-->

Banjir Ciwidey Banjir Kritik

Oleh: Rengganis Santika A STP

Warga Kab. Bandung tentu belum lupa musibah banjir bandang  di Ciwidey setahun yang lalu. Sampai saat ini, banyak pihak mempertanyakan musibah tersebut. Bagaimana mungkin Ciwidey yang dikenal sebagai daerah dataran tinggi, juga merupakan daerah konservasi alam, tapi justru terjadi banjir bandang disana?. Air bah yang meluap hebat di Sungai Ciwidey mengindikasikan telah terjadi kerusakan alam di hulu. Lantas siapa yang harus bertanggung jawab?

Pertanyaan dan kritik atas musibah tersebut bermunculan hingga saat ini, seperti dari pemerhati lingkungan, akademisi dan publik secara umum. Sebagaimana dilansir AYOBANDUNG.COM, terkait implementasi program reformasi agraria di Kab. Bandung yang banyak menuai masalah. Pemerhati lingkungan asal Kabupaten Bandung, Eyang Memet, mengatakan bahwa berbagai program yang berkaitan dengan reformasi agraria termasuk kedaulatan lahan, pada dasarnya baik. Hanya saja banyak menuai masalah dalam implementasi di lapangan. Diantaranya adalah keberadaan perhutanan sosial, dimana warga  desa hutan diperbolehkan untuk menggarap lahan milik perhutani. Namun implementasinya, banyak masyarakat di sekitar hutan justru tidak menerima manfaat dari program tersebut (Soreang, Senin 25 September 2023).

Pihak pemkab. Bandung mengklaim bahwa monitoring dan evaluasi harus dilakukan supaya program ini memiliki kebermanfaatan bagi seluruh masyarakat kabupaten Bandung, namun kenyataannya justru sebaliknya. Musibah banjir bandang di Ciwidey setahun lalu tersebut, dinilai banyak pihak sebagai kesalahan Pemkab Bandung yang dianggap sebagai biang Kerok masalah (instagram/Info Jawa Barat ).

Mengkritisi Kebijakan Tata Ruang Lahan PemKab Bandung

Sebelum mengkritisi sebuah program atau kebijakan tentu kita perlu mengurai terlebih dahulu berbagai permasalahan yang muncul. Pertama adalah masalah sosial yaitu adanya kecemburuan sosial, ternyata para penggarap lahan dalam program tersebut, justru banyak berasal dari luar desa sekitar hutan bukan warga lokal. Kemudian banyak kasus warga setempat hanya diminta KTP, tapi penggarapnya tetap dari luar.

Masalah ekologis yang muncul adalah, banyak penerima manfaat yang mengolah lahan dengan tidak memperhatikan aspek lingkungan, sehingga sumber mata air hilang karena terdampak pengolahan lahan, akibatnya warga kesulitan air bersih. Selain aspek sosial dan ekologis, sudah pasti muncul banyak permasalahan yang terkait aspek ekonomi. Seperti kesenjangan ekonomi,  dan kemiskinan yang nyata. Pemodal lebih difasilitasi oleh pemkab di titik konservasi Ciwidey, untuk membuka lahan bagi bisnis pariwisata. Sebaliknya petani lokal justru diabaikan. Petani miskin kian terpuruk. Isu hukum juga tak kalah penting, aturan tata ruang dan peruntukan lahan telah banyak dilabrak. Terbukti alih fungsi lahan mulai dari hulu sungai Ciwidey hingga ke hilir demikian masif. Hukum tunduk pada uang para pemodal/kapitalis. Demi uang dan kekuasaan, daya dukung alam dipertaruhkan. Sungguh miris hajat hidup rakyat terkikis. Saat kemarau seperti saat ini kab. Bandung mengalami krisis air bersih dan irigasi lahan, sebaliknya di musim hujan, banjir menerjang. Fungsi hutan tanaman keras dengan akar yang menghujam bumi seharusnya bisa menyimpan air. Tapi demi bisnis pariwisata para pemodal, alih fungsi lahan tak terelakan. Curah hujan yang tinggi dengan debet air melimpah mengakibatkan air bah, akhirnya rakyat pula yang sengsara.

Begitulah korporatokrasi (perselingkuhan penguasa pengusaha) serakah, maka bumipun jauh dari berkah. Buruknya perencanaan tata ruang agraria, akibat tidak melibatkan pihak terkait terutama rakyat sebagai pemilik sah lahan yang mereka garap. Kemudian tolak ukur kebijakan adalah kapitalisme dengan azas manfaat individualistis. Tata ruang agraria hanya berfokus pada aspek ekonomi, itupun nihil implementasi. Jelas, bahwa akar masalahnya adalah sistem yang diterapkan, yaitu kapitalisme.

Islam Menyelamatkan Alam Mensejahterakan Rakyat.

Ciri kapitalisme, adanya jaminan atas kebebasan kepemilikan. Siapa kuat dan punya modal kuasa dan cuan, boleh mengusai aset kepemilikan umum. Padahal dalam hadist Rasulullah saw menyampaikan  "Kaum muslimin bersyerikat atas  padang gembala (termasuk hutan), air dan api (HR Abu Dawud). Haram hukumnya hutan, sungai, mata air dirusak, apalagi dikuasai individu swasta untuk bisnis. Tata kelola lahan dalam islam meliputi intensifikasi (subsidi pengelolaan lahan oleh negara, kajian para pakar (khubaro) untuk peningkatan produktifitas lahan, baik potensi ekonomi, sosial dan ekologis), eksentifikasi lahan(menghidupkan tanah mati, pemberian lahan pada rakyat untuk dikelola), diversifikasi lahan (penganekaragaman produksi lahan meliputi agribisnis, agroindustri dan agrikultur ) semua dikelola bagi kemashlahatan yang  berkeadilan bagi seluruh rakyat. Itulah tugas politis seorang pemimpin dalam islam (khalifah) yaitu meri'ayah (mengurus) umat agar sejahtera, selamat dunia akhirat.