-->

Bendungan Lau Simeme Deli Serdang, Antara Berkah Dan Musibah

Oleh: Sita Ummu Aisyah (Aktifis Muslimah Peduli Umat Wonosari)

Kepala Bappeda Provsu Ir Irman MSi mengatakan bahwa pengerjaan Bendungan Lau Simeme belum dapat dilakukan karena persoalan pembebasan lahan. Menurut Irman hingga saat ini pihaknya belum mendapatkan perkembangan baru terkait pembebasan lahan dari Kabupaten Deli Serdang, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang mengurusi persoalan pembebasan lahan tersebut, (Beritasumut.com)

Berdasarkan SK No.579 Menhut RI tahun 2014, lahan itu adalah tanah negara dengan status Hutan Produksi Tetap (HPT). Sementara di lapangan masih ada lahan diusahai rakyat berupa tanaman dan pohon duku. Irman pun mengaku belum dapat memastikan kalau tahun ini proyek tersebut dapat ditenderkan. 

"Masih terkendala persoalan lahan. Persoalan pembebasan lahan ini yang bertanggungjawab BPN Deli Serdang karena hanya berada satu daerah. Tapi kalau lebih dari satu Kabupaten baru tanggungjawab BPN Sumut. Sampai saat ini kita belum mendapat informasi soal progres pembebasan lahan tersebut. Tapi kita sangat berharap pembebasan lahan ini segera tuntas agar bendungan Lau Simeme bisa segera beroperasi," harapnya.

Informasi dihimpun, proyek yang telah ditetapkan Presiden Jokowi sebagai proyek strategis nasional itu dibangun untuk lima manfaat, pertama sebagai sarana kendali banjir di Kota Medan dan Deli Serdang untuk skala fungsi 25 tahunan ke 40 tahunan. Kedua, suplemen air baku PDAM Tirtanadi 3.000 liter per detik. Ketiga, sebagai sumber dan suplai pengairan untuk daerah irigasi Bandar Sidoras seluas 3.082 hektare dan daerah irigasi Lantasan 185 hektare. Keempat, sebagai suplai energi tambahan listrik (PLTA mini) sebesar 2,2 MW dan Kelima, sebagai sarana pariwisata tirta. 

Proyek bendungan besar itu akan meliputi sejumlah objek atau item pembangunan atau pekerjaan konstruksi, dengan detil peruntukan lahan yaitu tubuh bendung pada areal 16,48 hektare, wadah genangan 116,82 hektare, sabuk hijau (area vegetasi) 175,83 hektare, borrow area (areal pendukung) 69,94 hektare, fasilitas perkantoran 23,13 hektare, jalan masuk 6,7 hektare dan untuk relokasi pemukiman seluas 11,10 hektare. 

Secara geografis, lokasi bendungan atau area reservoar Lau Simeme ini berada di sekitar sembilan desa di kawasan Kecamatan Sibiru-biru (Deli Serdang) yaitu Rumahgreat, Sarilaba. Sarilaba Julu, Sarilaba Jahe, Kualadekah, Bulugading, Sarilaba Trumbuh, Pertumbukan dan Kualasabah. Lima desa sekaligus menjadi desa terkena dampak proyek waduk besar ini yaitu Desa Kualadekah, Rumahgreat, Sarilaba Jahe, Mardinding Julu dan Desa Panen. (BS03)

Pembangunan bendungan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan masyarakat adalah tugas pemerintah.Tugas ini akan mengikatnya, jika bendungan tersebut merupakan perkara darurat, dimana dengan ketiadaannya menyebabkan kesengsaraan masyarakat. Seperti seringnya terdampak banjir, kekeringan, menurunnya produktivitas lahan pertanian, masalah penerangan dan lain-lain. Jika ini terjadi, maka pembangunan bendungan menjadi keharusan. Pemerintah harus sesegera mungkin mewujidkannya.

Dalam proyek pembangunannya tentu akan memakan biaya besar dan membutuhkan pembebasan lahan yang luas. Jika daerah yang disasar adalah daerah pemukiman yang padat penduduknya, tentu perlu perencanaan yang sangat matang. Karena akan berhadapan dengan hidup matinya masyarakat.

Seperti dalam proyek pmbangunan di Kabupaten Deli Serdang ini, enam desa yang akan menerima dampak dari pembangunan bendungan Lau Simeme. Sebagaimana diberitakan mengalami kendala dalam ganti untung dan relokasinya. Ini memperlihatkan bahwa pemerintah tidak matang mempertimbangkan segala aspeknya. 

Hal ini karena watak pemerintahan kapitalis yang selama ini dipakai. Watak yang tak bertanggung jawab terhadap rakyat, yaitu watak tidak mengurusi rakyat. Watak regulator yang lebih cenderung melayani para pemilik modal. Masyarakat malah sering menjadi korban dan tumbal ambisi mereka. Watak ini sudah lama menguasai pemerintah di negeri ini.

Sedari awal seharusnya ada pemetaan terkait wilayah yang akan terdampak sehingga sudah ada langkah antisipasi seperti merelokasi beberapa desa tersebut. Serta mengganti rugi lahan yang terdampak secara layak. Tidak mengorbankan rakyat setelah pembangunan kemudian ada dampak baru dicari penyelesaiannya.

Hal ini sangat berbeda dengan konsep pembangunan dalam Islam yang akan memperhatikan kepentingan rakyat dan dampaknya sehingga tidak mengorbankan rakyat.

Islam sebagai ideologi yang diturunkan sang Pencipta alam ini, menetapkan bahwa pemimpin adalah penggembala, yang akan dimintai pertanggungjawaban setiap gembalaannya. Kemaslahatan masyarakat menjadi orientasi roda kepemimpinannya.

Pembangunan infrastuktur yang menjamin terealisasinya kemaslahatan masyarakat yang bersifat darurat ditetapkan sangat mengikat pemerintah. Pemerintah wajib sesegera mungkin mewujudkannya, sampaipun tidak ada dana di baitul Mal. Pemerintah ditetapkan haram membiarkan masyarakat mengalami kesengsaraan karena ketiadaan infrastuktur. Pembangunan bendungan untuk ketahanan air dan pangan, juga mencegah banjir dan untuk penerangan, adalah jelas sangat urgent bagi masyarakat.

Dalam proses pembangunannya, pemerintah ditetapkan meminta pendapat ahli untuk urusan kontruksi bangunan dan arsitek rancang bangunnya. Begitu juga dalam penentuan posisi utama bendungan dibangun. Karena hal ini membutuhkan pendapat ahli terkait posisi strategis genangan air. Jika posisi menyasar daerah padat penduduk, pemerintah harus betul-betul memperhatikan kemaslahatan masyarakat atau penduduk wilayah terdampak. Hal ini harus menjadi proritas utama. Karena jika satu saja kepala keluarga yang tidak sepakat relokasi, akan menjadi persoalan.

Negara khilafah berkewajiban mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan terpenuhinya sarana dan prasarana untuk memperlancar distribusi dan pemenuhan kebutuhan rakyat. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan pembangunan infrastruktur yang bagus dan merata ke seluruh pelosok negeri.

Di masa kepemimpinan  Khalifah Umar bin Al-Khaththab, sejak tahun ke-16 Hijriyah kebijakan pembangunan infrastruktur dialihkan ke perbaikan berbagai daerah di Irak, membuat sungai dan memperbaiki jembatan.

Ketika Khalifah Umar bin Khaththab mendengar kabar bahwa ada salah satu sungai yang pernah mengalir di antara sungai Nil di dekat Benteng Babilonia hingga ke Laut Merah. Al-Faruq menginstruksikan Gubernur Mesir Amru bin Ash untuk menggali kembali sungai itu. Padahal sungai yang pernah menyatukan Mesir dan hijaz serta mempermudah perdagangan itu telah dibiarkan dan ditutupi tanah oleh Romawi. Amru bin Ash pun menggali kembali sungai tersebut sehingga memudahkan jalan antara Hijaz dan Fusthath, ibukota Mesir kala itu. 

Setelah pengalian sungai rampung, aktivitas perdagangan di antara kedua lautan itu pun kembali bergeliat sehingga bisa membawa kesejahteraan.

Selain itu, Khalifah Umar meminta Gubernur Mesir menyediakan jamuan makanan dengan stok melimpah dan gratis di perjalanan menuju Madinah dan Makkah. Hal itu membawa manfaat bagi penduduk haramain. Hal itu terus berlaku hingga setelah masa Umar bin Abdul Aziz.

Demikianlah gambaran berbagai proyek infrastruktur di masa kekhilafahan islam yaitu  Khalifah Umar bin Khathab, mulai dari membuat sungai, memperbaiki jalan, membangun jembatan dan bendungan yang ditujukan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya, dan dibangun dengan landasan ketaqwaan pada Allah subhanahu wa ta'ala.