-->

Nasib Perempuan Dipertaruhkan, Peran Negara Dipertanyakan

Oleh: Asha Tridayana, S.T.

Seperti tidak ada habisnya, kasus perempuan menjadi korban kekerasan atau penganiayaan yang berujung pada pembunuhan. Kasus yang belum lama terjadi, Gregorius Ronald Tannur (31) telah menganiaya kekasihnya, Dini Sera Afrianti (28), hingga korban kehilangan nyawa. Pelaku merupakan anak dari anggota Fraksi PKB di DPR RI dari Dapil Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada September juga terjadi hal serupa, Nando (24) tega membunuh istrinya, Mega Sriyani Dewi (24) di rumah kontrakan, Desa Sukadanau, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi. Lantaran sakit hati terkait minimnya ekonomi.

Kemudian di Pandeglang, Banten pada Februari 2023, Riko Arizka (23) telah menghilangkan nyawa mantan kekasihnya dengan cara dihantam menggunakan kloset. Sementara awal Januari 2023, seorang laki-laki MR (43) membakar mantan istrinya dengan bensin di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Korban DW (38) mengalami luka bakar hingga 60 persen dan SB (39) meninggal dunia. Sedikit deretan kasus tersebut dikategorikan sebagai femisida. Sementara data yang diperoleh Komnas Perempuan selama September 2020 hingga pertengahan Agustus 2021 terdapat 421 kasus femisida yang terekspos media. 

Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati bahwa penganiayaan dan pembunuhan tersebut dilakukan karena pelaku merasa pantas melakukannya pada perempuan. Namun, penanganan kasus femisida masih belum efektif di Indonesia. Hukuman terhadap pelaku masih dikelompokkan sebagai pembunuhan umum. Mike pun menjelaskan, femisida didorong oleh adanya perasaan superior, dominasi, maupun misogini terhadap perempuan, rasa memiliki perempuan, dan ketimpangan relasi kuasa. (tirto.id 11/10/23)

Peran aktif masyarakat diperlukan sebagai upaya antisipasi terhadap kekerasan berbasis gender atau femisida. Hal ini disampaikan oleh Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad. Sehingga disaat perempuan menjadi korban kejahatan femisida, orang terdekat dapat memberikan dukungan baik moral maupun materi serta menyadarkannya untuk segera melepaskan diri dari hubungan yang toksik dan destruktif. Korban pun enggan melaporkan pelaku karena berbagai alasan dan berakibat pada berulangnya siklus kejahatan femisida. (tirto.id 11/10/23)

Komisioner Rainy Hutabarat menyampaikan bahwa kekerasan berulang dan berkelanjutan dalam relasi personal berpotensi sebagai silent killer seperti femisida. Berawal dari serangkaian kekerasan menggunakan alat-alat tertentu ataupun dengan kekuatan fisik seperti tangan dan kaki. Komnas Perempuan mendorong aparat terkait untuk mengadili pelaku dengan sungguh-sungguh dan berupaya melakukan pencegahan agar femisida tidak berulang. (komnasperempuan.go.id 10/10/23)

Tidak dipungkiri, nasib perempuan di era milenial saat ini semakin terancam dan mengenaskan. Perempuan sering kali menjadi korban kejahatan yang pelakunya justu orang terdekat. Seperti femisida yang mengkategorikan gender perempuan sebagai makhluk lemah dan menjadikannya sasaran tindak kekerasan hingga pembunuhan oleh laki-laki yang merasa lebih kuat dan berkuasa.

Berulangnya berbagai kasus tersebut menunjukkan adanya kekeliruan atas hukum yang diterapkan sekarang. Termasuk ketidakmampuan negara dalam menindak pelaku dan menanggulangi kasus serupa. Hal ini tidak lain akibat dari penerapan sistem sekuler kapitalisme. Sistem yang memisahkan aturan agama dari segala aspek kehidupan sehingga jelas tidak ada jaminan keamanan yang diberikan negara bagi masyarakat lebih-lebih perempuan.

Upaya negara malah melakukan pengklasifikasian pembunuhan perempuan sebagai femisida karena selama ini pihak aparat menganggapnya sebagai pembunuhan umum. Hal ini tentu saja tidak memberikan solusi karena yang dibutuhkan masyarakat hanyalah penegakkan hukum yang jelas hingga tuntas. Sistem sekuler kapitalisme saat ini justru semakin mengkaburkan peran negara untuk bertanggungjawab dalam menyelesaikan segala permasalahan masyarakat termasuk kekerasan perempuan.

Oleh karena itu, negara membutuhkan sistem baru yang mampu memberikan jaminan keamanan dan masyarakat pun merasa terlindungi. Sistem tersebut tidak lain sistem Islam, yakni sistem yang berasal dari hukum-hukum Allah swt Sang Maha Pencipta seluruh alam dan makhluk-Nya. Aturan dan hukum Allah swt sesuai dengan fitrah dan kebutuhan manusia sehingga keberlangsungan hidup manusia senantiasa terjaga tanpa ada yang terdzalimi.

Terlebih perempuan, kehormatannya akan selalu dijaga karena perempuan merupakan sebaik-baik perhiasan dunia. Perempuan menjadi ujung tombak peradaban meskipun secara fisik terlihat lemah tetapi kemuliaannya dalam ketakwaan sebagai makhluk Allah swt setara dengan laki-laki. Perempuan memiliki hak dan kewajiban yang diatur oleh syara' tanpa mencederai peran laki-laki. Sehingga tidak ada kasus seorang laki-laki merasa lebih berkuasa hingga menjadikannya mampu merendahkan perempuan.

Melalui sistem Islam dengan berbagai mekanismenya, negara mampu menjaga kehormatan dan keselamatan perempuan dari segala bahaya yang mengancam. Maka sudah semestinya, negara menerapkan sistem Islam dalam segala aspek kehidupan agar kehidupan perempuan kembali pada fitrahnya. Allah swt berfirman, "Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar." (Al-Ahzab ayat 35)

Wallahu'alam bishowab.