-->

Rakyat Korban Kebijakan Pertambangan

Oleh: Rifdatul Anam

Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, baik di daratan maupun di lautan. Di daratan saja negara kita memiliki kekayaan berbagai jenis barang tambang seperti emas, batubara, minyak bumi dan gas, tembaga, nikel dan lain sebagainya.

Tapi faktanya, kekayaan yang banyak itu tidak memberikan kesejahteraan pada rakyatnya. Malah sebaliknya, rakyat mengalami dampak buruk akibat dari pertambangan tersebut.

Kesehatan warga di Kelurahan Waylunik, Kecamatan Panjang, Bandar Lampung terganggu akibat debu stockpile (penimbunan) batubara. Sudah 3 bulan lamanya warga mengeluhkan tentang debu batubara ini. Saat musim panas disertai angin kencang, debu-debu dari penimbunan batubara mengotori rumah pendududuk, kondisi terparahnya mereka merasakan sesak nafas dan mata perih saat berada diluar rumah. (REPUBLIKA, 23-12-2023)

Penimbunan batu bara ini sudah berjalan tujuh bulan, tapi belum ada penyelesaian atas masalah ini. Pihak lurah mengatakan sudah berkoordinasi dengan pimpinan perusahaan tersebut, untuk memperhatikan dampak lingkungan dari usaha mereka dan menegaskan jangan sampai menimbulkan kerugian pada masyarakat, tapi lurah setempat tidak bisa melarang apalagi menutup dan mencabut izin perusahaan.

Untuk itu masyarakat melakukan aksi dan menolak aktifitas stockpile milik perusahaan PT GML dan PT SME. Mereka mempermasalahkan perizinan awal yang tidak disetujui  kebanyakan masyarakat tapi perizinan itu tetap terbentuk. Sampai saat ini, perusahaan terkait belum juga menunjukkan rasa tanggung jawab atas dampak buruk yang telah ditimbulkan.

Izin yang diberikan pemerintah kepada perusahaan swasta tanpa persetujuan rakyat telah merampas ruang hidup masyarakat. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan rakyat, justru banyak dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari stockpile (penimbunan) batubara. Hal ini didukung dengan Perppu Cipta Kerja yang telah diterbitkan pemerintah membuat masyarakat semakin tak bisa bergerak.

Ini adalah buah dari sistem kapitalisme yang menjadikan Perppu Cipta Kerja jalan mulus untuk kepentingan para oligarki dan korporasi. Tidak adanya jerat pidana bagi perusahaan walaupun usahanya menimbulkan dampak kerusakan lingkungan. Kebijakan pertambangan ini telah menampakkan keberpihakan negara kepada oligarki dan korporasi, dan mengabaikan nasib rakyatnya.

Di sistem kapitalisme, negara hanya sebagai regulator untuk memuaskan nafsu oligarki, tak peduli hal itu membahayakan masyarakat atau tidak, yang penting ada keuntungan yang didapat dari kerjasama tersebut. Pengelolaan sumber daya alam semakin liberal karena diserahkan kepada swasta. Jika sudah begini, masyarakatlah yang menderita dan merugi.

Kebijakan yang ditetapkan dari sistem rusak, akan semakin merusak kehidupan rakyat. Sistem ini melahirkan orang-orang serakah yang tidak peduli nasib sesama. Tidak ada yang bisa diharapkan dari sistem kapitalisme ini, maka dari itu sudah selayaknya mengganti sistem yang rusak ini dengan sistem Islam yang akan memberikan kebaikan bagi umat manusia dan lingkungannya.

Sistem Islam akan melahirkan penguasa yang menetapkan kebijakan yang sesuai dengan hukum-hukum Islam. Regulasi sepenuhnya dibuat untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat yang tetap memperhatikan keselamatan rakyat dan lingkungan dari proyek pertambangan.

Negara sebagai pengurus dan pelindung akan mengelola dan memanfaatkan semua sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat. Dan tanggung jawab menjaga keberlangsungannya adalah tugas semua manusia.

Allah SWT berfirman :

"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan." (QS Al A'raf 56)

Negara tidak akan memberikan izin kepada oligarki dan korporasi untuk mengelola sumber daya alam yang hanya menguntungkan mereka, apalagi hal itu berpotensi membuat kerusakan dan menyulitkan rakyat. Sanksi tegas akan diberlakukan bagi  para pelaku yang melanggarnya.

Wallahu'alam bishawab.