-->

Ilusi Berantas Korupsi Dengan Demokrasi

Oleh: Wakini (Aktivis Muslimah)

Budaya korupsi sepertinya masih melekat pada orang-orang berdasi negeri ini, seperti pribahasa"manis di mulut, lain di hati", lain pula pada tindakan. Pribahasa itu menggambarkan perilaku para elite politik saat ini, ketika musim kampanye tiba mereka mengeluarkan janji-janji manis, sehingga omongan bisa sangat mulia, tetapi kelakuannya justru busuk. Sikap hipokrit, ketidakjujuran, kepalsuan, atau istilah yang dapat menggambarkan perilaku tersebut. Dan lebih celakanya, kelakuan tersebut tak jarang dipertontonkan oleh sebagian pemimpin bangsa yang semestinya bisa menjadi panutan.

Setiap tahunnya diperingati hari anti korupsi sedunia. Namun, dari tahun ke tahun korupsi kian menunjukkan peningkatan, baik dari segi jumlah kasus maupun potensi kerugian negara. Sehingga tak ayal korupsi seperti penyakit yang akut yang sulit disembuhkan. Dalam momentum hari anti korupsi sedunia yang di adakan setiap 9 Desember, publik disuguhkan kelakuan pejabat yang kerap berpura-pura bersih. Padahal mereka sendiri bagian dari lingkaran setan korupsi. 

Pada 22 November 2023, Polda Metro Jaya menetapkan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi( KPK) Firli Bahuri sebagai tersangka kasus pemerasan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Ironi, lembaga yang seharusnya di bentuk untuk menanggulangi anti rasuah ternyata dipimpin seorang tersangka kasus pemerasan.( Mediaindonesia.com 9Desember2023).

Berderetnya nama menteri yang terseret dugaan korupsi menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi di negeri ini seolah hanya ilusi. Pemerintah yang bersih seolah hanya mimpi dan tidak akan mungkin terwujud, terlebih dalam naungan sistem demokrasi.

Sebagaimana kita pahami, demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang diambil mayoritas negara saat ini. Sistem ini juga telah berhasil mencetak tikus-tikus berdasi di tatanan birokrasi. Dengan alasan membela rakyat, mereka menerima mandat, tetapi tuntutan kepentingan telah mendorong mereka melakukan tipu muslihat.  Karena sejak awal mereka menjabat sudah salah, dan ini sudah tak lagi menjadi rahasia umum. Untuk menjadi wakil rakyat perlu adanya uang pemikat, dan itu tidak sepenuhnya dari harta pribadi melainkan dari para kapitalis yang memiliki kepentingan. 

Sehingga, ketika mereka lolos menjabat, perlu adanya membalas budi pada si pemberi modal. Praktik ini juga dianggap hal yang wajar, karena pada dasarnya kedaulatan ditangan manusia yang punya kuasa. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa sistem demokrasi tidak akan mampu memberantas korupsi, dan tak mungkin kita terus menerus berharap pada demokrasi yang telah terbukti mengecewakan rakyat berkali-kali.

Menghapus tindak pidana korupsi memerlukan upaya komprehensif, tidak cukup dengan menggiatkan penindakan OTT( Operasi Tangkap Tangan) dan peringatan hari anti korupsi sedunia, karena upaya pencegahan juga diperlukan. Semua akan terwujud apabila Islam sebagai aturan dan sekaligus ideologi negara. Dalam pengangkatan pemilihan pemimpin berdasarkan dari proses bai'at, dan berbiaya rendah. Sehingga melahirkan pemimpin yang amanah, Zuhud dan penuh dengan ketakwaan. 

Dibentuk juga Badan Pemeriksaan Keuangan yang akan memeriksa secara ketat para pejabat negara agar tidak melakukan kecurangan. Disamping itu, calon pejabat dicatat harta kekayaannya sebelum,saat dan setelah selesai menjabat serta penambahannya. Apabila ditemukan pengambilan harta yang tidak syar'i, maka dapat disita oleh negara dan dimasukkan kedalam Baitul mal. Begitu juga dengan sanksi yang tegas agar menimbulkan efek jerah bagi para pelaku korupsi. Baik berupa bentuk publikasi, peringatan, stigmatisasi, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Semua itu akan terwujud dengan penerapan sistem Islam, bukan dalam demokrasi. Berharap solusi didapat dalam demokrasi ibarat menegakkan benang yang basah.

Wallahu a'lam bishowwab