-->

Menyoal Harga Beras yang Tidak Waras

Oleh: Ummu Danis

Kenaikan harga beras  menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri melambung tinggi,    tentunya bukan hanya beras saja tetapi komoditas bahan pokok seperti gula, cabai, dan lainnya. Kenaikan harga ini sudah tidak waras karena terjadi bukan saat ini saja tapi dari mulai tahun 2023. 

Dari sidak di Pasar Cihapit, KPPU menemukan kenaikan harga komoditas beras premium secara rata-rata sebesar 21,58% menjadi Rp 16.900/kg. Padahal HET beras premium sebesar Rp 13.900/kg sebagaimana telah ditetapkan Badan Pangan Nasional (Bapanas). "Sedangkan beras medium mengalami kenaikan sebesar 28,44% dari HET sebesar Rp 10.900/kg menjadi Rp 14.000/kg.

Stok beras premium tidak banyak dijual dan ada pembatasan dari pemasok. Fanshurullah berharap, jangan sampai ada penahanan pasokan sehingga menaikkan harga komoditas gula konsumsi dan beras di pasaran untuk menaikkan harga di kemudian hari.

Kepala Bapanas Arif Prasetyo berpendapat. Makanya Pak Presiden bilang harga yang wajar di tingkat produsen, harga yang wajar di tingkat pedagang, dan harga yang wajar di tingkat konsumen, kan itu maksudnya," ujarnya.

"Nah sekarang yang di petaninya (harga gabah) Rp7.000 mereka bisa nafas sedikit, kemudian harga di hilirnya agak tinggi. Namun sekarang yang 22 juta KPM (keluarga penerima manfaat) yang paling memerlukan itu sudah di-cover 10 kg. Sudah benar belum treatment nya? Atau ada masukan lagi yang lain. Ini lagi El Nino nih, produksinya lagi rendah, ada nggak mekanisme lain selain itu. 

Arief mengatakan, dengan biaya produksi tanam padi, harga pupuk, biaya input yang naik, ditambah currency rate juga yang sekarang ini tinggi, maka menjadi tidak mungkin untuk harga beras bisa turun ke level Rp10.000 per kg tanpa adanya subsidi dari pemerintah.

"Sekarang biaya tanam naik, pupuk naik, biaya input naik, terus mau kembali ke Rp10.000 (per kg) rumusnya gimana?" jelasnya.

Menurut Arief, harga beras bisa kembali turun ke level Rp10.000 per kg memungkinkan apabila nilai tukar rupiah menguat di Rp13.000-Rp13.500US$ seperti sebelumnya, dan memungkinkan jika perang antara Rusia dan Ukraina berangsur pulih.

Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi mengungkapkan kelangkaan beras di pasar ritel modern disebabkan tingginya harga beras saat ini. Bulog mencatat harga beras premium saat ini berkisar di atas Rp 15.000 per kilogram. Angka tersebut kian jauh dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh Badan Pangan Nasional. 

Presiden Joko Widodo atau Jokowi menanggapi soal kelangkaan beras di pasaran. Jokowi mengatakan, sebenarnya stok beras di Bulog masih cukup banyak

“Ini hanya masalah, misalnya, distribusinya terganggu karena banjir. Di Demak, kemarin misalnya seperti itu,” kata Jokowi saat ditemui usai mencoblos di TPS 10, kawasan Gambir, Jakarta Pusat, pada 14 Februari 2024.

Kelangkaan beras terjadi di sejumlah retail. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia alias Aprindo mencatat peritel kesulitan memperoleh pasokan beras premium lokal kemasan lima kilogram.  

Ketua Umum Aprindo Roy N. Mandey menjelaskan penyebabnya. "Keterbatasan suplai beras tersebut disebabkan saat ini belum masa panen yang diperkirakan terjadi pada pertengahan Maret 2024," ujar Roy dalam keterangan resminya, 11 Februari 2024. 

Kelangkaan diperparah dengan dengan belum masuknya beras SPHP yang dikemas dan didistribusikan oleh Bulog. Sementara harga bahan pokok beras terus merangkak naik dan sulit didapatkan

Bukti Lalainya Negara Mengurusi Harga dan Pasokan Beras

Mengutip dari pernyataan Emilda Tanjung M. Si. pemerhati kebijakan publik, mengatakan mahalnya harga beras ini dinilai sebagai bukti kelalaian negara mengurusi pangan rakyat.

“Bertahan mahalnya harga beras lebih dari setahun adalah bukti kelalaian dan ketidakseriusan negara mengurusi pangan rakyat. Bagaimana bisa kenaikan harga tidak teratasi dalam waktu sepanjang itu dan membiarkan rakyat sulit untuk mendapatkannya,” ungkapnya kepada MNews, Jumat (9-2-2024)

Kelalaian ini, menurutnya, terjadi pada berbagai lini, baik produksi maupun distribusi yang akhirnya memicu fluktuasi harga.

“Dari sisi produksi, negara lalai untuk menggenjot produksi dalam rangka memenuhi kekurangan pasokan, baik untuk konsumsi maupun untuk cadangan beras pemerintah. Kelalaian ini misalnya dengan dibiarkannya terjadi alih fungsi lahan pertanian secara massif,” bebernya.

Bahkan, lanjutnya, konversi lahan juga berjalan atas nama proyek strategis nasional yang kemanfaatannya sangat minim bagi rakyat.

“Negara juga tidak serius mengatasi kesulitan petani mendapatkan sarana produksi padi (saprodi) seperti pupuk, benih, dan sebagainya. Yang terjadi justru anggaran untuk subsidi pupuk semakin dikurangi. Begitu pula pemerintah gagal memitigasi perubahan cuaca yang berakibat gagal panen di mana-mana,” imbuhnya.

Sedangkan dari sisi distribusi, ia menjelaskan, jelas sekali terlihat kelalaian negara sehingga terjadi lonjakan harga yang tidak wajar sekalipun pasokan beras sudah dipenuhi melalui impor.

“Pemerintah tidak bisa mengendalikan harga agar terbentuk harga secara wajar. Hal ini akibat penguasaan negara terhadap pasokan pangan memang sangat minim, yakni sekitar 10% saja. Sebaliknya mayoritas pasokan pangan berada di tangan pelaku pasar, yakni korporasi atau pedagang besar sehingga sangat mudah memainkan harga untuk keuntungan mereka. Ditambah kelemahan negara memutus rantai tata niaga yang panjang dan menyimpang,” ulasnya.

Dalam analisisnya, kekacauan pengaturan beras ini berpangkal dari penerapan sistem politik dan ekonomi kapitalisme yang bobrok.

“Sistem politik demokrasi makin meminimkan peran negara sebatas regulator dan fasilitator, dan minus dari tanggung jawab yang sebenarnya. Di sisi lain, BUMN sebagai unit pelaksana teknis negara justru diarahkan menjadi lembaga komersil, bukan menjadi perpanjangan tangan pemerintah guna melayani rakyat. Akibatnya kehadiran negara hampir tidak terasa di tengah masyarakat,” kritiknya.

Sedangkan penerapan sistem ekonomi liberal, ucapnya, membuka ruang seluas-luasnya bagi swasta baik korporasi lokal maupun asing untuk menguasai ranah usaha pertanian pangan sehingga menyediakan karpet merah bagi korporasi raksasa. “Bahkan tidak jarang memunculkan perusahaan integrasi yang menguasai mayoritas rantai usaha pertanian,” tandasnya.

Oleh karenanya untuk mengatasi problem ini pemerintah harusnya melakukan evaluasi mendasar terkait sistem pengelolaan yang digunakan saat ini.

“Bukan hanya sibuk menjalankan kebijakan teknis yang tidak menyentuh akar masalah, seperti memperbanyak impor, bantuan sosial beras atau pun distribusi beras SPHP (Stabilisasi Pasokan Harga Pangan). Padahal nyatanya, dengan berbagai instrumen ini pun harga beras tidak kunjung turun,” urainya.

Sistem Islam dalam Mengurusi Kebutuhan Pangan.

Beras sebagai kebutuhan pokok merupakan salah satu komoditas strategis karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Maka Sistem Islam wajib mengelola urusan beras dari hulu hingga hilir yaitu sejak produksi, distribusi hingga sampai ketangan rakyat. Negara harus memastikan rantai distribusi ini sehat, yakni bebas dari penimbunan, monopoli, dan berbagai praktik bisnis lainnya yang dapat merusak rantai distribusi. Hanya dalam sistem Islam yaitu Khilafah yang akan mewujudkan jaminan pengelolaan komoditas pangan, sistem yang benar benar melahirkan sistem politik dan ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyatnya. Bukan sistem saat ini karena kapitalis menerapkan liberalisasi urusan pangan, lepas tangan dan menyerahkannya pada para swasta. 

Secara politik, Islam menegaskan fungsi politik kepala negara/khalifah sebagai penanggung jawab dalam pengurusan urusan rakyat dengan berlandaskan syariat Islam. Dalam hal ini, negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyat dan memudahkan rakyat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kemampuan. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw. "Imam/khalifah itu laksana gembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap hewan gembalanya." (HR Bukhari dan Muslim) 

Sistem ekonomi Islam menetapkan kepemilikan harta sesuai batasan syariat, sehingga tidak akan terjadi privatisasi aset publik oleh swasta, misalnya terkait kepemilikan lahan.

Sistem ekonomi Islam juga menjamin terwujudnya distribusi kekayaan ke seluruh rakyat dengan mekanisme sesuai syariat, disertai sistem mata uang berbasis emas dan perak sehingga terealisasi sistem ekonomi yang stabil. 

Implementasi sistem politik dan ekonomi ini, terwujud dalam beberapa kebijakan di antaranya :

1. Negara akan menerapkan pengaturan tanah sesuai syariat Islam yang meliputi hukum menghidupkan tanah mati, kewajiban mengelola tanah oleh pemiliknya, serta larangan untuk menyewakan lahan pertanian.

2. Negara akan mengoptimalkan lahan pertanian melalui berbagai bantuan bagi petani.

3. Negara mengawasi distribusi pangan agar tidak terjadi distorsi harga dan untuk ini akan diangkat para kadi hisbah. 

4. Negara akan membangun sistem cadangan pangan pemerintah secara berdaulat dan sesuai syariat Islam. 

Tidak ada solusi lain dari persoalan kelangkaan dan kenaikan harga komoditas pangan selain Sistem Islam yang akan menjamin rakyatnya sejahtera. 

Wallohu a'lam bishowab