-->

Realisasi Keamanan Data, Apakah Bisa Dicapai?

Oleh: Ummu Almyra
Pegiat Literasi

Setahun telah berlalu sejak Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi diresmikan, namun ironisnya, kebocoran data masih menjadi fenomena yang sering terjadi. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mencatat adanya dugaan pelanggaran hukum terkait dengan pengungkapan atau kebocoran 668 juta data pribadi, termasuk dugaan kebocoran sistem informasi daftar pemilih pada November 2023.

Adakah harapan akan keamanan data pada masa depan dapat terwujud nyata mengingat rentetan kasus dugaan insiden kebocoran data ini mengindikasikan bahwa negara belum menjalankan fungsinya dengan baik?

Kebocoran yang Terulang

Kelemahan dalam pengamanan data telah menyebabkan terjadinya kasus kebocoran data yang bukan merupakan kejadian yang pertama kalinya, hampir semua kasus kebocoran data terjadi akibat lemahnya sistem pengamanan data.

Setidaknya tercatat 6 kasus kebocoran data yang terjadi sejak tahun 2022 hingga November 2023. Diantaranya, yang pertama terjadi pada November 2022 terjadi kebocoran data sebanyak 44 juta dari aplikasi My Pertamina, kedua terjadi pada insiden BSI pada Mei 2023 sebanyak 15 juta data, ketiga kebocoran 35,9 juta data dari MyIndihome pada Juni 2023, keempat dari Direktorat Jenderal Imigrasi pada Juli 2023 bocor sebanyak 34.9juta, kelima  337 juta data Kementerian Dalam Negeri pada Juli 2023 dan yang terakhir sebanyak 252 juta data dari sistem informasi daftar pemilih di Komisi Pemilihan Umum pada November 2023.(Katadata, 28-1-2024).

Tak lupa, peretas 'Bjorka' sebelumnya telah mengungkap kasus kebocoran data pada tahun sebelumnya, di mana ia mengklaim memiliki 1,3 miliar data dari proses registrasi SIM card dan 105 juta data penduduk dari KPU. Sungguh bukan angka yang sedikit, dan fakta ini menunjukkan bahwa UU PDP masih belum efektif dalam mencegah kebocoran data, dan implementasinya belum optimal. 

Ditambah aktivitas jelang pemilu, kejahatan menggunakan teknologi atau cybercrime semakin marak. Kombes Pol Susatyo Purnomo Condro menyebutkan bahwa ada pelaku yang memiliki ratusan akun palsu untuk meretas hingga 800 akun guna menyebarkan berita bohong atau hoaks.(Tirto.id, 20/1/2024).

Kejadian ini tidak hanya terbatas pada entitas swasta, melainkan juga terjadi di lingkungan lembaga negara. Insiden yang melibatkan lembaga negara ini menunjukkan bahwa kekuatan hukum dan usaha dalam implementasinya masih belum cukup kuat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah jika negara dengan segala sumber daya yang dimilikinya—manusia, dana, dan teknologi—masih kesulitan dalam melindungi data pribadi, bagaimanakah nasib data yang dikelola oleh sektor swasta?

Sudah sepatutnya, dalam menjalankan transformasi digital, negara juga harus memastikan kesiapan dalam mencegah dan menangani masalah keamanan data di masa depan, terutama di tengah rentannya dunia digital Indonesia terhadap berbagai kejahatan digital.

Bahaya Kebocoran Data

Kebocoran data yang terjadi tidak dapat dianggap sepele. Data yang bocor dapat dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan melalui tindakan phishing yang ditargetkan atau melalui jenis serangan rekayasa sosial (social engineering).

Insiden kebocoran data juga mencerminkan kelemahan sumber daya manusia (SDM) di negara ini. Kelemahan ini tidak hanya terlihat dari segi kemampuan teknis atau keahlian dalam mengelola data, tetapi juga dari aspek tanggung jawab dan keamanan. SDM yang lemah ini sangat berkaitan dengan sistem pendidikan yang belum mampu menghasilkan lulusan dengan kualifikasi yang memadai di bidang perlindungan data.

Tidak dapat dipungkiri, semakin berkembangnya manusia semakin berkembang juga sarana dan prasarana untuk mendukung kehidupan manusia. Namun, penguasaan teknologi tanpa diiringi dengan ketaqwaan kuat akan berpotensi menghasilkan kejahatan dan kecurangan yang berdampak buruk bagi masyarakat. 

Penggunaan teknologi untuk tindak kejahatan seringkali disebabkan oleh kurangnya pembinaan keimanan dan karakter rakyat oleh negara, yang pada akhirnya merupakan akibat dari penerapan sistem sekularisme kapitalisme. Pemisahan agama dari kehidupan manusia dalam sistem ini menyebabkan sikap abai terhadap nilai-nilai moral, dengan orientasi kehidupan yang semata-mata berpusat pada pencapaian keuntungan materi. 

Di samping itu, hal ini juga menunjukkan ketidakseriusan negara dalam menghadapi kejahatan ini, di mana negara tampak kalah dalam menghadapi para penjahat, baik dalam pencegahan maupun penindakan. Ditambah lagi dengan lemahnya sistem sanksi yang diberlakukan negara, fakta ini semakin menunjukkan kegagalan negara dalam memberikan kesejahteraan bagi rakyat, sehingga memberi ruang bagi peningkatan peluang terjadinya kejahatan cyber demi mencari keuntungan.

Islam Menjamin Keamanan bagi Semua 

Dalam Islam, negara memiliki kewajiban untuk menjamin keamanan data warganya. Keamanan data bukanlah masalah sepele, ini adalah masalah strategis yang menuntut negara untuk mengerahkan semua upaya dalam rangka perlindungan data rakyatnya. Upaya ini merupakan manifestasi dari peran negara sebagai pelindung atau 'junnah' bagi rakyatnya, sehingga rakyat menjadi tenang.

Langkah diawali dengan  menciptakan SDM yang berkualitas dan unggul dari berbagai aspek melalui sistem pendidikan yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam. Sistem pendidikan Islam tidak hanya bertujuan untuk mencetak generasi dengan keimanan yang kuat, tetapi juga untuk menghasilkan ilmuwan, cendekiawan, dan ahli yang mahir di berbagai bidang ilmu. 

Selama 14 abad memimpin peradaban dunia, para ilmuwan Muslim membuktikan tidak hanya mahir dalam bidang agama, namun juga dalam ilmu terapan lainnya. Sistem pendidikan Islam juga akan melahirkan ilmuwan yang memiliki pandangan jauh ke masa depan. Mereka akan menggunakan ilmu mereka untuk kebaikan umat manusia dan akan mendedikasikan pengetahuan mereka demi kemaslahatan umat.

Perlindungan data adalah hak setiap warga negara dan merupakan pondasi penting bagi kepercayaan publik dalam era digital saat ini. Negara wajib untuk melakukan tindakan preventif dan kuratif serta memastikan perlindungan data terintegrasi secara komprehensif di antara lembaga-lembaga terkait, tanpa adanya aturan yang saling tumpang tindih. Selain itu Efek jera bagi yang melakukan pelanggaran tanpa memandang bulu.

Masihkah kita terus berharap dan bersandar pada sistem saat ini?

Wallahu a'lam bishowab...