Ketidakjelasan Nasib Pengungsi Rohingya
Oleh: Ummu Sumayyah
Pengungsi Rohingya hingga saat ini terombang-ambing akibat pengusiran di negeri asalnya. Gelombang kekerasan pada tahun 2012 terhadap warga Rohingnya membuat sebagian besar mereka keluar dari Myanmar menggunakan jalur laut, sejak kekerasan marak di negara bagian Rakhine, Agustus 2017 lalu, diperkirakan 700.000 Rohingya mengungsi dan Sebagian besar melintasi perbatasan darat ke Bangladesh. Namun mereka ditolak hingga akhirnya mereka meneruskan perjalanannya menuju negara dengan mayoritas Muslim yaitu Indonesia.
Sejak Selasa (14-11-2023) pengungsi Rohingya berdatangan di kawasan Pidie dan Bireuen, Aceh, menggunakan kapal. Jumlahnya mencapai hingga 346 orang di Pidie dan 249 orang di Bireuen. Warga setempat memang membantu para pengungsi. Akan tetapi, setelah memberi bantuan, mereka meminta para pengungsi untuk kembali ke kapal mereka. (Tirto,16-11-2023)
Hal ini diperjelas juru bicara Kementerian Luar Negeri Muhammad Iqbal. Ia menyampaikan bahwa Indonesia tak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi Rohingya. Hal ini berdasarkan pada aturan konvensi 1951 dan Indonesia tidak ikut meratifikasi. ‘’Karena itu Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung pengungsi, apalagi untuk memberikan solusi permanen bagi para pengungsi tersebut’’ kata Iqbal.
Penderitaan Muslim Rohingya tidak sampai disitu saja, persoalan penting lain yang terjadi adalah mereka saat ini tidak memiliki status kewarganegaraan atau stateless. Beberapa tahun lalu para pemimpin ASEAN telah sepakat untuk membentuk satuan tugas ad hoc guna membantu repatriasi pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke Myanmar. Repatriasi adalah kembalinya suatu warga negara dari negara asing yang pernah menjadi tempat tinggal (Bangladesh) menuju tanah asal kewarganegaraanya yaitu Myanmar. Namun warga Rohingya menolak kembali ke Rakhine karena khawatir akan dipersekusi dan status kewarganegaraan mereka tidak diakui menurut undang-undang Myanmar. Alih-alih direpatriasi, banyak pengungsi Rohingya justru menjadi korban penggelapan dan perdagangan manusia saat berupaya mencari penghidupan yang lebih baik ke negara-negara lain.
Sejatinya, permasalahan pengungsi Rohingya merupakan urusan negara bukan sekedar individu atau masyarakat. Muslim Rohingya telah dijajah selama berpuluh-puluh tahun. Mereka mengalami genosida namun negeri Muslim lainnya tidak bisa bertindak apa-apa. Tidak bisa dipungkiri semua ini terjadi karena sekat nasionalisme yang terlanjur mengakar di negeri-negeri Muslim. Nasionalisme menjadi racun politik yang menyebabkan negeri-negeri Muslim tidak berkutik untuk membela saudara seakidah nya yaitu muslim Rohingya yang terusir dari negerinya.
Padahal Allah SWT telah berfirman :
“(akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan’’ (QS. Al- Anfal:72)
Pertolongan ini sulit dilakukan karena kaum muslimin tersandra oleh sekat-sekat nasionalisme barat. Hans Khon dalam nationalism: its Meaning and History menjelaskan bahwa nasionalisme bermakna sikap pandang individu bahwa kesetiaan, kemuliaan dan pengabdian tertinggi diberikan kepada negara. Paham ini menimbulkan sikap ‘ashabiyah yang menghalangi ukhuwah Islamiyah antar kaum Muslimin.
Muslim Rohingya sama seperti kaum Muslimin pada umumnya dimana mereka juga membutuhkan sandang, papan, pangan serta jaminan kesehatan, pendidikan dan keamanan. Semua itu adalah tugas negara. lantas ketika negara-negara Muslim bungkam terhadap permasalahan mereka, lantas siapa yang mampu membebaskan mereka dari penderitaan ini?
Solusi hakiki bagi kaum muslim Rohingya hanya pada khilafah. Adanya seorang khalifah dalam naungan Khilafah, akan mampu melindungi Muslim Rohingya. Dan akan menjadikannya warga negara Khilafah. Mereka akan mendapatkan jaminan keamanan dan perhatian termasuk kewarganegaraan. Hal ini sangat mudah dilakukan oleh Khilafah. Sebab keberadaan Khilafah merupakan pelindung bagi setiap Muslim dari mana pun. Bukan hanya muslim Rohingya, tapi seluruh umat muslim di dunia. Apalagi bagi kaum Muslimin yang mengalami kezaliman.
Rasulullah SAW bersabda; ‘’ sesungguhnya al-Imam atau (Khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan ) nya.’’
(HR. Al bukhari, Musli, Ahmad, Abu Dawud)
Imam an-Nawawi menjelaskan makna Imam atau Khalifah itu laksana perisai yakni
‘’maksudnya ibarat tameng. Karena dia mencegah musuh menyerang (menyakiti) kaum Muslim. Mencegah masyarakat, satu dengan yang lain dari serangan. Melindungi keutuhan Islam, dia disegani masyarakat, dan mereka pun takut terhadap kekuatannya.’’
Dalam naungan Khilafah, kaum muslimin tidak akan tersekat-sekat dengan batas-batas nation state. Mereka merupakan satu kesatuan di bawah Aqidah Islam dan negara Islam. Sehingga Khilafah pun tidak segan-segan untuk membela kaum Muslimin yang teraniaya. Khilafah akan mudah mengerahkan kekuatan tentara untuk memerangi pihak-pihak yang melakukan kezaliman kepada kaum Muslimin. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk kemuliaan darah kaum Muslimin.
Solusi ini hanya bisa terwujud dengan tegaknya khilafah. Oleh karena itu umat Islam hari ini memiliki tanggung jawab untuk berjuang memahamkan umat akan urgensi adanya sebuah institusi negara Islam, yaitu khilafah, yang akan mampu memberikan pertolongan dan perlindungan secara utuh kepada Muslim Rohingya, dan kepada seluruh kaum muslimin di dunia.
Wallahu'alam
Posting Komentar