-->

RUU KIA Antara Ilusi Dan Asa

Oleh : Hafizatul Dwi Maulida, S.Pd

Angin segar akan dirasakan oleh kaum ibu yang bekerja di ranah publik. Adanya DPR RI akan menggelar rapat paripurna dengan agenda pengesahan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) sebagai RUU inisiatif DPR pada Kamis (30/6) depan. Ketua DPR RI Puan Maharani memastikan RUU yang salah satu pembahasannya mengenai cuti melahirkan selama 6 bulan itu akan segera disahkan.

"Badan musyawarah (Bamus) DPR sudah menyepakati RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak atau RUU KIA akan disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna terdekat," kata Puan dalam keterangan tertulis.Detik news, Jumat (24/6/2022). 

Salah satu isi dari RUU KIA adalah cuti 6 bulan bagi ibu yang melahirkan juga cuti 40 hari bagi suami untuk mendampingi isterinya. Rencana RUU KIA disambut baik oleh sebagian kalangan tapi sebaliknya menuai kritik bagi pengusaha seperti yang dinyatakan oleh DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta meminta pemerintah dan DPR agar mengkaji kembali penetapan RUU KIA. Pelaku usaha berharap agar pemerintah dan DPR melakukan kajian dan evaluasi yang mendalam dan komprehensif sebelum menetapkan UU tersebut karena menyangkut produktivitas tenaga kerja dan tingkat kemampuan dari masing masing pengusaha," ujar Sarman.Kompas.com, Kamis (24/6/2022).

Adanya RUU KIA merupakan salah satu langkah yang diambil oleh negara dalam mensejahterakan ibu dan anak. Dengan adanya RUU ini, maka seorang ibu akan lebih fokus untuk memberikan ASI eksklusif dan anak menjadi sehat sehingga terhindar dari stunting.

Namun tidak bagi pengusaha, RUU KIA akan berpengaruh pada kinerja perusahaan. Sebab perusahaan akan mencari pengganti sementara atau menambah beban kerja kepada yang lain. 

Terlepas dari pro kontra RUU KIA, adanya upaya untuk memberikan keadilan bagi seorang wanita yang bekerja di publik. Selama ini wanita bekerja dengan jam kerja yang disamakan dengan laki - laki padahal wanita punya tugas lain sesuai dengan kodratnya. Dengan adanya RUU ini dapat membantu wanita untuk menjalankan perannya  sebagai ibu seutuhnya. 

Adanya RUU ini di tengah sistem sekuler saat ini hanyalah memberikan solusi fatamorgana. Karena tugas wanita tidak hanya melahirkan dan menyusui tapi juga mengasuh dan mendidik anak.
Bagi kapitalisme wanita bekerja selain membantu perekonomian  keluarga, juga menginginkan wanita setara dengan laki laki. 

Pemahaman inilah yang menjerat wanita untuk berlomba-lomba ke ranah publik, padahal banyak hal negatif yang akan terjadi seperti pelecehan, retaknya rumah tangga, perselingkuhan, perceraian dan pengasuhan anak tidak optimal serta pendidikannya akan terabaikan.

Apabila hal ini terjadi maka akan merusak keberlangsungan hidup generasi bangsa. Mereka tidak terurus dengan baik dan juga berpengaruh pada negara sendiri yaitu kehilangan generasi penerus yang baik.

Islam sangat menghormati wanita dan terbukti saat dilahirkan sampai dewasa, wanita menjadi tanggung jawab orang tuanya. Dan saat menikah tanggung jawabnya beralih ke suami dan ketika suami meninggal beralih kepada saudara laki-lakinya. Namun apabila tidak mampu maka diambil alih oleh negara. 

Disinilah peran negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi pihak laki-laki agar mampu menjalankan kewajibannya dengan baik terhadap keluarganya. Sedangkan wanita adalah pengurus rumah tangga yang kewajibannya mengurus suami dan anak-anak agar menjadi penerus bangsa yang ideal.

Islam membolehkan wanita bekerja, namun harus ada pengaturan jam kerja. Sehingga tugas utama wanita yakni pengurus rumah tangga akan terjalankan dengan baik. Semua ini menjadi dalil kuat bahwa hukum asal dan aktivitas utama wanita adalah menjadi ibu. Inilah amal shalih wanita. Dengan amal inilah dia menyiapkan calon-calon mujahid yang kuat, sehat, cerdas, berilmu, yang siap melanjutkan perjuangan Islam dan negara. Salah besar jika ini dianggap bukan merupakan amal shalih atau wanita dipandang rendah karena perannya hanya di dapur dan kasur.
Adapun nash yang menunjukkan bahwa wanita diposisikan Islam sebagai rabbatu bait (pengurus rumah tangga) adalah hadis berikut ini,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ … وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ (البخاري)

Artinya : Dari ‘Abdullah ( , bahwasannya Rosulullah ﷺ bersabda,”Setiap dari kalian adalah penggembala, maka (ia) aka ditanya dari gembalaanya… Dan seorang istri adalah penggembala dalam rumah dan anak-anak suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka. ”

Pada hadis diatas, Nabi ﷺ bersabda bahwa wanita (istri) adalah penggembala dalam rumah suaminya. Ia juga menjadi penggembala bagi anak-anaknya. Kata رَاعٍ bermakna penggembala, yakni yang memimpin, mengatur, menjaga, dan memelihara apa yang menjadi tanggungannya. Semua yang ia gembala ini akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah Ta’ala. Dari sini dapat disimpulkan bahwa peran lain bagi wanita yang telah menikah adalah sebagai pengatur rumah suaminya.

Adanya sistem sekuler kapitalis sekarang yang diterapkan hanya akan memanfaatkan dan merendahkan martabat wanita. Sedangkan Islam yang mampu menjaga kehormatan serta melindungi wanita.