-->

Dana Fantastis IKN, Bisakah Di Rasakan Rakyat?

Oleh: Ummu Abiyu (Aktivis Muslimah Kaffah)

Dana IKN terus berlanjut. Hingga 2024 mendatang, pemerintah akan mengalokasikan Rp60,99 triliun untuk membangun infrastruktur dasar. September lalu, para penggawa bisnis Taipan siap menginvestasikan dana Rp20 triliun untuk IKN.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menawarkan 300 paket investasi senilai Rp38,68 triliun. Proyek IKN memang kental dengan spirit kapitalisme. Tidak perlu heran. Sejak awal, hampir 70% skema dana IKN memang bersumber dari investasi swasta

Diakui atau tidak, proyek IKN ini tampak lahir dari ambisi penguasa yang menginginkan ibu kota negara berpindah dari Jakarta ke tempat lain. Proyek ini pun bergulir dengan sangat cepat, mulai dari RUU-nya hingga pengerjaannya. Meski diwarnai pro dan kontra, IKN tetap berlanjut, padahal sudah jamak kita ketahui kalau proyek ini tidak lebih sekadar bancakan oligarki kapitalis.

Pada kesempatan yang sama, Jokowi mengakui belum ada investor luar negeri yang menanamkan modalnya di mega proyek IKN di Kabupaten Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Namun, Jokowi mencoba meyakinkan bahwa setelah investor di dalam negeri bergerak, makin banyak setiap bulannya, investor dari luar akan segera masuk. (Katadata, 17-11-2023).

Tidak lupa, Jokowi menyatakan bahwa proyek IKN punya daya tawar yang menjanjikan bagi para investor luar negeri, antara lain proyeksi pemanfaatan 80% transportasi publik berbasis energi hijau dan konsep pembangunan ibu kota baru berbasis hutan dan alam dengan 70% area hijau. IKN, lanjutnya, juga terbuka bagi berbagai sektor infrastruktur, teknologi, pendidikan, energi, keuangan, pariwisata, kesehatan, dan perumahan.

Jika menelusuri jejak tercetusnya kebijakan IKN, sungguh proyek ini tidak ubahnya proyek mercusuar. Proyek mercusuar sendiri adalah pembangunan ibu kota negara supaya Indonesia makin diperhatikan oleh pihak luar negeri.

Proyek mercusuar juga bertujuan untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia adalah negara besar. Proyek mercusuar juga sebutan terhadap sesuatu yang dipakai untuk memperoleh nama dan bergagah-gagahan. Pembangunan IKN yang sejak awal begitu kontroversial jelas-jelas sangat lekat dengan definisi proyek mercusuar. Semua asesorisnya adalah demi reputasi sesaat, bukan kepentingan rakyat.

Lihatlah jenis infrastruktur yang dibangun. Sebut saja sekolah internasional, apakah rakyat jelata yang akan bersekolah di sana? Juga apartemen, apakah masyarakat kalangan bawah yang akan tinggal di sana? Mirisnya, masih banyak hal lain yang bisa menunjang reputasi sejati suatu bangsa, tetapi justru diabaikan oleh penguasa.

Masa pengerjaan proyek IKN juga tidak main-main, yakni dari 2022—2045 yang terprogram dalam lima tahapan, Jika dikalkulasi, butuh 23 tahun bagi rakyat Indonesia untuk memiliki ibu kota baru. Emang boleh seawet ini? 

Mengingat masa pembangunannya mencapai puluhan tahun, investor serasa diberi “angin surga” karena mereka leluasa berinvestasi sebanyak-banyaknya.Menanggapi proyek IKN yang masa pembangunannya panjang dan awet, ada tiga catatan penting yang perlu kita waspadai.

Pertama, proyek IKN adalah proyek pemborosan. Belum genap dua tahun, proyek ini sudah menghabiskan dana puluhan triliun. Pada masa mendatang, tentu akan banyak dana yang perlu diguyur untuk pembangunan IKN, padahal problem negeri ini sangat banyak. 

Sangat disayangkan jika APBN negara turut menyumbang dalam proyek ini. Bukankah 20% APBN yang dialokasikan untuk IKN akan lebih berguna untuk pembangunan infrastruktur publik yang lebih urgen? Seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, bantuan untuk penduduk miskin, dan sarana publik lainnya.

Kedua, proyek IKN adalah proyek jualan investasi di atas tanah Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, penguasa memberikan insentif berupa HGU yang bisa diperpanjang hingga 190 tahun dan HGB bagi investor selama 95 tahun. Tanah memang milik sendiri, tetapi infrastrukturnya milik swasta. Kalau sudah begini, apa bedanya dengan sewa rumah? Ada harga jika mau menempatinya. Dari populasi 1,95 juta penduduk yang mau pindah ibu kota, yakin semuanya bakal gratis? Jika mengikuti paradigma kapitalisme, jelas no free lunch.

Ketiga, proyek IKN adalah bentuk nyata penjajahan kapitalisme. Dirancang penguasa, diamini pengusaha, dan disahkan melalui undang-undang. Sungguh paket komplit untuk imperialisme. 

Pembangunan IKN yang tidak tepat guna ini terjadi semata karena menggunakan kacamata kapitalistik. Ini sangat berbeda dengan pembangunan negara berdasarkan ideologi Islam dalam format negara Islam, Khilafah Islamiah.

Islam menjadikan pembangunan sebagai bentuk pelayanan kepada rakyat sehingga berbasis pada kebutuhan rakyat. Ibu kota juga akan difungsikan berdasarkan tanggung jawab syar’i seorang pemimpin kepada rakyat yang dipimpinnya.

Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).

Atas dasar ini, pendanaan dan pembangunan ibu kota tidak bergantung pada penyediaan dana oleh investor swasta, melainkan menggunakan dana mandiri yang dimiliki negara. Perlu diketahui, jalur dan sumber keuangan Khilafah cukup banyak, misalnya dari hasil pengelolaan SDA, ganimah, fai, dan kharaj.

Pembangunan pun akan dilaksanakan jika memang pembangunan tersebut dirasakan penting dan perlu. Jika tidak, pembangunan akan ditunda atau tidak dilaksanakan.

Pembangunan IKN sungguh menegaskannya bahwa “ibu kota milik swasta”. Jargon kota pintar dan modern di IKN adalah semata ala kapitalisme yang tentunya demi merestui kepentingan pemodal. 

Kebijakan pembangunannya yang sarat sesumbar dan membabi buta hingga mati-matian bergantung pada investor, nyatanya jauh sekali dari motivasi mengurusi urusan umat, bahkan sebaliknya justru berpotensi mengancam kedaulatan negara.