-->

Sudah (kah) Merdeka

Oleh : Anita Sya’ban 
(Anggota Lisma Bali) 

Bulan Agustus adalah bulan peringatan dan perayaan kemerdekaan Indonesia. Riuh semarak berbagai acara dan perlombaan digelar. Seremonial tahunan yang tahun ini meriah kembali setelah dua tahun tak dapat dirayakan akibat pandemi. Tetapi bayangan kemerdekaan sepertinya memang masih jauh dari perang pemikiran yang ada saat ini. Dimana justru tertawan pemikiran para pemuda kita yang tidak melihat urgensitas, berpikir hanya untuk tujuan agar dikenal dan menghasilkan materi semata.

Banyak yang berlomba-lomba terkenal meskipun harus dengan konten yang sama sekali tidak mendidik. Merujuk pada era digital ini, sasarannya adalah viral. Demikianlah caranya mengisi kehidupan saat ini. Jika ditelaah tampaklah ketidaksejahteraan dalam hidup ditambah ketidakadilan yang terus menerus terjadi. Contohnya, kasus perempuan pencuri coklat di Alfamart Sampora, Tanggerang Selatan, kini berakhir damai (16/08/2022 tribunnews.com). Awalnya perempuan tersebut memaksa karyawan Alfamart untuk meminta maaf karena mengunggah videonya yang tengah beraksi sampai viral. Namun melalui keluarganya, perempuan tersebut akhirnya mengakui kesalahannya dan meminta maaf. 

Menurut Aab Elkarimi hal tersebut adalah contoh dari abuse of power. Dimana yang punya harta, kuasa bisa menekan yang lemah. Hal ini menunjukan bahwa manusia masih belum terbebas dari penghambaan dan penguasaan oleh sesama manusia. Sebagai mana Ibnu Katsir meriwayatkan dalam kitabnya al Bidayah wan an-Nihayah bahwa misi kemerdekaan menurut Rasulullah shalallahu alaihi wassalam yaitu mengembalikan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia) itulah makna kemerdekaan sesungguhnya. 

Pada masyarakat umum contohnya telah kita lihat. Begitupula pada lingkup pendidikan adanya perundungan biasa dikenal sebagai bullying pun sangat marak. Hingga mengakibatkan hilangnya nyawa, entah itu diakhiri sendiri ataupun dilakukan oleh pelaku. Lantas selesaikah dengan saling tunjuk siapa yang bersalah?
Sebagai kaum muslimin perlulah kita berpikir dengan cemerlang. Dimulai melihat fakta dengan teliti kemudian mencari jalan keluarnya dari Quran dan Hadist yang memang menjadi petunjuk kehidupan kaum muslimin. Alih-alih demikian justru manusia menciptakan hukum sendiri yang sudah jelas menjerumuskan.

Belumlah bisa merdeka jika belum bisa hanya menghamba kepada Allah Ta’ala. Tunduk dan patuh pada aturan Allah. Percaya dan yakin bahwa Allah satu-satunya tempat bergantung. Manusia sering kali lupa, bahkan menyerahkan diri kepada sesuatu yang nyatanya masih bergantung pula. Dalihnya untuk kebahagiaan dunia yang semakin dikejar akan semakin menjauh.

Dengan memiliki kesadaran akan makna kemerdekaan hakiki, manusia bisa kembali kepada fitrahnya, yakni hamba dari Tuhannya, lalu berlomba-lomba kepada ridho-Nya. Sehingga terciptalah kebahagiaan tak hanya didunia tapi juga diakhirat. 

Wallahu’alam bishowab.