-->

Label Halal, Mengapa Ikut Dikomersialisasi?

Oleh: Musdalifah Rahman, ST.

Dalam negara yang mengaplikasikan prinsip kerja kapitalisme yang berasal dari kaidah pemikiran sekulerisme, hal yang sebetulnya sangat tidak wajar dikomersialisasi pun harus masuk ke dalam list umpan keuntungan. 

Baru-baru ini, dikutip dari laman harian Kompas 02 Februari 2024, disebutkan bahwa Kementerian Agama mewajibkan pedagang makanan dan minuman termasuk pedagang kaki lima (PKL) memiliki sertifikat halal.

Kewajiban pedagang makanan dan minuman memiliki sertifikat halal diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal Aturan tersebut dibuat berdasarkan Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

Adapun tenggat deadlinenya yakni sebagaimana yang dipaparkan oleh Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag, Muhammad Aqil Irham, bahwa pelaku usaha wajib mempunyai sertifikat halal pada masa penerapan pertama aturan ini yakni sebelum Tanggal 17 Oktober 2024.

Dalam kebijakan ini, ada tiga kelompok pedagang yang wajib memiliki sertifikat halal terhadap produk yang dijualnya, diantaranya pedagang produk makanan dan minuman, pedagang bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Serta pedagang produk hasil sembelihan dan pemilik jasa penyembelihan. 

Ditengah pemenuhan kebutuhan hidup yang makin sulit sebagai imbas dari melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok, tentu kebijakan ini akan makin menyulitkan pelaku usaha makanan, terlebih lagi bagi pedagang modal minim, jika ketentuan mengurus sertifikat halal ini tidak dilayani secara gratis.

Pertanyaan besarnya, seberapa mungkin kepengurusan pengakuan akan kehalalan sebuah usaha dari pemerintah itu dapat terlaksana secara gratis? Jika menoleh kebelakang, setiap kali berkaitan dengan kepengurusan dokumen yang dilayani oleh birokrasi di negeri ini, biasanya selalu berbayar dan berprosedural rumit.

Tak ditampik, negara memang menyediakan 1 juta layanan sertifikasi halal gratis sejak Bulan Januari 2023 lalu. Tapi jumlah tersebut dapat dikategorikan sangat sedikit jika dikorelasikan dengan jumlah PKL seluruh Indonesia yang  berkisar kurang lebih 22 juta. Perbandingan jumlah penyediaan layanan sertifikat halal gratis bahkan tidak mencapai ¼ dari jumlah total PKL yang ada.

Akan tetapi, serumit apapun prosedur kepengurusan dan biaya yang harus dikeluarkan, pelaku UMKM tidak punya pilihan selain manut pada kebijakan tersebut, sebab konsekuensi yang harus ditanggung oleh mereka ketika tidak memiliki selembar kertas penanda halal tersebut juga tidak main-main.

Dikutip dari laman website Tirto.id, sanksi yang akan diberikan oleh Pelaku UMKM yang tidak memiliki sertifikat halal ini akan dikenakan sanksi, yang dapat berupa peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran. Sanksi tersebut diterapkan sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.

Memang, jaminan halal pada makanan yang beredar dikalangan masyarakat itu sangat penting. Sebab dalam pengolahan makanan, tentu ada campuran bahan baku atau bahan tambahan yang diproduksi dari pabrik.

Bagi kaum muslimin, jaminan halal sangat membantu kita agar kita yakin dengan apa yang akan kita konsumsi.

Jadi, kebijakan sertifikasi halal bagi pelaku UMKM yang bergelut dalam dunia kuliner dan bahan baku makanan yang akan diberlakukan oleh pemerintah ini bisa menjembatani ummat agar terhindar dari hal-hal syubhat dalam mengkomsumsi makanan.

Akan tetapi, terdengar dzalim ketika kebijakan sekrusial ini dicaploki dengan unsur peng-komersialisasi-an yang justru akan makin memberatkan pelaku usaha makanan.

Terlebih lagi, sertifikasi ini juga ada masa berlakunya, sehingga selalu akan dilakukan kepengurusan sertifikat halal secara berkala. 

Jaminan kehalalan suatu produk makanan adalah murni tanggung jawab negara tanpa harus membebani rakyatnya apalagi bermaksud untuk meraup keuntungan disana. 

Pertanyaan besarnya, apakah setiap pelaku usaha makanan yang telah mengurus sertifikasi halal dapat betul-betul terjamin kehalalannya? Jika sertifikat halal hanya bukti fisik formalitas tanpa ada pengecekan mendalam yang dilakukan langsung oleh pemerintah, tentu kebijakan ini hanyalah sekedar seremonial belaka.

Dalam Islam, penguasa sebagai penggerak negara dan pengurus rakyat itu memang sudah menjadi tugasnya untuk menfilter seluruh produk makanan, restoran, warung makan dan usaha bahan baku makanan yang beredar di masyarakat.

Dalam hal ini, label halal tidak lagi menjadi ukuran. Sebab semua sudah tersaring sebelum masuk ke fase peredaran.

Pemerintah seharusnya memberi penanda untuk produk non Halal saja, sehingga ada pemisahan produk yang tentunya akan meningkatkan ketidakmungkinan kaum muslimin untuk mengonsumsinya.

Kebijakan berkedok komersialisasi haram dalam Islam. Dalam tatanan negara dengan bingkai khilafah, kebijakan yang keluar dari penguasa adalah program yang betul-betul dalam rangka meri’ayah ummat, juga tidak sekedar formalitas biasa.

Termasuk halnya dalam jaminan halal, sistem Islam mewajibkan penguasa untuk bersungguh-sungguh menyortir serta menjamin kehalalan makanan tanpa harus mengemis bantuan dana dari rakyatnya.