tidak melakukan pengawasan ketat terhadap penggunaannya.
Di dalam keluarga tidak jarang orangtua terpaksa memberikan gadget kepada anak karena beberapa alasan, pertama untuk menenangkan anak tantrum, kedua sebagai media belajar anak, ketiga agar anak tidak kurang update dan beberapa alasan lain tergantung kondisi suatu keluarga.
Disamping itu, penggunaan gadget di rumah tidak mendapatkan pengawasan secara langsung dari keluarga terutama orangtua. Sehingga, proteksi terhadap anak dari tayangan foto, video bahkan game online yang mengandung konten kekerasan maupun pornografi sangat minim. Walhasil anak akan dididik oleh gadget bukan oleh orangtua.
Ditambah lagi, lingkungan sosial juga menjadi ‘support system’ bagi anak-anak. Maraknya kekerasan maupun tindakan berbau seksual yang dilakukan anak lantaran teman bermain belum teredukasi bahaya game online dengan baik. Dengan ini, lingkungan juga memiliki pengaruh besar untuk tumbuh kembang anak. Selain itu, tidak adanya ketegasan pemerintah dalam membasmi game online yang mengandung unsur kekerasan dan pornografi, serta tidak ada ketegasan dalam memberikan sanksi hukum. Lemahnya peran pemerintah inilah yang menjadi akar permasalahan mengapa game online masih marak di kalangan anak-anak. Maka, sudah seharusnya pemerintah menindak tegas pelaku pembuat maupun penyebarnya.
ISLAM MELINDUNGI ANAK
Islam tidak menolak adanya digitalisasi, bahkan Islam akan memanfaatkan kondisi ini untuk meningkatkan kualitas generasi dengan tetap menanamkan aspek keimanan dalam setiap lingkup revolusi digital yang terjadi. Dengan Islam, anak akan mendapatkan edukasi dalam mengarungi era digitalisasi agar tidak mudah terbawa arus liberalisasi yang terus dinarasikan oleh barat. Dengan bekal keimanan yang kuat, mempunyai kesadaran akan hubungannya dengan sang Khaliq, memahami tujuan ia diciptakan, dan akan kemana ia setelah akhir kehidupan ini. Dengan begitu, anak akan ter-bentengi dengan akidah yang shahih dan siap memfilter apa-apa yang boleh ia ikuti dan tidak.
Sebagai upaya preventif, Islam melalui khalifah nya tidak akan memberikan izin terhadap konten apapun baik foto, video, game online serta platform online apapun yang terindikasi melanggar syariat Islam. Serta akan melakukan seleksi ketat untuk konten yang akan dibuat.
Sedangkan untuk pemulihannya, Islam melalui khalifah nya akan menindak tegas pelaku baik pembuat, pendukung, pemain, dan penyebar konten dan secara langsung memblokir akses terhadap konten-konten tersebut, untuk kemudian dilakukan pengkajian berdasarkan hukum syara. Jika terbukti, maka konten akan dihapus secara permanen dan pelakunya akan diberikan sanksi ta’zir berdasarkan kebijakan khalifah dan persetujuan Qadhi. Seperti yang dilakukan oleh khalifah Umar Bin Khaththab dengan memberikan sanksi ta’zir berupa hukuman cambuk bagi peminum khamr. Pada zaman Rasulullah saw. pun pernah menerapkan sanksi ta’zir.
Sayangnya, kebijakan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan juga khalifah Umar bin Khaththab tidak dijadikan contoh para pemimpin di seluruh dunia. Hal ini terjadi karena pengaruh sekulerisme kapitalisme yang menjadi landasan dalam bernegaranya. Namun, hal itu dapat diupayakan dengan kembali menerapkan hukum Islam secara menyeluruh dan mewujudkan bisyarah Rasulullah saw. bahwa Islam akan kembali memimpin dunia dalam manhaj kenabian.
Wallahua’lam Bishowab.
Posting Komentar