-->

Dalam Islam, Kesejahteraan Lansia Adalah Niscaya

Oleh : Ummu Hanif (Pemerhati Sosial Dan Keluarga) 

Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) diperingati tanggal 29 Mei setiap tahunnya. Tujuan peringatan ini untuk memberikan perhatian lebih lanjut kepada masyarakat lanjut usia.
Lalu, bagaimana sejarah lahirnya peringatan Hari Lanjut Usia Nasional? Simak informasinya berikut ini.

Dilansir dari laman resmi Kementerian Sosial (Kemensos), Hari Lanjut Usia Nasional adalah bentuk apresiasi negara Republik Indonesia pada semangat jiwa raga, peran penting, dan strategi para lanjut usia Indonesia dalam kiprahnya mempertahankan kemerdekaan. Peringatan ini sebagai penghargaan untuk mereka.

Adanya peringatan Hari Lanjut Usia Nasional terinisiasi atas peran dari Dr. KRT. Radjiman Widyodiningrat yang memimpin sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945. Sebagai anggota paling tertua dengan kearifannya, ia mencetuskan gagasan perlunya dasar filosifis negara Indonesia. HLUN dicanangkan secara resmi oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 29 Mei 1996 di Semarang.

Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2021 tentang Strategi Nasional Kelanjutusiaan menjadi dasar pemerintah untuk memberikan perhatian khusus kepada lanjut usia (lansia) dan menjadi mandat untuk mewujudkan lanjut usia yang sejahtera, mandiri, dan bermartabat.

Sudah 26 tahun berlalu sejak HULN ditetapkan secara resmi di Indonesia, tetapi nyatanya para lansia banyak yang masih mengalami ketidakadilan. Apalagi di negara berkembang ini, makin hari bertambah orang-orang jompo yang ditinggalkan anaknya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021, terdapat 29,3 juta penduduk lansia di Indonesia (10,82% total populasi). Dari seluruh populasi lansia itu masih banyak penduduk yang tergolong tidak sejahtera. Mereka tinggal sendiri di rumah, ekonominya pas-pasan atau minim, bahkan tergolong miskin (Kompas, 29/5/2022).

Kalau kita mau jujur, masalah lansia adalah salah satu turunan dari sistem kapitalis sekuler. Sistem kapitalisme saat ini telah berhasil menggerus hati nurani manusia. Sikap individualis muncul di tengah gencetan kondisi ekonomi yang serba sulit. Manusia mulai berpikir bagaimana bisa bertahan dengan beban hidup yang tidak berat. Arus moderasi ditengah minimnya ilmu agama, telah sukses menutup sanubari. Hasilnya, lahir generasi individualistis, materialistis, kapitalistik yang tidak paham apa itu birul walidain (berbakti kepada kedua orang tua).

Sementara itu, ditinjau dari keberadaan negara, lansia termasuk rakyat yang harus dipikirkan keberadaannya. Meskipun mereka tidak bisa apa-apa, tetapi menjadi kewajiban negara untuk mengurusnya. Di samping itu, negara juga perlu menciptakan iklim yang kondusif bagi lansia agar mereka bisa hidup bahagia sampai akhir hayatnya.

Dalam sistem Islam, kesejahteraan lansia adalah sebuah keniscayaan. Sistem cermat dan lengkap memudahkan Islam untuk memberi kesejahteraan itu. Misalnya, seorang anak akan memahami kewajibannya ketika orang tua sudah lanjut usia. Dengan dorongan berbakti kepada orang tua, mereka akan merawatnya.

Karena sangat pentingnya birul walidain ini, hingga Rasulullah saw. bersabda, “Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau keduanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk surga.” (HR Muslim)

Tidak hanya memberikan perintah wajib bagi anak, tetapi Islam juga memiliki cara membentuk lingkungan yang kondusif. Pendidikan keluarga dan sekolah akan menanamkan aqidah kokoh yang kemudian memberi tasqofah tentang wajibnya birul walidain. Kondisi masyarakat yang islami, juga ikut memberi contoh dan dorongan kepada setiap anak untuk menuntaskan kewajiban ini. Dan tak terkecuali aturan negara yang ketat akan mendorong seorang anak menjaga orang tuanya. Aturan ketat itu, misalnya, memberikan sanksi pada orang tua yang tidak bisa mendidik dan menelantarkan anak, atau memberikan sanksi pada anak yang sengaja membuang orang tuanya.

Kondisi terakhir apabila si anak memang tidak mampu mengurus orang tuanya karena alasan syar’i, maka tanggung jawab itu beralih pada keluarga besarnya. Apabila tidak mampu juga maka negara akan mengambil alih pemenuhannya. Semua kebutuhannya akan dicukupi.

Dari sini kita bisa melihat, bahwa hanya sistem Islam yang memiliki konsep sempurna mensejahterakan lansia. Maka, dalam sistem Islam tidak perlu adanya HLUN. Selain menghabiskan banyak anggaran negara hanya dalam bentuk ceremonial, juga tidak menyentuh akar persoalan sesungguhnya. Maka, masihkan kita meragukan ketangguhan Islam dalam menjawab setiap persoalan hidup kita? belum saatnyakah kita berbondong – bondong menuntut penerapannya dalam kehidupan kita? Sehingga kesejahteraan hidup akan kita raih, tidak hanya saat kita msih produktif, tapi juga saat kita sudah lanjut usia. 

Wallahu a’lam bi ash showab.