-->

Oligarki Berkuasa Dibalik Konflik Tanah

Oleh: Kanti Rahayu (Aliansi Penulis Rindu Islam)

Kepala Disbun Kaltim, Ahmad Muzakkir, mengatakan telah berhasil menangani 13 kasus konflik lahan di seluruh kabupaten/kota. Penanganan cepat ini guna menjaga iklim investasi sektor perkebunan. Dia menambahakan di bulan Februari ini ada potensi konflik sebanyak 20 kasus.. Meski ada penurunan dibanding tahun sebelumnya 48 kasus (procal.co 15/02/2024).

Jika kita berbicara tentang konflik lahan, sepanjang tahun 2023 Kasus konflik pertanahan sepertinya tidak ada habisnya, Komnas HAM melaporkan terdapat 692 kasus konflik yang dilaporkan pada Januari-September 2023 saja, atau empat kasus per hari (komnasham.go.id 19/10/23)

Bahkan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan ada 2.710 kasus konflik pertanahan antara tahun 2015 dan 2022, dalam 8 tahun kepemimpinan presiden  Jokowi. Ada 5,7 juta hektar konflik tanah yang berdampak pada 1,7 juta keluarga di seluruh Indonesia. Jendral KPA Dewi kartika menyampaikan  ada 1.615 rakyat telah ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya (cnnindonesiia.com 24/09/2023).

Sungguh miris memang. Padahal angka-angka yang disebutkan tersebut hanyalah kasus-kasus yang berkaitan dengan proyek strategis negara. Dengan demikian, belum termasuk konflik pertanahan di sektor lain seperti real estate, perkebunan, kehutanan, pertanian, pertambangan, instalasi militer, pulau-pulau kecil, wilayah pesisir, dan lain-lain. Jika dijumlahkan, jumlahnya pasti jauh lebih tinggi 

Seperti  kasus miris PSN Rempang Eco-City yang fenomenal tahun 2023. Proyek ambisius pemerintahan Jokowi ini akan mengusir paksa 7.500 warga Rempang dari 16 desa adat, pemerintah pun memperkuat narasi bahwa warga Rempang adalah warga ilegal. Padahal mulai tahun 1843 warga Rempang sudah ada di sana  dan mereka juga membayar pajak (bangkpos16/09/23).

Semua ini menunjukkan bahwa ada persoalan besar dan sistemik di balik kasus konflik pertanahan. Warga setempat adalah orang-orang yang posisinya lemah apabila di hadapkan dengan perusahaan yang selalu di dukung penguasa. Pada akhirnya warga pemilik lahan akhirnya akan menyerah. Mereka terpaksa menerima keputusan relokasi dan kompensasi yang tidak dapat menggantikan tempat tinggal yang selama ini mereka tinggali.

Betapa tidak, perampasan lahan bukan sekedar ganti rugi yang harus proporsional, tetapi  juga melibatkan aspek kemanusiaan yang bisa berubah atau hilang. Bukankah dalam kehidupan bermasyarakat kita tanah bukan sekedar benda atau harta benda, melainkan cerminan kehidupan bermasyarakat setempat.  Maka permasalahan ini terkait  budaya dan hubungan antar manusia yang erat dan tidak dapat tergantikan oleh uang. Oleh karena itu tidak jarang konflik pertanahan memunculkan permasalahan turunan, selain trauma jangka panjang serta kemiskinan struktural.

Sebenarnya akar masalah dari konflik lahan adalah karena liberalisasi agraria sistem kapitalisme yang diterapkan di Indonesia. Di negeri ini lahan yang tidak memiliki bukti  (sertifikat tanah), maka negara melalui BPN  dapat memberikan hak berupa HGU dan HGB kepada siapapun yang menginginkan lahan, asalkan mereka memiliki uang dan mampu mengelola selama kurun waktu tertentu. Hal ini sangat menguntungkan para pemilik modal atau oligarki. Namun demikianlah peran negara dalam sistem kapitalis hanya sebagai regulator semata, sedangkan perencanaan, operator, hingga pengambilan manfaat tertinggi ada di tangan korporasi. Sistem kapitalisme telah  menjadikan uang yang berkuasa atas segala sesuatu.  Proyek besar yang di bangun pemerintah pun tidak serta merta dirasakan kemanfaatanya oleh rakyat. seperti jalan tol trans jawa yang sangat mahal, sehingga tidak terjangkau oleh para supir yang penghasilanya pas pasan.

Berbeda dengan sistem kapitalisme neoliberal, sistem Islam justru menutup pintu ketidakadilan. Karena sistem  pemerintahan berdiri di atas landasan keimanan dan penguasanya berperan sebagai pengurus dan wali. Sistem ini dilandasi dengan akidah Islam yang bersumber dari wahyu Allah, jauh dari konflik kepentingan.

Dalam menjalankan pemerintahan  Islam, penguasa berperan sebagai eksekutor sedangkan rakyat bersifat sami'na wa atha'na. Keduanya saling menjaga satu sama lain, agar selalu terjalin suasana ketaatan, sehingga jaminan masyarakat adil dan makmur terpancar dari keduanya.

Merujuk pada ajaran Islam yang sejatinya hadir sebagai solusi permasalahan umat manusia. Segala bidang kehidupan diatur dengan tatanan yang serasi dan menyeluruh, mulai dari aspek politik, ekonomi, sosial, hukum, pertahanan keamanan, dan lain-lain. Maka negara akan memenuhi kebutuhan masyarakat dengan tingkat kemakmuran yang tiada tandingannya.

Islam  juga mengatur tentang kepemilikan, pengelolaan dan pembagian harta benda, termasuk tanah yang menjadi tempat tinggal semua orang, sistem moneter dan keuangan negara, dan negara islam. Negara sebagai pelaksana, akan memastikan bahwa semua aturan dipatuhi, karena itu ada hukum dan sanksi yang menjamin rasa keadilan bagi semua orang.

Konflik pertanahan seperti Rempang, Seruyan dan konflik lainnya tidak terjadi dalam sistem Islam karena penguasa dalam negara Islam takut menjadi sumber ketidak adilan bagi rakyatnya. Pemimpin negaran islam tidak berani berbuat curang hanya untuk menyenangkan hati si pemilik modal, karena bayang-bayang siksa neraka begitu dekat di mata mereka.

Jadi, wajar sejarah peradaban Islam penuh dengan kisah kesuksesan dan kebaikan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Oleh karena itu sudah saatnya umat Islam kembali ke fitrahnya. Hidup dalam lingkungan yang sempurna di bawah perlindungan iman dan hukum Allah dan Rasul-Nya. Tentunya untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan keseriusan dalam perjuangan. (wallahu'alam)