-->

Cianjur Masih Berduka, Sampai Kapan?

Oleh: Khadijah An Najm 

Satu bulan setelah gempa bumi berkekuatan 5,6 mengguncang Cianjur, Jawa Barat, sejumlah warga masih bertahan di tenda-tenda pengungsian, menanti kepastian untuk memulai kehidupan normal seperti dulu.

Di Desa Cibeureum, Kecamatan Cugenang, masih ada warga yang belum menerima dana stimulan perbaikan rumah karena proses pendataan yang tidak akurat dan harus diulang.

Selain itu, sebagai salah satu desa yang disebut dilalui patahan sesar aktif Cugenang, warga juga masih menanti kepastian apakah mereka akan terdampak relokasi atau tidak.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan "lebih 8.300 warga telah menerima dana stimulan tahap pertama untuk membenahi rumah mereka". (BBC,22-12-2022)

Anggaran dana yang dikeluarkan untuk renovasi rumah berkisar 15 juta sampai 60 juta rupiah per satu unit rumah. Jika kategori rusak berat mendapatkan dana 60 juta rupiah, untuk kategori rusak sedang 30 juta dan rusak ringan 15 juta.

Rencana relokasi warga dan pembangunan rumah ditargetkan selesai hingga Juni 2023. Sungguh bisa dibayangkan bagaimana sulitnya kehidupan keluarga korban gempa Cianjur. Mereka hidup dibawah tenda pengungsian, makan ala kadarnya dan dihantui trauma guncangan psikologis.

Memang semua butuh waktu dan butuh biaya. Hanya saja jika kita kembali mengulas bagaimana pernikahan mewah anak presiden 10-11 Desember yang lalu, dimana beberapa menteri diterjunkan untuk mengurui resepsi pernikahan. Tidak cukup sampai disitu tentara dan kepolisian juga diterjunkan. Tidak kurang dari 10.800 personil keamanan turut sigap mensukseskan perjalanan resepsi mewah pernikahan. Mengapa hal semacam ini tidak terjadi kepada rakyat korban gemba Cianjur? Mengapa Perhatian dan bantuan yang diturunkan seolah ala kadarnya?

Tentu wajar jika publik kritis, mengapa untuk urusan rakyat banyak pemerintah tidak sigap bahkan terkesan lambat mengambil tindakan. Padahal mereka adalah warga negara Indonesia, memiliki pemimpin yang seharusnya memperhatikan dan mengurusi hidupnya. Apalagi mereka adalah korban bencana alam akibat kelalaian penguasa dalam menyediakan layanan rumah layak huni dan tahan gempa bagi warga.

Semakin tampak bahwa penguasa dalam sistem demokrasi tidak faham akan hakikat riayah. Padahal sebagai seorang pemimpin harusnya sadar bahwa kepemimpinan dan jabatan akan menyeret ke neraka jika tidak menunaikan hak kepempinannya dengan benar.

Kita rindu dengan sosok pemimpin Islam, sosok Amirul mukminin Umar bin Khattab yang sangat khawatir dengan kondisi rakyatnya. Dimusim kelaparan, Amirul mukminin ikut merasakan lapar. Khalifah Umar enggan dan tidak mau makan enak ditengah kondisi rakyatnya yang kelaparan. Bahkan disaat musibah penyakit melanda beliau terjun langsung siang malam mengurusi rakyatnya yang sedang diuji sakit. Bukan hanya keselamatan manusia difikirkan bahkan keselamatan hewan sekalipun diperhatikan. Pernyataan yang fenomenal dan melekat dalam ingatan kita bagaimana besarnya tanggung jawab khalifah Umar atas kepemimpinannya :

"Aku takut jika ada unta jatuh di Irak lalu Allah menanyai diriku mengapa tidak meratakan jalan untuknya".

Dimanakah gerangan pemimpin adil dan berempati seperti itu? Sudah selayaknya para pemimpin negeri ini berkaca dan koreksi diri. Hanya sistem islam yang mampu melahirkan pejabat amanah dan penuh empati. Penguasa yang sadar bahwa syurga dan neraka itu pasti adanya. Penguasa yang faham bahwa mengabaikan hak rakyat hanya akan menjerumuskan ke jurang neraka yang semakin dalam.

Demokrasi telah gagal melahirkan penguasa yang adil, amanah dan punya empati. Sudah saatnya umat sadar dan bahu membahu mewujudkan tegaknya sistem Islam di bawah naungan khilafah yang berdiri diatas metode kenabian. Hanya dengan khilafah umat mampu merasakan hidup tenang, bahagia dan sejahtera.

Wallahu 'alam