Kasus DBD Mengancam Keselamatan Generasi, Apa Solusinya?
Oleh: Ummu Farras
Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di negeri ini seolah tidak ada habisnya. Di daerah Sumatera Selatan, tepatnya di Kabupaten Banyuasin, serangan penyakit DBD cukup mengkhawatirkan. Data Dinas Kesehatan (Dinkes) ada 74 kasus DBD yang terdeteksi selama Januari 2024. Sebanyak 4 kasus berakhir dengan kematian, padahal sepanjang 2023 kasus DBD di kabupaten ini menunjukkan angka 154 kasus. (www.m.co.id)
Indonesia, sebagai negara endemik dengue, menghadapi tantangan yang sama setiap tahunnya. Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia hingga minggu ke-52 tahun 2023, mencatat 98.071 kasus dengan 764 kematian. (www.liputan6.com)
DBD adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama, apalagi dengan angka kematian yang cukup tinggi, terlebih pada anak-anak. Kementerian Kesehatan mencatat 73% dari 1.183 kematian akibat DBD pada tahun 2022 adalah anak-anak berusia 0-14 tahun. (www.kompas.id)
Penyakit DBD memang penyakit berbahaya, yang hingga hari ini belum ditemukan obatnya. Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang berkembang biak di tempat penampungan air yang biasa dipergunakan sehari-hari, seperti bak mandi, tempayan maupun genangan air yang tidak langsung berhubungan dengan tanah. Penularannya biasanya terjadi pada musim hujan, tepatnya pada saat perubahan musim. Memahami mekanisme penularan DBD pada tubuh manusia ini, maka untuk mencegah penyakit ini menggejala di masyarakat dibutuhkan upaya pencegahan yang efektif. Upaya yang paling efektif untuk pengendalian penyakit DBD, yaitu dengan melakukan upaya preventif dengan pemutusan rantai penularan melalui gerakan PSN-DBD (Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue) tanpa mengabaikan peningkatan kewaspadaan KLB (Kejadian Luar Biasa) serta penatalaksanaan kasus.
Selain itu, juga dibutuhkan lingkungan yang bersih dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) oleh masyarakat. Semua ini membutuhkan langkah terpadu yang didukung oleh masyarakat dan juga negara yang seharusnya berada di garda terdepan dalam menjamin kesehatan dan keselamatan individu rakyat. Namun di pijakan sistem Kapitalisme-Sekuler di negeri ini, tidak ada jaminan kesehatan bagi setiap individu rakyat. Hal ini tampak dari komersialisasi bidang kesehatan yang membebani masyarakat.
Adanya mekanisme BPJS tidak bisa disebut sebagai jaminan kesehatan, sebab rakyat tetap harus membayar premi tiap bulan dan pelayanannya pun didapat dengan prosedur yang rumit. Jika jaminan kesehatan bagi yang sakit saja tidak ada, terlebih jaminan terwujudnya ruang hidup yang kondusif bagi peningkatan kesehatan setiap individu rakyat, sekaligus sebagai faktor pencegah bagi masyarakat teridap berbagai penyakit.
Penyuluhan dan sosialisasi yang dilakukan oleh negara sudah dipandang sebagai bentuk pencegahan, padahal melaksanakan program terpadu mencegah penyakit menular seperti DBD, tentu membutuhkan dukungan ekonomi. Sementara hari ini, masyarakat dihadapkan pada kesulitan hidup akibat penerapan sistem ekonomi Kapitalisme.
Bagaimana mungkin bisa hidup dengan lingkungan yang sehat, jika memiliki rumah ideal dan asri saja tidak mampu. Bahkan tak sedikit masyarakat berada dalam kondisi homeless alias tidak memiliki tempat tinggal. Ditambah lagi, tata ruang perkotaan hingga pedesaan yang tidak memperhatikan masalah lingkungan dan kesehatan masyarakat. Kemiskinan yang melanda puluhan juta masyarakat negeri ini, juga memastikan tidak adanya daya tahan tubuh yang kuat untuk mencegah penularan penyakit seperti DBD, sebab tidak ada jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok berupa pangan yang layak dan bergizi bagi masyarakat. Oleh karena itu, sudah sangat jelas bahwa kegagalan mencegah penularan DBD di negeri ini bersifat sistemis yakni dijadikannya sistem Kapitalisme-Sekuler sebagai pijakan dalam bernegara.
Persoalan penyakit menular, seperti DBD dan penyakit menular lainnya sejatinya akan tuntas melalui penerapan aturan Islam dalam segala aspeknya dalam kehidupan. Islam memandang bahwa kesehatan adalah kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi oleh negara atas rakyatnya, individu per individu. Khalifah adalah pihak yang bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya terhadap kesehatan rakyatnya. Apalagi kekuasaan dalam Islam, dipahami sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.
Kehadiran politik kesehatan Islam yang dijalankan oleh Khilafah, meniscayakan terwujudnya upaya promotif-preventif bagi terawatnya kesehatan setiap individu rakyat sepanjang hayatnya. Khilafah akan memastikan masyarakat memiliki tempat tinggal yang layak dengan tata ruang kota yang rapi, bersih dan sesuai dengan standar tata ruang perkotaan yang ideal. Selain itu, negara juga akan melakukan edukasi yang mendorong masyarakat menerapkan pola hidup sehat. Semua ini tentu didukung oleh pendidikan islam yang membentuk kepribadian Islam masyarakat, sehingga dorongan untuk hidup sehat bukan hanya agar terhindar dari berbagai penyakit, tetapi dorongan ruhiyah.
Dalam mencegah kasus DBD, negara akan meningkatkan peran keluarga untuk terus melakukan pemantauan, pemeriksaan dan pemberantasan jentik, dengan konsep Jumantik Rumah Tangga (Satu Rumah Satu Juru Pemantau Jentik). Negara pun memastikan kesadaran akan adanya pencegahan dipahami sejak dini oleh masyarakat. Negara akan membentuk sistem yang kuat untuk mengantisipasi kegiatan ini, pada saat yang sama sistem kesehatan Islam yang kuat dan tangguh, termasuk pembiayaan untuk fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai hingga pelosok negeri menjadikan setiap warga bisa mengakses pelayanan tersebut dengan gratis.
Alhasil, terwujud kesiapan Rumah Sakit untuk menangani penderita yang membutuhkan rawat inap dan negara akan memberikan pelayanan terbaik tanpa membedakan latar belakang pasien yang dirawat. Inilah negara Khilafah yang benar-benar tulus hadir untuk melayani kepentingan kesehatan masyarakat dengan mutu pelayanan terbaik.
Wallahu a’lam bishshawab
Posting Komentar