Rumah, Kapan Murah?
Oleh: Ummu Farras
Harga rumah terus naik. Masyarakat harus merogoh kocek semakin dalam jika ingin memiliki rumah. Rata-rata biaya yang perlu disiapkan untuk membeli rumah mencapai miliaran rupiah. Dari data Leads Property, untuk rumah komersial harga rata-rata rumah per unit di Jabodetabek sudah mencapai Rp 2,5 miliar. Demi memudahkan masyarakat untuk membeli rumah, masa tenor kredit pemilikan rumah (KPR) kian bertambah panjang. Bank memperpanjang KPR menjadi 20 hingga 25 tahun, yang sebelumnya hanya 10 hingga 15 tahun (cnbcindonesia.com).
Sejak 2010, Pemerintah sudah menginisiasi program Fasilitas Pembayaran Perumahan (FLPP), dengan anggaran sebesar Rp 108,5 triliun. Ini merupakan fasilitas kredit untuk masyarakat penghasilan Rp 8 juta ke bawah. Fasilitas ini merupakan bentuk bantuan Negara agar masyarakat kurang mampu bisa mempunyai rumah. Mahalnya harga rumah (hunian) yang merupakan kebutuhan pokok berupa papan, sejatinya adalah bukti gagalnya negara menjamin kebutuhan rakyat. Maka tak heran masih banyak rakyat negeri ini yang hidup tanpa tempat tinggal, atau hidup dengan tempat tinggal tidak layak. Mereka adalah puluhan juta masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Sulitnya rakyat keluar dari garis kemiskinan adalah buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme di negeri ini. Sistem ekonomi kapitalisme tidak membatasi kepemilikan individu, sistem ini telah menciptakan kesenjangan yang lebar antara si kaya dan si miskin. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam penerapan kapitalisme, harga tanah dan rumah terus melambung. Kapitalisme juga telah meliberalisasi lahan di negeri ini. Sehingga negara memberikan konsesi pada pihak swasta untuk mengelola, bahkan menguasai lahan. Akibatnya lahan perumahan berada dalam kendali dan kekuasaan korporasi pengembang. Korporat leluasa membangun hunian di tanah-tanah tersebut dan mengkomersialkannya kepada rakyat, demi mencari keuntungan.
Kondisi ini diperparah dengan keadaan Negara yang hanya bertindak sebagai regulator, bukan pengurus dan pelayan rakyat. Sistem politik demokrasi yang diterapkan di negeri ini, telah menjadikan negara berlepas tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan hunian layak bagi rakyat. Negara malah menyerahkan kepada pihak korporasi dengan alasan menambah pemasukan negara. Liberalisasi harta milik umum seperti barang tambang yang merupakan bahan baku pembuatan semen, pasir, besi, batu, dan kayu dari hutan, ikut menambah beban rakyat dalam membangun rumah. Karena bahan-bahan tersebut telah dikormersialisasi oleh pihak swasta/asing. Sesungguhnya persoalan kebutuhan rumah akan selesai dalam pengaturan sistem Islam, dalam naungan negara Khilafah. Penerapan Islam kafah meniscayakan rakyat dapat mengakses rumah yang layak, nyaman, aman, terjangkau dan syar’i.
Islam telah menetapkan bahwa Khilafah sebagai negara adalah pihak yang bertanggung jawab dalam menyejahterakan rakyatnya, memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan rakyatnya. Khilafah tidak boleh hanya berperan sebagai regulator, yang menyerahkan seluruh pengurusan tersebut pada pihak swasta ataupun asing. Negara tidak dibenarkan mengalihkan tanggung jawabnya kepada operator, baik kepada pengembang maupun bank-bank, sehingga Khilafah tidak melakukan hal itu. Sebab Rasulullah saw bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya.” (HR Al-Bukhari).
Pemenuhan kebutuhan papan (hunian/rumah) rakyat dalam negara Khilafah ditempuh melalui beberapa mekanisme, yang seluruhnya bersumber dari Syariat Islam. Penerapan sistem ekonomi Islam memastikan rakyat, khususnya para laki-laki penanggung jawab nafkah yang mampu bekerja, mudah mendapatkan pekerjaan. Khilafah tidak akan membiarkan rakyatnya hidup sebagai pengangguran, padahal mampu bekerja. Sebab hal itu akan menjatuhkan pada jurang kemiskinan.
Penghasilan yang didapatkan rakyat itulah, yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, termasuk rumah hunian. Adapun rakyat yang tidak mampu bekerja, atau yang tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk membeli rumah, maka Khilafah akan bertanggung jawab secara langsung dalam memenuhi kebutuhan mereka. Lahan-lahan milik Khilafah bisa langsung dimanfaatkan untuk membangun perumahan bagi rakyat miskin. Khilafah juga dapat memberikan tanahnya secara gratis, agar mereka dapat membangun rumah di tanah tersebut. Tanah dan hunian akan mudah dimiliki oleh rakyat Khilafah, sebab regulasi Islam dan kebijakan Khalifah akan lebih memudahkan seseorang memiliki rumah.
Islam melarang penelantaran tanah selama tiga tahun oleh pemiliknya. Jika hal tersebut terjadi, maka Khilafah berhak memberikannya kepada orang lain, termasuk untuk pendirian rumah. Nabi saw bersabda: “Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanah itu diambil.” (HR Bukhari).
Islam telah menetapkan harta milik umum sebagai milik bersama kaum muslimin, yang tidak boleh dikomersialisasi oleh segelintir orang. Pemanfaatan harta milik umum secara langsung maupun tidak langsung, akan memudahkan seseorang memiliki rumah. Seseorang bisa secara langsung mengambil kayu di hutan dan bebatuan dan pasir di sungai, untuk bahan bangunan bangunan rumahnya. Khilafah juga bisa mengolah terlebih dahulu kayu-kayu milik umum untuk dijadikan papan, triplek dan batangan kayu sebagai bahan bangunan rumah, dan mendistribusikannya kepada masyarakat.
Khilafah juga akan mengolah barang tambang untuk menghasilkan besi, alumunium, tembaga, dan lain-lain, menjadi bahan bangunan siap pakai. Dengan demikian individu rakyat mudah menggunakannya, baik secara gratis maupun membeli dengan harga terjangkau (murah). Khilafah melarang segala bisnis properti yang batil dan menyulitkan, seperti pinjaman dengan bunga, denda, sita, asuransi, akad ganda, dan sebagainya. Dengan penertiban properti sesuai dengan Syariah seperti ini, Khilafah akan menjamin kebutuhan hunian yang layak bagi rakyatnya.
Wallahu’alam Bishshawab
Posting Komentar