-->

Potret Kusam Jaminan Kesehatan pada Kapitalisme

Oleh: Cahya Candra Kartika

Setiap 12 November diperingati sebagai Hari Kesehatan Nasional (HKN) di Indonesia. Di tahun 2023, Indonesia akan merayakan Hari Kesehatan Nasional yang ke-59.

Asal-usul Hari Kesehatan Nasional tidak lepas dari sebuah peristiwa penting di dunia kesehatan Tanah Air. Momen ini dirayakan untuk memperingati keberhasilan pemerintah RI dalam memberantas wabah malaria pada tahun 1950-an.

Tahun ini, Hari Kesehatan Nasional mengangkat tema 'Transformasi Kesehatan untuk Indonesia Maju'

Rendahnya Kualitas Kesehatan di Indonesia

Melihat tema yang diangkat pada hari kesehatan Nasional tahun ini, menjadikan kita Napak tilas perjalanan kualitas penanganan kesehatan di negara kita, dimana menurut Asisten Deputi Sumber Daya Kesehatan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) Dr. Hanibal Hamidi menilai kualitas kesehatan nasional masih rendah. Hal tersebut perlu menjadi salah satu perhatian pemerintahan, baik Presiden pada masa sekarang atau yang akan menjabat periode berikutnya.

"Fakta saat ini, masih rendahnya status angka kematian ibu, angka kematian bayi, dan gizi buruk. kualitas kesehatan atau angka harapan hidup saat ini rendah," jelas Hanibal di Depok, Jawa Barat, baru-baru ini.

"Dari sisi kebijakan kesehatan harus ada rekonstruksi total kesehatan nasional. Rekruitmen tenaga kesehatan yang baik dengan menghindari transaksional kesehatan," ujar Hanibal. (gayahidup.inilah.com)

Pelayanan Kesehatan yang masih jauh dari layak

Dugaan malpraktek yang dilakukan petugas pelayanan kesehatan yang mengakibatkan pasien mengalami kerugian mulai dari materi, cacat fisik bahkan sampai meninggal dunia memperlihatkan masih rendahnya mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Patient safety (keselamatan pasien) belum menjadi budaya yang harus diperhatikan oleh rumah sakit di Indonesia. Perubahan paradigma dalam lembaga pelayanan kesehatan yang saat ini beralih pada patient centered care belum benar-benar dijalankan dengan baik.

Ahmad Ahid Mudayana,SKM.,MPH, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat mengatakan, masih ada rumah sakit yang berorientasi pada kepentingann manajemen yang pada akhirnya melupakan keselamatan pasien di rumah sakit.

Menurutnya, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sudah dengan jelas menyatakan bahwa rumah sakit saat ini harus mengutamakan keselamatan pasien di atas kepentingan yang lain. Jadi, kata dia, sudah seharusnya rumah sakit berkewajiban menerapkan budaya keselamatan pasien. Tidak ada lagi alasan bagi setiap rumah sakit untuk tidak menerapkan budaya keselamatan pasien karena bukan hanya kerugian secara materi yang didapat tetapi juga ancaman terhadap hilangnya nyawa pasien.

"Keluhan masyarakat soal dokter, yang paling banyak soal pemberian informasi yang tidak lengkap, diagnosis penyakit yang kurang tepat, dan tidak sedikit juga yang mengadukan sikap dokter yang tidak ramah. Bahkan ada juga dokter yang ngambek kepada pasien," katanya.

Apabila masih ada rumah sakit yang mengabaikan keselamatan pasien sudah seharusnya diberi sanksi yang berat baik untuk rumah sakit maupun petugas pelayanan kesehatan. Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, pihak rumah sakit bahkan petugas pelayanan kesehatan tidak mendapat sanksi apapun sehingga menjadikan penegakan hukum kesehatan di Indonesia masih sangat lemah.

Sudah seharusnya apabila terjadi kelalaian bahkan kesengajaan dari pihak rumah sakit yang mengakibatkan terancamnya keselamatan pasien maka tidak hanya sanksi internal tetapi juga sudah masuk ke ranah pidana. Inilah yang sampai saat ini belum berjalan sehingga masyarakat yang dirugikan karena lemahnya penegakan hukum yang pada akhirnya kasusnya menguap begitu saja.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kenapa budaya keselamatan pasien belum benar-benar diterapkan di berbagai rumah sakit.

1. Rendahnya tingkat kepedulian petugas  terhadap pasien, hal ini bisa dilihat dengan masih ditemukannya kejadian diskriminasi yang dialami oleh pasien terutama dari masyarakat yang tidak mampu.

2. Beban kerja petugas kesehatan yang masih terlampaui berat terutama perawat. Perawatlah yang bertanggung jawab terkait asuhan keperawatan kepada pasien, sedangkan disisi lain masih ada rumah sakit yang memiliki keterbatasan jumlah perawat yang menjadikan beban kerja mereka meningkat.

Selain perawat, saat ini di Indonesia juga masih kekurangan dokter terutama dokter spesialis serta distribusi yang tidak merata. Ini berdampak pada mutu pelayanan yang tidak sama di setiap rumah sakit

3. Orientasi pragmatisme para petugas kesehatan yang saat ini masih melekat disebagian petugas kesehatan. Masih ditemukan para petugas kesehatan yang hanya berorientasi untuk mencari materi/keuntungan semata tanpa mempedulikan keselamatan pasien.

4. Lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan terhadap para petugas kesehatan. Lemahnya pengawasan sendiri dikarenakan beberapa faktor mulai dari terbatasnya personel yang dimiliki dinas kesehatan sampai rendahnya bargaining position dinas Kesehatan.

Islam Menjaga Kesehatan Masyarakatnya

Masyarakat butuh kemakmuran ekonomi dan kenyamanan dalam mengakses berbagai fasilitas layanan kesehatan. Mereka juga ingin jaminan negara dalam menjaga ekonomi rakyatnya. dan secara normal kita akan bahagia ketika hidup sehat dengan makanan yang cukup di atas meja dan rasa aman ketika pergi tidur.

Maka kita butuh sistem yang sukses, bukan sistem gagal, dimana warga miskin ditinggalkan negara, berpotensi kehilangan kemampuan mereka untuk mengakses berbagai kemudahan di berbagai layanan dalam hidup karena penyakit atau bayang-bayang kematian karena gagal mengakses layanan kesehatan.

Meskipun pertumbuhan luar biasa dalam kekayaan dan sumber daya di bawah Kapitalisme, ketidakamanan kesehatan terus menghantui individu dan negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Jaminan Kesehatan di Indonesia

UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Negara (SJSN) dan UU Nomer 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah diterapkan. Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) didirikan atas dasar UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, yang merupakan amanat dari UU Nomer 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Kedua UU tersebut justru mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh Badan Pelaksana Jaminan Sosial. 

BPJS secara keseluruhan nampak seperti membebani masyarakat. Belum lagi rencana kenaikan iuran dan keharusan seluruh masyarakat terdaftar sebagai anggota BPJS Kesehatan mulai tahun 2019. BPJS adalah sebuah lembaga swasta yang ditunjuk pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Jika kita perhatikan lebih jauh, BPJS tidak ubahnya seperti praktik asuransi konvensional. Hanya saja BPJS merupakan lembaga swasta yang mendapat izin resmi  dari pemerintah untuk melakukan asuransi kesehatannya bagi seluruh rakyat Indonesia, sedangkan asuransi konvensional harus bekerja keras untuk mendapatkan pelanggannya sendiri.

Orang-orang yang mendukung terhadap kehadiran BPJS mengatakan bahwa, BPJS telah menolong jutaan rakyat miskin di Indonesia untuk mendapatkan jaminan kesehatan secara gratis dari negara. Agaknya pendapat tersebut perlu ditarik kembali, fakta bahwa pemerintah tidak ikut andil sedikit pun dalam BPJS kecuali sebagai regulator saja serta adanya sejumlah premi yang harus dibayar setiap bulannya oleh beberapa golongan masyarakat menunjukkan bahwa negara sama sekali tidak menjamin kesehatan rakyat manapun.

Secara fundamental melalui kebijakan di atas telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat, serta mengubah jaminan sosial menjadi asuransi sosial. Padahal makna ‘jaminan sosial’ jelas berbeda sama sekali dengan ‘asuransi sosial’. Padahal jaminan sosial adalah kewajiban Pemerintah dan merupakan hak rakyat, sedangkan dalam asuransi sosial, rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Itu artinya rakyat harus melindungi dirinya sendiri. Pada jaminan sosial, pelayanan kesehatan diberikan sebagai hak dengan tidak membedakan usia dan penyakit yang diderita, sedangkan pada asuransi sosial peserta yang ikut dibatasi baik dari segi usia, profesi maupun penyakit yang diderita. Disamping itu, akad dalam asuransi termasuk akad batil dan diharamkan oleh syariat Islam.

Rakyat kategori miskin bukan mendapatkan kesehatan secara gratis dari negara melainkan dari rakyat lain yang telah membayar premi dengan besaran yang telah ditetapkan. Di sini jelas rakyat yang membayar premi tidak sedang melakukan praktik tolong menolong atau gotong royong (ta’awun), tapi suatu pemaksaan belaka.  Jika memang BPJS berprinsipkan ta’awun maka harus bersifat suka rela, tidak ditentukan besarannya.

Melalui kebijakan ini, negara tidak mempunyai kewajiban untuk menjamin kesehatan. Karena itu, kewajiban menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain ini harus ditanggung sendiri oleh rakyat. Bisa ditanggung sendiri oleh rakyat, atau dengan bergotong royong sesama mereka. Inilah akar permasalahan BPJS yang lahir dari pemikiran kapitalisme.

Berbeda dengan Islam, dalam Islam jaminan kesehatan itu wajib hukumnya diberikan oleh negara kepada seluruh rakyatnya (kaya mapun miskin) secara gratis, tanpa membebani apalagi memaksa rakyat untuk membayar. Negara islam yang menjadikan aqidah islam sebagai landasan bernegara akan memberikan layanan gratis dari sumber pendapatan negara, seperti sumber daya alam yang dikelola langsung oleh negara.

Islam memiliki sistem politiknya sendiri yang memiliki ciri-ciri negara yang mengatur semua lapisan kehidupan termasuk sistem sosial, ekonomi dan hukum. Sistem ekonomi Islam adalah satu-satunya solusi yang sesuai fitrah manusia. Ini adalah satu-satunya solusi komprehensif untuk masalah ketidakamanan kesehatan

Wallahu A'lam Bishawab