-->

Kelaparan di Negeri Kaya SDA

Oleh: Bunda Hanif

Berita menyedihkan datang dari tanah Papua. 6 warga di Kabupaten Puncak, tepatnya Distrik Agandugume dan Lambewi, Provinsi Papua Tengah meninggal akibat kelaparan. Korban tersebut terdiri dari 5 orang dewasa dan 1 bayi berusia 6 bulan. Mereka meninggal usai mengalami lemas, diare, panas dalam dan sakit kepala akibat tidak ada makanan sebagai dampak musim kemarau. Kejadian ini juga berdampak pada sedikitnya 7500 orang yang gagal panen akibat kekeringan yang terjadi selama dua bulan terakhir. (Muslimahnews.com, 2/8/2023)

Sejak Maret 2023 Badan Meteorologi , Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah mengingatkan Pemda setempat akan adanya musim kemarau, tujuannya agar Pemda setempat mengambil langkah untuk mengantisipasi dampak terjadinya kekeringan. 

Diperkirakan kondisi musim kemarau dan kekeringan ini akan terjadi hingga September 2023 sebagai dampak intensitas hujan rendah. Selain itu terjadi pula perubahan suhu yang drastis. Suhu panas terjadi di siang hari dan malam harinya bisa turun hingga 10 derajat celsius.

Daerah yang sulit dijangkau menyebabkan distribusi bantuan bahan makanan kepada warga menjadi lambat. Untuk mencapai daerah tersebut ditempuh dengan jalan kaki dari Distrik Sinak. Cara lainnya ditempuh dengan pesawat. Namun pihak penyalur bantuan mengaku kesulitan mendapatkan layanan penerbangan lantaran faktor ancaman kelompok kriminal bersenjata (KKB), terlebih pasca peristiwa penyanderaan pilot Susi Air. 

Namun akhirnya bantuan bisa diantarkan oleh Bupati Puncak Willem Wandik dengan pesawat sewaan, yakni pesawat Reven Global Air Transport PK RVV yang take off dari Bandara Mozes Kilangin Timika menuju Bandara Agandume. Willem menegaskan, bahwa dirinya selaku Bupati Puncak bersama dengan Masyarakat Distrik Agamndugume dan Lambewi, serta dukungan TNI/Polri akan menjamin keamanan dan keselamatan kepada pilot maupun pesawat yang melakukan pelayanan angkutan bantuan bencana. 

Kondisi yang sungguh memprihatikan, bencana kelaparan terjadi di wilayah yang kaya akan SDA. Perubahan cuaca dan musim yang disebut sebagai katalisator terjadinya kelaparan, nyatanya krisis Papua sudah terjadi sejak lama. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat setempat sejatinya adalah sumber bencana di Papua. Ibarat fenomena gunung es, hanya sedikit kasus korupsi yang terungkap.

Keberadaan Freeport selama hampir setengah abad di Papua, juga tidak berdampak apa-apa bagi kesejahteraan masyarakat Papua. Ditambah lagi dengan ancaman KKB pada warga kendati sesama etnis Papua. Krisis kemiskinan, pendidikan, kesehatan, narkoba minuman keras, liberalisasi seksual dan tingginya angka HIV/AIDS di sana menambah daftar panjang penderitaan masyarakat Papua.

Melimpahnya SDA Papua sudah menjadi target asing. Kalaupun ada yang dikelola pemerintah, tampaknya tidak akan jauh dari jejaring oligarki. Lagi-lagi rakyat harus gigit jari. Mereka tidak merasakan kekayaan wilayah sendiri. Untuk bisa bertahan hidup saja mereka harus berjuang antara hidup dan mati, laksana tikus yang mati di lumbung padi. 

Jika kekeringan yang melanda Papua dijadikan kambing hitam terjadinya bencana kelaparan, sungguh terlalu naif. Nyatanya Papua sudah lama berada dalam cengkeraman kaum kapitalis yang serakah. Mereka mengeruk kekayaan SDA secara besar-besaran. Kapitalisme lah sumber dari semua malapetaka. Sistem ini menjadikan yang kaya bertambah kaya sedangkan yang miskin semakin bertambah miskin. Saat terjadi krisis kesejahteraan, alasan yang mereka pakai adalah faktor kelangkaan barang. Padahal yang terjadi adalah buruknya distribusi ekonomi/kekayaan. 

Seharusnya bencana kelaparan tidak terjadi di wilayah kaya SDA, andaikan penguasa selama ini berusaha keras mencukupi kebutuhan rakyatnya. Perubahan cuaca yang diklaim sebagai sumber dari bencana kelaparan seharusnya sudah diantisipasi. Mengingat perubahan cuaca sudah bisa diprediksi sebelumnya. 

Sungguh berbeda cara pandang Islam terhadap bencana kelaparan. Bencana ini merupakan alarm keras yang semestinya jangan sampai berbunyi, apalagi sampai timbul korban jiwa. Munculnya gejala kelangkaan barang harus dikoreksi bagaimana pendistribusian ekonominya. Jangan sampai kelangkaan barang terjadi, apalagi sampai berlarut-larut dan menimbulkan kelaparan. 

Hendaknya kita menengok sejarah, bagaimana Khalifah Umar bin Khaththab ra mengurus rakyatnya. Kisah teladan yang seharusnya menjadi contoh bagi pemimpin saat ini. Pada suatu malam, beliau berkeliling untuk melihat kondisi rakyatnya. Sampailah Umar di sebuah gubuk yang terdengar olehnya suara tangis anak kecil. Di dalamnya tampak seorang ibu yang sedang memasak sambil sesekali membujuk anaknya untuk tidur. Sesampainya Umar di rumah itu, beliau mengucapkan salam dan bertanya apa yang sedang dimasak si ibu. Si ibu berkata bahwa ia sedang memasak sebongkah batu untuk menghibur sang anak, seolah-olah ibunya sedang membuat makanan. Sejak pagi mereka belum makan karena tidak memiliki apa-apa untuk dimakan, Si anak kelaparan dan terus menangis meminta makan. Tidak ada yang dapat dilakukan oleh sang ibu, selain harus berpura-pura membuat makanan agar anaknya tenang. Ibu ini juga sempat melontarkan kekesalannya pada sang pemimpin, “Celakalah amirulmukminin Umar bin Khaththab yang membiarkan rakyatnya kelaparan.”

Mendengar umpatan sang ibu, tanpa pikir panjang Umar segera pulang dan mengambil sekarung gandum. Ia membawa sendiri karung gandum di punggungnya untuk diberikan kepada ibu itu. Pengawalnya menawarkan diri untuk membantu, tetapi apa jawaban Umar? “Apakah kalian mau menggantikanku menerima murka Allah akibat membiarkan rakyatku kelaparan? Biar aku sendiri yang memikulnya, karena ini lebih ringan bagiku dibanding siksaan Allah di akhirat nanti.”

Sesampainya di rumah si ibu, Umar langsung memasakkan sebagian gandum dan setelah matang, ibu dan anak tersebut dipersilakan makan hingga kenyang. Setelah mereka makan, Umar pun pamit dan berpesan agar esok datang ke Baitulmal menemui Umar untuk mendapatkan jatah makan dari negara. Betapa bahagianya hati sang ibu, hingga beliau berkata, “Engkau lebih baik dari Khalifah Umar.” 

Dan esok harinya, ibu itu datang ke Baitulmal. Umar menyambutnya dengan senyum bahagia. Si ibu pun menyadari bahwa yang datang pada malam itu adalah Umar sang amirulmukminin. Khalifah yang tidak rela perutnya kenyang sebelum rakyatnya kenyang. Khalifah yang sangat takut Allah meminta pertanggungjawabannya atas apa yang dipimpinnya. Sungguh sosok pemimpin yang sangat dirindukan. Hanya Islamlah yang mampu melahirkan pemimpin sekelas Umar. Pemimpin yang tidak menyalahkan atau mencari kambing hitam jika terjadi bencana. Beliau justru menyalahkan dirinya, langsung sadar akan kelalaiannya, mohon ampun kepada Allah dan langsung mengambil langkah konkret untuk membantu kesulitan rakyatnya. 

Wallahu a’lam bisshawab