-->

Lemah dan Ilusi Semata, Sistem Demokrasi Menangani Korupsi

Oleh: Desvita Ayu

Era rezim ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi di negeri ini hanya ilusi. Sebut saja, banyak dari jajaran menteri Jokowi yang menyalahgunakan uang umat dengan memperkaya diri mereka, dan memenuhi hasrat hawa nafsu semata. Tak ayal, masalah korupsi ini adalah biang dari sistem Sekulerisme-kapitalisme. Kebebasan yang diagung-agungkan hanya berpihak kepada pemilik modal-intinya yang punya duit, maka ia bebas melakukan apa saja tanpa adanya sekat halal haram dalam kamus kehidupan.

Baru-baru ini, menteri keenam pada era pemerintahan Joko Widodo yang terjerat kasus dugaan korupsi Syahrul Yasin Limpo merupakan Menteri Pertanian. Penetapan Syahrul Yasin Limpo sebagai tersangka ini ramai usai tim penyidik KPK menggeledah rumah dinasnya di Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan. Penggeledahan dilakukan saat proses hukum masuk ke tingkat penyidikan. Liputan6.com

KPK menyebut telah mendengarkan setidaknya keterangan 49 pejabat Kementerian Pertanian terkait perkara ini. Meski status Syahrul dalam kasus ini belum terang-benderang, dia telah mengundurkan diri dari kursi menteri. Selain Syahrul,  menteri lain yang terjerat kasus korupsi selama dua periode pemerintahan Jokowi adalah Idrus Marham, Imam Nahrawi, Edhy Prabowo, Juliari Batubara, dan Johnny G. Plate. bbc.com

KPK yang bertugas sebagai komisi pemberantasan korupsi saja, tidak mampu menghentikan laju korupsi, justru angka korupsi semakin melambung tinggi. Apalagi dengan adanya pelanggaran yang terjadi di lembaga anti riswah (suap) ini. Satu keniscayaan bahwa korupsi dalam sistem demokrasi sekuler kapitalisme menjadi suatu hal yang lumrah terjadi. 

Jual beli jabatan, proyek, hingga suara seolah hal yang lumrah. Dengan adanya kebijakan ini, keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi makin dipertanyakan. Inilah realitas hukum sekuler yang tidak berpijak pada halal/haram, begitu mudah menoleransi sebuah kejahatan hanya karena dianggap kecil. 

Penentuan sebuah kejahatan bukan berdasarkan benar/salah, tetapi berdasarkan hitung-hitungan materi. Akibatnya, akan muncul persepsi bahwa tidak apa-apa korupsi, asal sedikit. Atau lebih parah lagi, tidak apa-apa korupsi, asal tidak ketahuan. Jika persepsi ini meluas di masyarakat, kehancuran negeri akan tinggal menghitung waktu. Nauzubillahi minzalik.

Islam dalam naungan Khilafah mencegah terjadinya korupsi dengan seleksi para pejabat dari orang-orang yang bertakwa. Kemudian, negara melakukan penghitungan terhadap harta pejabat sebelum menjabat dan sesudahnya. Apabila ada kenaikan yang tidak wajar, Khilafah menerapkan pembuktian terbalik.

Para pejabat harus mampu membuktikan sumber hartanya, apakah dari jalan yang sah atau tidak. Jika tidak mampu membuktikan, atau terbukti terdapat harta ghulul atau mengambil harta yang bukan haknya dari uang negara, maka mereka akan mendapatkan sanksi yang tegas.

Tindakan korupsi masuk dalam kategori takzir, yaitu uqubat (sanksi-sanksi) yang dijatuhkan atas kemaksiatan yang tidak ada had dan kafarat di dalamnya. Kadar sanksi takzir berada di tangan Khalifah, tetapi boleh diserahkan kepada ijtihad tadi. 

Inilah realitas hukum Islam dalam sistem Khilafah, tidak ada toleransi sedikit pun terhadap tindakan korupsi. Kasusnya diusut tuntas dan pejabat yang terbukti korup mendapatkan sanksi yang tegas. Keadilan pun terwujud sehingga rakyat merasa aman dan tenteram. Sungguh sebuah sistem yang kita semua dambakan. Wallahualam.