-->

Islam Solusi Hakiki Memilih Pemimpin

Oleh: Hesti Muharani (Tenaga Pengajar)

Kekalahan sejumlah caleg di Pileg kemarin, berdampak pada tekanan kepada timses. Di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dua timses mengalami tekanan hebat hingga harus mengambil kembali amplop yang sebelumnya dibagikan kepada warga pada Sabtu sore (tvonenews.com).

Sementara itu oknum tim sukses salah satu caleg di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat melempar rumah tim sukses caleg lawan karena diduga melakukan kecurangan. Lalu ada dua orang timses caleg di Kabupaten Cirebon yang datang di pelataran Padepokan Al Busthomi pada Sabtu sore, timses salah satu caleg ini depresi usai calonnya yang digadang-gadang meraih suara tinggi justru keok dan anjlok. Bahkan dua kali pemilihan ini ia gagal mengantarkan calonnya duduk di kursi legislatif tingkat kabupaten.

Salah satu dari timses itu mengaku telah berupaya maksimal memenangkan calegnya dengan melakukan sosialisasi hingga membagikan sembako dan juga uang. Namun rupanya Dewi Fortuna tak berpihak pada dukungan yang memenangkan calon anggota dewannya, ucapnya. Ia pun putus asa karena tekanan kepercayaan yang kembali gagal dilakukan di tahun politik ini.

Paska Pemilu ini ternyata banyak sekali fenomena yang terjadi pada caleg akibat gagal terpilih dan timses yang kecewa. Mulai dari yang menderita stress, bahkan bunuh diri hingga menarik kembali ‘pemberian’ pada masyarakat.  Berbagai fenomena tersebut menggambarkan lemahnya kondisi mental para caleg atau tim suksesnya, yang hanya siap menang dan tidak siap kalah. 

Fenomena ini juga menggambarkan betapa jabatan menjadi sesuatu yang sangat diharapkan mengingat keuntungan yang akan didapatkan, sehingga rela ‘membeli suara’ rakyat dengan modal yang besar, dengan pamrih mendapat suara rakyat. Di sisi lain menggambarkan betapa model pemilu ini adalah pemilu yang berbiaya tinggi sehingga para caleg habis-habisan mengeluarkan biaya dengan menghalalkan segala cara. Ada yang menjual rumah, mobil, tanah, perhiasan bahkan sampai berhutang. Harta mereka habis terkuras demi meraih jabatan yang belum tentu juga jabatan itu mereka raih.

Mereka memandang bahwa jabatan ala kapitalisme adalah merupakan tiket emas untuk meraih keuntungan materi. Ketika terpilih nanti, banyak para pejabat yang mendadak menjadi kaya. Oleh karena itu di sistem demokrasi kapitalisme ini tidak sedikit orang yang berambisi ingin menjadi  pejabat. Dengan mudahnya mereka berani untuk mencalonkan diri, karena mereka sendiri  tidak menyadari bahwa jabatan tersebut adalah suatu amanah yang berat, dimana amanah tersebut harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah kelak.

Intinya, dalam demokrasi sekuler ketika para calon legislatif ataupun calon pejabat publik tersebut menang mereka tidak menutup kemungkinan untuk korupsi dan ketika kalah mereka akan depresi pada akhirnya menderita gangguan jiwa. Itulah fenomena perpolitikan dalam sistem fasad, hanya akan melahirkan segala prilaku yang fasad pula. Naudzubillah tsumma naudzubillah.

Berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, telah ditetapkan cara-cara yang harus ditempuh untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan hukum syara. Untuk mencari pemimpin/majelis umah yaitu dengan mekanisme sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi dan penuh kejujuran, tanpa tipuan ataupun janji-janji.  Para calon pun memiliki kepribadian Islam, dan hanya mengharap keridhoan Allah semata.

Adapun syarat pemimpin di dalam Islam adalah laki-laki, balig, berakal, muslim, merdeka (bukan budak), adil, dan mampu ( punya kapabilitas). Syarat adil ini maknanya adalah tidak fasik, artinya sang pemimpin tersebut haruslah orang yang bertakwa, orang yang senantiasa takut kepada Allah SWT, seluruh perbuatannya selalu terikat dengan hukum syara sehingga dalam menjalankan amanah pun selalu bertanggung jawab, adil dan lebih mementingkan kesejahteraan dan kemaslahatan umat dan mau menjalankan syariat Islam secara kaaffah.