-->

Khalifah, Perisai Untuk Palestina

Oleh: Sri Wahyuni, S.Pd (Freelance writer)

Genap sudah 100 hari kekejaman zionis yahudi atas penduduk Palestina. Bahkan semakin hari intensitas penyerangan semakin meningkat. Betul jika disebutkan bahwa ini merupakan genosida mengingat begitu banyaknya korban. Tercatat sejak balasan Israel atas penyerangan Hamas 7 Oktober 2023 sudah sebanyak 23.843 orang warga Palestina yang tewas dan lebih dari 60.317 lainnya luka-luka. (Tribun Priangan.com, 14 Januari 2024)

Pelanggaran hukum perang juga seringkali di lakukan oleh zionis diantaranya melanggar perjanjian gencatan senjata, melakukan pengeboman terhadap rumah sakit dan sekolah, hingga berulang kali menghujani langit Gaza dengan bom fosfor putih yang sangat terlarang oleh hukum humaniter internasional ( karena jika terkena oksigen menghasilkan api dan panas hingga 815 derajat Celcius, merusak pernafasan, membakar kulit dan organ dalam tubuh). 

Kebiadaban zionis ini sesungguhnya tak lepas dari support besar Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan negara-negara Sekutu yang mendukung penuh zionis. Bahkan diantaranya telah terang-terangan mendukung secara finansial dan militer. Diantaranya AS telah mengerahkan dua kapal induk tercanggihnya Ke lepas pantai Palestina yakni USS Dwight D. Eisenhower dan USS Gerald ford. Di dua kapal induk terparkir lebih dari 100 pesawat tempur, dan disertai sejumlah kapal perusak, dan kapal penjelajah seluruh kapal perang tersebut dipersenjatai peluru kendali jarak jauh. 

Bahkan belakangan AS pun mengerahkan kapal selam tercanggihnya bertenaga nuklir untuk memastikan Zionis Yahudi aman pula dari upaya serangan bawah laut. Sejumlah pesawat tempur siluman F-35 dan F-15 juga siap dioperasikan kapan saja jika ada pasukan yang membantu Palestina. (Sumber: Media al-waie edisi 1-31 Desember 2023)

Barat begitu totalitas mensupport zionis, lalu bukankah semestinya Palestina mendapatkan support besar dari negeri-negeri muslim? 

Palestina jelas harus dibantu dengan eskalasi kekuatan yang tentunya sepadan dengan zionis. Jika barat mendukung secara finansial dan militer seharusnya hal yang sama dilakukan oleh penguasa negeri-negeri muslim. Namun nampaknya keberanian penguasa mlempem ketika harus berhadapan dengan kekuatan zionis. Bahkan dari hasil KTT Luar biasa Arab-Islam yang diselenggarakan di Ryad Saudi Arabia pada Sabtu (11/11/2023) hanya menghasilkan kecaman atas kebiadaban zionis.  

Lebih memilukan lagi adalah hubungan diplomasi beberapa Negeri muslim di sekitar Palestina terhadap Zionis Yahudi tetap terjalin. Baik Yordania, Qatar, Mesir hingga Arab Saudi kompak menolak usulan untuk mengembargo minyak Israel sebagai upaya penghentian agresi di Palestina. Padahal jika upaya ini dilakukan akan cukup menyulitkan zionis, ini karena tiga pemasok besarnya adalah negeri muslim seperti Kazakhstan, Azerbaijan, dan Nigeria. Di mana pipa minyak ini berujung di pelabuhan Turki.

Sementara itu negeri muslim lainnya yang ingin mengirimkan pasukan pun terhalang akibat adanya hukum internasional dan sekat nasionalisme. Malaysia misalnya, akan mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke Palestina tetapi harus menunggu keputusan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pun gerbang Rafah sebagai satu-satunya akses masuk Palestina harus menunggu izin Pemerintah Mesir untuk dibuka, dan tentu hal tersebut butuh izin dari barat. 

Akhirnya perjuangan untuk membela kaum Muslim di Palestina hanya dilakukan oleh kelompok militan yang masih memiliki nyali juga sebagian masyarakat yang punya nurani untuk melakukan perang opini di media sosial. Namun upaya semacam ini tentu tak akan memberikan hasil yang signifikan hingga mampu menarik mundur pasukan zionis. 

Sesungguhnya yang mampu mengeluarkan Palestina dari jerat penjajahan adalah bersatunya penguasa negeri-negeri muslim dengan menyuarakan hal yang sama yakni support militer tanpa dibayang-bayangi kepentingan politik yang terganggu sebagai dampak keberpihakan. Selama ini penguasa muslim begitu patuh pada dikte PBB yang notabene nya lembaga tersebut diprakarsai oleh negara pendukung pendukung zionis yakni Amerika, Inggris dan Prancis. Bahkan setiap keputusan PBB yang telah disepakati oleh mayoritas anggota dapat dengan mudah dibatalkan ketika tiga negara besar tersebut tidak setuju. 

Hal ini menjadi jelas bahwa tidak layak negeri Muslim berhimpun di bawah perkumpulan yang melemahkan kedaulatan mereka. Karena itu, satu-satunya harapan bagi kemerdekaan Palestina adalah Khilafah. Institusi yang akan menerapkan aturan Islam untuk menjaga jiwa dan hartanya kaum Muslim serta menjadikannya mandiri tanpa disetir negara penjajah. Dikomando seorang khalifah negara ini akan membebaskan tanah Palestina serta menyelamatkan kaum Muslim di mana saja. Hal ini lantaran seorang Khalifah adalah junnah sebagaimana sabda Rasul "Imam (Khalifah) adalah perisai, di belakang dia kaum muslim berperang dan berlindung (HR al-Bukhari Muslim). 

Terbukti selama 13 abad negeri-negeri Muslim di bawah naungan Khilafah, tak satu pun negara barat berani menginjak-injak kehormatan kaum Muslim kecuali mereka akan tertunduk dengan ketegasan penguasanya. Hal ini sebagaimana Pengakuan dari negara-negara kolonialis kafir Barat sendiri : "Waspadalah terhadap khalifah kaum muslim yang hanya dengan telunjuk tangannya mampu mengerahkan jutaan pasukan untuk mengalahkan kita dalam suatu pertempuran."

Ketakutan barat terhadap Khilafah nampak begitu terlihat setelah jatuhnya Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al Fatih, karena setelahnya Khilafah menyerang lebih dalam ke Eropa yakni menyerbu kota Italia selatan otranto. pada tahun 1529, pasukan Khilafah yang dipimpin oleh Sultan Sulaiman berada di luar tembok Wina. Menurut Haydn Williams, penulis buku Turquerie: An Eighteen-Century European Fantasy, yang diterbitkan tahun 2024, Eropa Barat jatuh dalam "Keadaan syok". (Sumber: Media al-waie edisi 1-31 Desember 2023)

Karenanya menjadi kewajiban bagi seluruh kaum Muslim saat ini adalah menghadirkan kembali institusi tersebut. Sebab dengan Khilafah lah kolonialisasi barat atas dunia saat ini dapat dihentikan.