-->

Membabat Korupsi Harus Dari Akarnya

Oleh: Jamilah (Aktivis Muslimah Kab. Bandung)

Di negeri ini, korupsi seperti tak mati-mati. Muncul lagi, muncul lagi. Nyaris terjadi di semua lini. Padahal katanya, pemerintah serius memberantas korupsi. Salah satu kasus korupsi yang cukup besar terjadi di lingkungan Kementerian Keuangan. Sebagaimana diketahui, Mahfud MD kembali buka suara pasca Kementerian Keuangan mengklarifikasi perbedaan data transaksi mencurigakan sebesar Rp349 triliun. Mahfud sepakat dengan pernyataan tidak adanya perbedaan data, tetapi untuk dugaan korupsi yang disebutkan adalah Rp35 triliun (CNBCIndonesia.com, 4/4/2023).

Ambil contoh, yang dalam hal ini mangkrak dan terus mengalami pembengkakan biaya adalah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Tentu masih banyak kasus-kasus dugaan korupsi lainnya.

Sejak era Reformasi, di antara ratusan kasus korupsi yang terjadi, ada puluhan kasus korupsi yg terbilang sangat besar. Salah satunya kasus korupsi PT Jiwasraya yang menjadikan negara mengalami kerugian sebesar Rp16,8 triliun, dll (lihat: Kompas.com, 15/1/2023).

Dalam salah satu artikel yang dimuat di situs KPK.go.id, disebutkan bahwa korupsi memiliki berbagai bentuk dan jenis. Berdasarkan skala dampak dan paparannya, korupsi dapat dibagi menjadi tiga jenis. 

Pertama: Petty corruption adalah korupsi skala kecil oleh pejabat publik yang berinteraksi dengan masyarakat.

Kedua: Grand corruption (korupsi kelas kakap) adalah korupsi dengan nilai kerugian negara yang fantastis, miliaran hingga triliunan rupiah. Ada empat kriteria grand corruption: (1) melibatkan pengambil keputusan terhadap kebijakan atau regulasi; (2) melibatkan aparat penegak hukum; (3) berdampak luas terhadap kepentingan nasional; (4) kejahatannya berlangsung sistemik dan terorganisir.

Ketiga: Political corruption (korupsi politik) terjadi ketika pengambil keputusan politik menyalahgunakan wewenangnya dengan memanipulasi kebijakan, prosedur, atau aturan demi keuntungan diri atau kelompoknya. 

Tentu tidak mudah memberantas ketiga jenis korupsi di atas dalam sistem demokrasi. Pasalnya, demokrasi yang secara teoretis mengklaim kedaulatan di tangan rakyat, dalam tataran faktual tidaklah demikian. Dalam praktiknya, kedaulatan rakyat sebagai ruh demokrasi selalu dibajak oleh segelintir para pemilik modal atau elite penguasa yang didukung oleh para pemodal. Dengan realitas sistem demokrasi semacam ini, jelas korupsi tak akan pernah berhenti, bahkan bisa makin menjadi-jadi, sebagaimana saat ini. 

Karena itu solusi mendasarnya adalah dengan mencampakkan sistem demokrasi saat ini. Lalu diganti dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawabnya tak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah SWT di akhirat.

Dalam Islam, ada sejumlah langkah dalam memberantas bahkan mencegah korupsi, antara lain: pertama, penerapan ideologi Islam, yang meniscayakan penerapan syariah Islam secara kaffah/menyeluruh dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal kepemimpinan.

Kedua, pemilihan penguasa dan para pejabat yang bertakwa dan zuhud.

Ketiga, pelaksanaan politik secara syar’i.

Keempat, penerapan sanksi tegas yang berefek jera.

Dalam Islam, keimanan dan ketakwaan penguasa dan para pejabat tentu penting. Namun, sistem yang menjaga mereka agar tidak melenceng itu jauh lebih penting.

Selain itu adalah keteladanan. Rasulullah SAW walaupun memegang banyak harta negara, tetap hidup sederhana. Beliau, misalnya, biasa tidur di atas selembar tikar yang kasar yang meninggalkan bekas pada tubuh beliau. 

Setelah Rasulullah SAW, pengganti beliau dalam urusan pemerintahan, yakni Khalifah Abu Bakar r.a., hanya mengambil sekadarnya saja. Begitupun Khalifah Umar r.a., juga hidup dalam kesederhanaan.

Maka, syariah Islam akan efektif dalam memberantas korupsi manakala diterapkan secara kaffah.