-->

MATIKAN MICROFON SAAT GELARAN SIDANG, PANTASKAH?

Oleh : Waryati
(Aktivis Muslimah)

Lagi-lagi publik dibuat bingung dengan gaya kepemimpinan Ketua DPR RI Puan Maharani mematikan mikrofon anggota dewan saat sedang melakukan interupsi.

Kejadian ini bermula ketika Amien AK dari Fraksi PKS menyampaikan interupsi dalam rapat paripurna DPR RI yang digelar pada Selasa (24/5/2022).

Dalam interupsinya Amien menyampaikan pendapat tentang ketiadaan aturan hukum yang mengatur larangan terhadap seks bebas, dan penyimpangan seksual. Ia pun mendorong revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur ketentuan tindak pidana kesusilaan secara lengkap, dikutip Tribun-Timur.Com, (25/5/2022).

Belum usai Amien menyampaikan pendapatnya, tiba-tiba mikrofon mati dan disusul dengan suara Puan Maharani yang menghentikan rapat tersebut.

Rupanya ini bukan kali pertama beliau mematikan mikrofon saat ada anggota dewan sedang berbicara. Sebelumnya, terjadi di bulan Oktober tahun 2021 ketika Irwan Fencho menyampaikan interupsi dalam rapat UU Cipta Kerja. 

Kejadian serupa berulang di bulan November tahun 2021 lalu. Saat itu digelar Rapat Persetujuan Jenderal TNI dan ada anggota Komisi X dari Fraksi PKS Fahmi Aloydroes menyampaikan interupsinya, lagi-lagi mikrofon mati sebelum pendapat selesai disampaikan.

Apa yang dilakukan Puan Maharani tentu saja menuai tanya di benak publik, pantaskah seorang pemimpin rapat melakukan hal demikian? Sekaligus memunculkan kontroversi di berbagai kalangan. Seorang pemimpin tak selayaknya melakukan itu. Apa lagi beliau selaku Ketua DPR RI baik kebijakan maupun tindakannya akan disorot banyak pihak. Apa yang beliau lakukan justru akan berbalik dan mengesankan gambaran buruk tentangnya.

Ketidak pedulian beliau terhadap anggota yang sedang menyampaikan pendapat, sama saja dengan tidak pedulinya beliau terhadap permasalahan negeri. Tak semata anggota rapat ingin interupsi, jika tak ada permasalahan yang hendak disampaikan. Harusnya, seorang pemimpin yang mempunyai integritas tinggi mampu menghormati dan menyimak saat ada orang berbicara.

Kepempinan semacam ini bisa dikategorikan sebagai kepemimpinan otoriter. Menganggap kekuasaan adalah miliknya dan merasa bahwa satu-satunya pihak yang memiliki kontrol adalah dirinya. Maka dengan kepemimpinan seperti demikian, anggota tidak bisa berpendapat secara leluasa. Pun dalam pengambilan keputusan, pemimpin otoriter akan bersikap dominan. Dalam setiap keputusannya selalu bersifat mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.

Adanya karakter pemimpin semacam ini adalah buah diterapkannya sistem kapitalisme. Sistem ini telah membentuk kepribadian sebagian umat untuk tak peduli dengan sesama, bahkan dengan persoalan negeri. Termasuk juga melanda para pemimpinnya. Dalam kepimpinan kapitalisme, mereka cenderung merasa dirinya paling pintar dan tidak menyukai jika pendapat atau pun aturannya mendapat kritik. Mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok. Dan menganggap bahwa kepemimpinan adalah kekuasaan yang harus dihormati keberadannya sekalipun tak diinginkan.

Di dalam Islam, sikap saling menghargai adalah anjuran syariat. Untuk menjaga kondusifitas masyarakat itu sendiri. Terlebih bagi seorang pemimpin, mendengarkan masyarakat yang dipimpinnya berbicara adalah keharusan. Supaya ketika ada pendapat atau pun permasalahan yang hendak disampaikan mampu tercerna dengan baik. Dengan demikian, sikap seorang pemimpin bukan hanya ingin didengarkan, namun juga mampu mendengarkan masukkan dari para pejabat atau pun keluh kesah dari rakyatnya.

Islam dan seperangkat aturannya telah memosisikan pemimpin sebagai pelindung, penanggung jawab, dan pengatur urusan rakyat. Hal terkecil sekalipun mendapat perhatian dari pemimpin. Alasan yang mendasari keterpilihan pemimpin yaitu ketika seseorang tersebut mempunyai keahlian di bidangnya, kompeten dan bisa diterima. Mampu mencintai dan dicintai oleh umatnya. Dan yang terpenting ia mampu menjalankan tugasnya sebaik mungkin, selalu mengutamakan kepentingan umat.

Sikap seorang pemimpin senantiasa menjadi teladan bagi umat. Terbuka dan menerima setiap mendapat wejangan atau pun masukkan dari rakyat, sekalipun berupa kritikan. Karakteristik pemimpin dalam Islam, yakni tidak mengedepankan egoisme dan perasaan semata. Akan tetapi, kepemimpinannya didasarkan pada keyakinan bahwa menjadi pemimpin adalah amanah yang harus ditunaikan dengan penuh tanggung jawab. Berusaha memahami setiap permasalahan umat dan mampu menyelesaikannya dengan tuntas. Kepemimpinannya juga dianggap sebagai ibadah dan berharap mendapat keridhoan Allah. Sehingga dalam menjalankan tugasnya timbul kehati-hatian dalam bersikap dan membuat berbagai kebijakan.

Wallahu a'lam bissawwab.