-->

Revolusi Politik Pangan: Menuju Stabilitas dan Kesejahteraan Berbasis Islam

Oleh: Agustin Pratiwi

Selama tahun 2023, pemerintah Indonesia mencatat impor beras sebanyak 3,06 juta ton, mengalami peningkatan mencolok sebesar 613,61% dibandingkan tahun 2022 (cnnindonesia 15/1/2024). Pada tahun 2024, Presiden Jokowi memerintahkan Badan Pangan Nasional untuk mengarahkan Bulog untuk mengimpor dua juta ton beras guna memenuhi cadangan beras pemerintah (CBP). Hingga Januari 2024, nilai impor beras sudah mencapai USD279,2 juta, mengalami kenaikan signifikan sebesar 135,12% secara tahunan dibandingkan bulan yang sama pada 2023 yang hanya sebesar USD118,7 juta (tempo.co 27/2/2024).

Meskipun jumlah impor beras sangat besar, harga beras tidak kunjung mengalami penurunan. Ketika dihitung, jumlah beras yang diimpor jauh melampaui kehilangan beras akibat penurunan produksi tahun sebelumnya. Terutama jika dibandingkan dengan perkiraan tingkat konsumsi beras rakyat Indonesia sebesar 35,3 juta ton per tahun, pasokan dari produksi dan impor seharusnya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan.

Namun, kenyataannya menunjukkan sebaliknya. Berdasarkan data Panel Harga Badan Pangan per Minggu (25/2/2024), rata-rata harga beras premium di DKI Jakarta mencapai Rp 16.770 per kilogram, sedangkan harga beras medium rata-rata sebesar Rp 14.870 per kilogram. Secara nasional, rata-rata harga beras premium mencapai Rp 16.300 per kilogram, dengan harga tertinggi tercatat di Papua Pegunungan, yaitu Rp 24.000 per kilogram. Sementara itu, untuk beras medium, harga rata-rata nasional adalah Rp 14.250 per kilogram, dengan harga tertinggi juga terjadi di Papua Pegunungan, mencapai Rp 22.000 per kilogram. Selain harganya yang tinggi, beberapa hari terakhir, masyarakat juga menghadapi kesulitan untuk mendapatkan beras di pasar, baik itu di retail modern maupun pasar tradisional (kompas.id 25/2/2024).

Meskipun pemerintah telah meluncurkan berbagai program untuk menstabilkan harga beras, seperti penetapan harga dan bantuan sosial, harga beras masih tinggi dan sulit dijangkau. Program kontrol harga belum memberikan hasil yang memuaskan, menandakan kebijakan yang belum menyentuh akar masalah. Banyak yang menilai bantuan beras terkait dengan agenda politik menjelang pemilu, sementara petani tetap kesulitan mendapatkan sarana pertanian, memiliki lahan yang minim, dan menghadapi harga panen yang tidak menguntungkan, akibat ketidaksetaraan dalam sistem pertanian.

Masalah harga beras yang terus berulang dan memburuk di Indonesia tidak dapat diatasi dengan pandangan yang hanya bersifat teknis, melainkan memerlukan pemahaman akan akar masalah sistemis dan ideologis. Penyebab utama karut-marut ini terletak pada penerapan sistem politik kapitalistik neoliberal yang melemahkan peran negara dan memprioritaskan kepentingan korporasi.

Dalam sistem ini, lembaga-lembaga teknis seperti Bulog tidak lagi berfungsi sebagai pelayan dan pengurus rakyat, melainkan sebagai entitas bisnis. Paradigma bisnis ini menghambat penyerapan gabah petani dan memperkuat fungsi komersial, mengorbankan stabilitas harga. Selain itu, desentralisasi kekuasaan dan ketidaksetaraan ekonomi dalam sistem kapitalisme juga turut melemahkan upaya distribusi pangan dan menyebabkan oligopoli dalam pasar beras.

Sementara itu, Islam menawarkan solusi melalui politik ekonomi yang berbeda. Dengan sistem Khilafah, negara memiliki peran utama dalam pengaturan pangan, dari produksi hingga distribusi. Islam menegaskan tanggung jawab negara sebagai pengurus hidup rakyat, menghindarkan penyerahan kontrol kepada korporasi. Sistem ekonomi Islam juga menjamin kepemilikan harta sesuai syariat, pengembangan harta yang syar'i, dan sistem mata uang berbasis emas dan perak, membawa dampak positif pada pertanian dan perekonomian. secara keseluruhan. Dengan demikian, penerapan politik pangan Islam dapat menciptakan stabilitas harga dan meningkatkan kesejahteraan petani.