-->

HAM: Antara Ilusi dan Realitas

Oleh : Henis

Setara Institute bersama International NGO Forum on Indonesia Development (INFID), mengeluarkan data untuk skor indeks HAM Indonesia pada 2023 mengalami penurunan menjadi 3,2 dari tahun sebelumnya 3,3. Ini menunjukkan betapa jebloknya skor indeks HAM di Indonesia. 

Ada enam indikator yang dijadikan indikator pemenuhan hak pada variabel hak sipil dan politik serta lima indikator pada variabel hak ekonomi, sosial, budaya yang diturunkan ke dalam 50 sub-indikator. Perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM digambarkan pada skala 1 adalah yang paling buruk. Sedangkan yang paling baik digambarkan pada skala 7.

Pada tahun ini variabel hak sipil dan politik berada pada angka 3 dengan indikator kebebasan berekspresi dan berpendapat memperoleh skor 1,3 sehingga menjadi yang terendah di antara indikator lainnya jelas Setara Institute. 

Perlindungan dan pemenuhan hak warga atas tanah dan kebebasan berpendapat merupakan yang terburuk dalam kinerja Jokowi, hal tersebut diungkapkan oleh Setara. Jokowi sejak 2019, belum pernah mencapai skor indeks HAM di angka 4. Sedangkan capaian tertinggi adalah di angka 3,3. “Pemenuhan hak atas tanah dan jaminan kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hak yang paling buruk selama kepemimpinan Jokowi yang hampir menuju satu dekade.” ungkap Setara (CNN Indonesia, 10-12-2023).

Standar Ganda HAM

Pada tanggal 10 Desember yang diperingati sebagai hari HAM sedunia, Indonesia mendapatkan kritisan akibat menurun tajamnya skor indeks HAM di tahun ini. Kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan penegak hukum masih jauh dari harapan meskipun peringatan HAM dilakukan setiap tahunnya. Padahal PBB telah mengadopsi Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights/UDHR) terkait HAM.

Pihak yang melakukan pelanggaran HAM berat pada masa lalu semestinya diusut dan diadili oleh negara. Kenyataannya hal tersebut tak pernah dilakukan termasuk kasus Trisakti pada tahun 1998 ternyata belum diselesaikan, termasuk juga 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Isu HAM sebagai solusi berbagai masalah dunia terus digentorkan oleh Negara-negara Barat dan berbagai lembaga internasional. Bahkan seluruh negara memperingati hari HAM. Tak hanya itu, setiap negara juga diukur dan dipantau menggunakan skor indeks yang dikeluarkan setiap tahunnya. Skor indeks HAM juga di desak agar terus naik di setiap negara. Ini merupakan ilusi penegakan HAM, barat sebagai mercusuar HAM dunia dan para negara penganutnya berkhayal bahwa HAM mampu menjadi solusi tuntas bagi permasalahan dunia.

Realitasnya hal tersebut tak mampu menuntaskan berbagai persoalan dunia. Berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi berpuluh tahun lalu telah gagal diselesaikan. Maka terbukti bahwa ide HAM gagal menjadi solusi atas berbagai permasalahan tersebut. Kecakapan HAM menyolusi masalah hanyalah bualan semata.

Negara Barat seperti AS sebagai corong penyeru HAM ternyata justru menjadi pelanggar HAM terberat. Hak jutaan rakyat di Irak dan Afganistan telah dilanggar akibat serangan AS. Kemunafikan ini menjadikan banyak pihak bertanya, standar HAM itu sebenarnya apa? Lalu apa fungsi sebenarnya HAM jika bak dua mata pisau, membunuh lawan dan menjadi senjata perisai bagi tuan?

Kebebasan (liberalisme) merupakan sumber utama dari kemunculan ide HAM. Wajar jika dalam penerapannya menyebabkan standar ganda. Ketika AS dan sekutunya menjadi pelaku utama kekerasan maka tak dianggap sebagai pelanggaran HAM. Namun sebaliknya jika yang melakukan kekerasan dianggap sebagai musuh AS maka akan digembar-gemborkan sebagai pelaku pelanggaran HAM. Salah satunya terjadi di Papua, ketika kelompok kriminal bersenjata (KKB) ditindak tegas oleh aparat, tindakan ini kemudian dituding melanggar HAM. Tak hanya itu kasusnya bahkan dibawa ke forum internasional. Bertolak belakang ketika KKB justru membunuhi warga sipil Papua, tak ada tudingan KKB melanggar HAM meski jumlah korban yang terbunuh besar. Begitupun yang terjadi di Palestina, Hamas dianggap melanggar HAM sebab melakukan serangan 7 Oktober 2023, sedangkan Zionis Yahudi sang penjajah dan pelaku genosida atas ribuan lebih warga Palestina tidak dianggap sebagai pelanggar HAM.

Begitulah sejatinya ide HAM yang bermuka dua, sebab ide ini lahir dari rahim sekularisme, yang mengagungkan kebebasan berperilaku. Oleh sebab itulah akar dari ide ini bertentangan dengan Islam. Semua produk sekularisme termasuk HAM pasti bertentangan dengan akidah Islam.

Maka sebagai seorang muslim, kita patut mengetahui dan memahami bahwa HAM adalah ide dan prinsip yang salah, sebab menjadikan manusia bebas berbuat semaunya tanpa pijakan dan rambu yang jelas.  Padahal sejatinya fitrah manusia itu lemah, tak mampu mengetahui hakikat mana yang benar dan salah. Oleh sebab itu manusia tak akan mampu membuat aturan yang benar untuk mengatur interaksi manusia tanpa panduan wahyu dari Pencipta manusia itu sendiri. Tatkala manusia diberikan kesempatan membuat aturan, maka ia cenderung membuat aturan yang menguntungkan dirinya dan golongannya. Begitulah yang terjadi pada ide HAM dan penerapannya.

Tak dapat disangkal, bahwa penerapan HAM yang ada justru bertabrakan dengan kepentingan pihak lain. Hasilnya setiap orang berlomba mengutamakan haknya daripada hak orang lain. Ujungnya, persoalan tak kunjung rampung, justru menyimpan potensi bahaya di kemudian masa. Yang ada malah saling dendam antarindividu ataupun kelompok dan dapat berakibat fatal dengan saling serang lisan bahkan fisik.

Konflik berkepanjangan tak akan bisa dihindarkan, sebab setiap pihak menuntut haknya agar dipenuhi. Selain itu HAM juga terbukti menjadi alat serang yang ampuh bagi Barat kepada negeri muslim yang dianggap berseberangan dengan kepentingannya. HAM akan dijadikan senjata pamungkas bila dianggap mampu menguntungkan Barat, namun akan diabaikan bila diketahui dapat merugikan mereka. Tak hanya itu, HAM juga menjadi tameng dan justru memfasilitasi  kemaksiatan dengan propaganda kebebasan. Apalagi kalau bukan dibukanya pintu-pintu kebebasan berekspresi bagi penyuka sesama jenis di berbagai belahan dunia.

Islam Menawarkan Solusi Sistematis

Hukum asal semua perbuatan dalam Islam adalah terikat dengan hukum syarak. Oleh karenanya segala sesuatu memiliki standar yang sama, yaitu hukum syariat. Maka jika terjadi tindak kekerasan kepada individu, etnis, atau golongan, akan dilihat hukumnya berdasarkan syariat. Begitupun dengan pencegahan dan penerapan sanksi yang tegas jika kekerasan itu terjadi akan melibatkan penerapan syariat Islam dan bukan berdasarkan pada hawa nafsu semata. Allah SWT. berfirman,

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS Al-Maidah: 50).

Ketika Islam diterapkan secara sempurna di tengah-tengah umat maka hak dasar manusia akan terpenuhi, seperti hak hidup, mendapatkan makanan, tempat tinggal dan pakaian, menjalankan ibadah, keamanan, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan lainnya. Dengan penerapan syariat secara sempurna akan menghasilkan terwujudnya tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh Allah dalam setiap hukum dari keseluruhan hukum-Nya yang telah diturunkan sebagai bentuk kasih sayang kepada manusia sebagai makhluk-Nya. Dengan ini manusia dapat hidup tenteram, dan semua kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi dengan baik dan benar.

Sejarah kegemilangan peradaban Islam telah terbukti mampu mewujudkan ketenteraman hidup dalam naungan sistem Islam, tak hanya bagi muslim namun juga bagi non muslim. Ini masih dapat dilihat ketika umat Islam, Nasrani, dan Yahudi hidup berdampingan secara harmonis di Palestina selama ratusan tahun, sebelum adanya penjajahan oleh zionis Yahudi yang memporak-porandakan keharmonisan ditengah-tengah mereka. Will Durrant (1885—1981), sejarawan Barat yang terkemuka menyampaikan bahwa, “Agama (Ideologi) Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir hingga Maroko dan Spanyol. Solusi ini telah ditawarkan Islam sejak Rasulullah Saw, ditunjuk sebagai Nabi dan Rasul. Tinggal kita, mau atau tidak menggambil bagian dalam barisan para pejuang agar sistem Islam dapat segera diterapkan secara menyeluruh, menjadi rahmatan lil 'alamin. 

Wallahu a'lam bish-shawab.